Mohon tunggu...
Kartika aditya
Kartika aditya Mohon Tunggu... -

Sebuah kata terhebat yang dapat membangkitkan seseorang dari keterpurukan adalah "semangat!"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Aku Tahu

29 Juli 2014   19:28 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:55 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup tak semudah membalikan telapak tangan, begitu pula dengan cinta seseorang. Didunia tempat yang kita tinggali, tak ada yang abadi. sama halnya dengan bunga yang akan mekar dan layu, seperi asap yang akan memudar. Tapi bagaimana dengan cinta?

Kehidupan sama halnya dengan permen yang menawarkan banyak rasa. Dalam perjalanan, aku telah menemui banyak orang. Hanya ada dua jenis manusia yang aku ketahui; yang pertama adalah manusia yang mengerti meski tanpa mengetahui dan yang kedua mengetahi tanpa mengerti. Dan mereka tak akan pernah tahu tanpa melihat kedalam hatinya.

Aku memang pernah mengalami suatu hal yang namanya depresi, atau sebut saja gangguan jiwa. Aku tak yakin apakah aku benar-benar gila karena aku tak pernah lupa bagaimana cara aku diperlakukan, aku berharap bahwa ada suatu keajaiban yang akan menghapus semua memoriku. Semuanya.

Bahkan ketika Ibu kandungku sendiri menelantarkan aku dan adik lelakiku, meski ia tahu bahwa pada saat itu  adikku sedang sakit berat. Saat orang-orang itu memaksaku utuk meninggalkan orang-orang yang kucintai dan dengan sengaja memasukanku ke rumah sakit jiwa.

***

"Apa kita pernah saling mengenal?" sebelah tangan itu memegang bahuku ketika aku sedang membayar minuman, dari tatapanya berharap bahwa aku akan mengatakan 'Ya' dan yang kulakukan hanya diam menatapnya. Saat ia menyadari tatapan tajamku yang mengisyaratkan agar ia segera menyingkir, lelaki yang lebih tinggi satu kepala dariku menurunkan tangnnya. "Oh, maaf. Aku nggak sopan ya? Nggak papa kok kalau memang  enggak, aku cuma ngerasa..." Aku berbalik dan berjalan memunggunginya seraya mengabaikan perkataanya.

"Aku Vanno. Nama kamu siapa?" dengan sekejap mata ia sudah melesat didepanku. Mengejarku saat aku baru saja keluar dari pintu kafe.

Aku menatapnya dengan tatapan nanar, tetapi ia tak pernah berhenti tersenyum. Dan senyum itulah yang membuatku semakin terluka, "Kamu...dengar! Aku nggak pernah kenal sama kamu. Dan aku sama sekali nggakmau kenal sama kamu."

"Kenapa?" suaranya pelan, tatapannya melembut.

"Karena aku benci bersentuhan, aku benci menyebut namaku sendiri, aku benci bila harus bicara pada orang lain dan aku tak nggak suka kalau harus mengulurkan tangan. Jadi, lupakan saja." Kini aku benar-benar berlalu tanpa ia mengejarku.

***

Sudah dua bulan sejak aku keluar dari tempat rehabilitasi, yang kulakukan hanya pulang-kerja. Aku hanya keluar jika hanya persediaan makananku sudah habis. Aku sangat jarang bicara, aku hanya mengangkat suara jika suatu hal penting mengenai pekerjaan. Dirumahpun yang kulakukan hanya tidur, makan, dan pergi kekamar mandi. Tak ada televisi dan tak ada surat kabar. Semuanya terasa hambar. Bagiku, biarkanlah semuanya tanpa rasa, dan aku akan memulai kehidupan baru. Juga...aku tak punya teman. Tentu saja, bagaimana mungkin bisa punya?

***

Aku mengikat erat tali sepatuku, kemudian kusandak tas berwarna coklat yang agak kumuh dipundakku. Saat membuka pintu, secarik kertas terselip dibawah alas kaki, aku mengambilnya dan membaca isinya;

Untuk sahabat terbaikku, Rhein. Aku mohon lindungi dia. Kamu boleh membenci ayahku, bahkan kamu boleh membenciku. Tapi jangan dia, jangan adikku.
Jaga dirimu baik-baik, aku menyayangi kalian.

Tak ada nama pengirim, tapi aku tak bisa menjaga hatiku agar air mataku berhenti mengalir. Aku tahu persis siapa yang menulis surat itu, bagaimana tulisan tangannya, dan kata-kata aku menyayangi kalian. Itu adalah tulisan tangan Tristan. Aku menoleh kekanan dan kiri, berharap si pengirim belum pergi terlalu jauh. Namun aku tak menemukan siapapun.

***

"Sudah tiga bulan kita berada di tempat kerja yang sama, bekerja dibidang yang sama, tetapi tak pernah saling bicara sejak kali pertama-" Ia berdiri di belakang kursi meja makan, membawa nampan makan siangnya, hanya aku satu-satunya yang duduk sendiri dan memang setiap hari begitu. "Maaf mengganggu aku cuma...."

"Kamu cuma nggak dapat meja makan, duduklah." Kataku dengan singkat.

Aku dan dia. Duduk berhadapan dengan perasaan aneh, terlibat dalam percakapan kecil. Terkadang saat percakapan terhenti, dinginnya keheningan membuatku membeku. Ini adalaha perasaan yang sangat lama.

