"Emm...di dunia yang seperti ini...ada tidak, cinta yang abadi?" aku tertegun. Aku ingat seseorang pernah menanyakan hal yang sama. Hanya saja waktu itu aku menertawainya dan tak menjawab pertanyaanya.
"Hidup itu tak akan semudah membalikan telapak tangan, begitupula dengan cinta seseorang. Didunia tempat yang kita tinggali, mana  ada yang abadi. sama halnya dengan bunga yang akan mekar dan layu, seperi asap yang akan memudar." Wajahnya berubah murung mendengar jawabanku.
"Begitukah menurut kamu?" tanyanya denga suara pelan. Tampak dari wajahnya bahwa ia tak puas dengan jawabanku.
"Hmm." Aku mengangguk dan tersenyum. Ia mendongak, wajahnya berubah menjadi serius.
"Dulu aku buta." Aku tahu; Wajahku sama sekali tak menunjukan keterkejutan. "Aku pernah mencintai seseorang, tapi aku tak yakin apakah dia juga mencintaiku." Aku mencintaimu;
"Lalu?" aku benar-benar penasaran. "Apa kamu masih cinta sama dia?" aku tak tahu mengapa aku bertanya seperti itu.
"Rhein." Tatapannya berubah tajam, menghujam kearahku. Aku tersentak, takut jika ia mengetahui identitasku, "Aku masih cinta dia. Cintaku akan selalu sama." Dia tersenyum lalu menghabiskan sisa-sisa terakhir makanannya.
"Dia juga mencintai kakakku." Tapi aku lebih mencintaimu; "Jam makan siang hampir habis. Kita balik ke kantor." Aku hanya mengiyakan dan menurutinya.
***
Aku berbaring diranjang, melipat dan membuka surat dari Tristan. Entah sudah yang keberapa kalinya, air mataku masih saja terus mengalir.
Hari ini aku lembur dan pulang malam, kupikir hanya tinggal aku seorang yang masih berada dikantor.