"Emm...aku bertanya-tanya...." Vanno memberanikan diri menatap mataku, begitu juga dengan aku. "Lupakan, kamu juga nggak bakalan jawab."ia tertawa kecil, ia segera menghirup kembali minumannya.

"Katakan," kataku, seolah tak ingin tahu "Aku akan mendengarkan dan-mungkin saja aku bisa menjawab."

"Emm...di dunia yang seperti ini...ada tidak, cinta yang abadi?" aku tertegun. Aku ingat seseorang pernah menanyakan hal yang sama. Hanya saja waktu itu aku menertawainya dan tak menjawab pertanyaanya.

"Hidup itu tak akan semudah membalikan telapak tangan, begitupula dengan cinta seseorang. Didunia tempat yang kita tinggali, mana  ada yang abadi. sama halnya dengan bunga yang akan mekar dan layu, seperi asap yang akan memudar." Wajahnya berubah murung mendengar jawabanku.

"Begitukah menurut kamu?" tanyanya  denga suara pelan. Tampak dari wajahnya bahwa ia tak puas dengan jawabanku.

"Hmm." Aku mengangguk dan tersenyum. Ia mendongak, wajahnya berubah menjadi serius.

"Dulu aku buta." Aku tahu; Wajahku sama sekali tak menunjukan keterkejutan. "Aku pernah mencintai seseorang, tapi aku tak yakin apakah dia juga mencintaiku." Aku mencintaimu;

"Lalu?" aku benar-benar penasaran. "Apa kamu masih cinta sama dia?" aku tak tahu mengapa aku bertanya seperti itu.

"Rhein." Tatapannya berubah tajam, menghujam kearahku. Aku tersentak, takut jika ia mengetahui identitasku, "Aku masih cinta dia. Cintaku akan selalu sama." Dia tersenyum lalu menghabiskan sisa-sisa terakhir makanannya.

"Dia juga mencintai kakakku." Tapi aku lebih mencintaimu; "Jam makan siang hampir habis. Kita balik ke kantor." Aku hanya mengiyakan dan menurutinya.

***

Aku berbaring diranjang, melipat dan membuka surat dari Tristan. Entah sudah yang keberapa kalinya, air mataku masih saja terus mengalir.

Hari ini aku lembur dan pulang malam, kupikir hanya tinggal aku seorang yang masih berada dikantor.

"Hai Rhein." Sapa Vanno mengangkat tangan. Aku diam tanpa ekspresi, kemudian aku menarik secarik kertas dari sakuku, surat Tristan. Aku memberikan surat itu pada Vanno. "Ini...apa?"ia bertanya sambil membukannya. Seperti yang kuperkirakan, sikap Vanno berubah sama seperti saat pertama aku menerima surat itu.

"Rhein." Suaranya bergetar, ia menatapku dan matanya bearir.

"Aku menerimanya tiga hari yang lalu." Kataku menahan tangis, namun aku tahu bahwa air mataku nantinya akan tumpah. Aku mengatakan semuanya... "Tadi pagi seorang perempuan datang kerumahku, ia bertanya apakah aku adalah orang yang dimaksud dalam surat itu. Aku menjawab 'Ya.' Ia mengakui bahwa ia menerima surat itu dari Tristan sejak satu tahun yang lalu. Kamu tahu, dengan mata siapa kamu bisa melihat saat ini? Tak pernahkah berniat untuk mencari tahu?" air mataku tumpah dan aku menangis.

"Rhein." Dia hanya menangis dan mengucapkan namaku.

"Apa setidaknya kamu pernah bertanya dimana Tristan?" suaraku meninggi.

"Rhein."

"Berhenti menyebut namaku dan pergilah!?" aku berteriak. "Lupakan bahwa kita pernah saling mengenal, lupakan bahwa kamu pernah mencintaiku. Maka aku akan melupakan apa yang telah ayahmu lakukan terhadapku dan keluargaku.."

"Rhein... maafin aku...." Dia menagis tersendu-sendu.

Aku meraih tangannya, menggenggamnya dan tersenyum dalam tangis. "Tak apa, Kamu akan mencintai orang yang lebih baik dariku. Aku tak ingin membenci keluargamu karena aku menyayangimu dan Tristan. Lupakan bahwa ayahmu pernah membunuh adikku, memberi suap pada ibuku agar memasukan aku kerumah sakit jiwa. Kamu...jangan pernah merasa bersalah seperti yang kakakmu lakukan-"

"Jangan lihat kebelakang dan pergilah, jangan temui aku dan teruslah bahagia." Aku melepaskan tangannya, lalu pergi.

***

Tiga bulan berlalu sejak aku melepasnya dari kehidupanku. Terkadang kami saling bertemu walau tak saling menyapa. Aku dan dia, duduk berhadapan dengan perasaan aneh, kali ini tidak terlibat dalam percakapan apapun dan tak pernah saling menannyakan kabar. Dinginnya keheningan membuatku membeku. Ini adalah perasaan yang sangat lama.

Bukan karna aku tak tahu apa itu cinta hingga aku lebih memilih untuk tak hidup bersama siapapun. Bukan karna aku tak tahu apa itu luka meski aku lebih memilih untuk menanggung rasa sakit itu sendirian. Tapi karna rasa, aku lebih mengerti dan memahami arti dari pengorbanan.  Bukan krana aku membencinya, aku meninggalkannya. Justru karna aku tahu bahwa aku mencintainya, aku tak ingin ia terus hidup dalam perasaan bersalah selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun