Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Dak Kelema'an: Wong Plembang Jago Gengsi

28 November 2023   12:49 Diperbarui: 28 November 2023   13:00 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : IG Layar Taman 

Lemak dalam bahasa Palembang berarti "enak", bukan lemak (fat) tubuh. Pun bukan  lemak hewan, disini lemak hewan disebut gajih. Bukan gaji dalam artian pendapatan. Tetapi ada tambahan huruf h pada kata tersebut.

Lemak dalam artian enak tidak hanya merefer pada rasa masakan. Tetapi juga pada kondisi perasaan dan psikologis, pun pada idiom umum yang dipergunakan masyarakat palembang tentang kondisi tubuh. 

Lemak nian artinya enak sekali. Dak lemak badan artinya tubuh tidak sehat.

Nasi lemak itu di Malaysia, di Palembang adanya nasi gemuk.Jadi lemak tidak dapat menjadi kata ganti umami (gurih), karena gurih seringkali dipergunakan kata gemuk. Ya meski kata gemuk juga dipergunakan masyarakat Palembang untuk kata gendut dan pelumas/oli gemuk (grease). 

"Lemaklah" adalah ungkapan yang ditujukan dengan lawan bicara untuk menggambarkan kondisi yang di alam pikir pengucap terhadap lawan bicara. Seringkali ini adalah idiom yang maksudnya tergantung pada intonasinya. 

Bahasa Palembang memang bukan hanya sekadar kata tetapi juga sangat terpengaruh pada intonasi.

Mati kelema'an adalah idiom yang seringkali dipakai menggambarkan kondisi hidup yang sering dipakai orang tua atau guru kalo sudah murka. Kata ini berarti hidupnya terlalu enak dan dipermudah sehingga malas berusaha.

Dak kelema'an karena gengsi.

Dak kelema'an padanan katanya gak enakan. Bukan dalam makna awful seperti frasa "dak lemak ati" / tidak enak hati.

Dak kelema'an lebih ke arah sikap untuk menyenangkan orang lain. Seringkali hal ini timbul karena menjaga kesantunan, mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Hal yang menjadi doktrin ditanam sejak dini untuk dinilai sebagai orang baik.  

Namun, tidak jarang juga dak kelema'an muncul karena takut dinilai buruk oleh orang lain. 

Dak kelema'an di satu sisi memang baik. Dunia memang butuh orang baik. Tetapi, seringkali karena suatu kondisi tertentu dak kelema'an justru menjadi kondisi toxic untuk sebagian orang. Karena rasa dak kelema'an seringkali malah merugikan diri sendiri. Rasa dak kelema'an juga yang sering memunculkan rasa gamang menimbulkan dak lemak ati.

Isu ini sepertinya yang membuat penulis cerita film pendek produksi Putra Alif. Sineas asal Palembang ini mengangkat kisah yang sederhana namun penuh makna. Sangat melekat pada budaya keseharian Palembang.

Berlatar tempat di kawasan rumah susun Palembang. Lokasi yang padat penduduk yang sangat dekat dengan pusat kota Palembang, termasuk kawasan bisnis elit di Palembang. Berkisah tentang seorang pemuda pengangguran yang diajak temannya untuk menengok temannya yang sakit di rumah sakit. 

Kondisi keuangannya sedang sulit. Tetapi, untuk menjaga kesantunan ia tetap membeli buah tangan. Temannya sebetulnya memang sudah menentang. Baginya, menjenguk teman yang sakit sudah cukup. Memberi perhatian dan semangat agar yang sakit segera sembuh, tidak perlu membebani diri untuk membawa buah tangan.

Tapi ia bersikukuh, meski dalam perjalanan untuk mengisi bensin motor bututnya saja pas-pasan. 

Sialnya, di perjalanan ban motor bocor. Sedangkan ia sama sekali sudah tidak memegang uang lagi. Karena kebaikan hati temannya masalah tersebut teratasi. 

Tetapi  tidak sebatas itu, masalah lain juga muncul yang mengakibatkan batalnya mereka ke rumah sakit untuk menjenguk temannya.

Uang sudah tidak bersisa, niat baik menjenguk pun batal. Semua sia-sia akibat rasa dak kelema'an.

Mungkin untuk sebagian orang, terutama yang tidak paham bahasa Palembang akan sulit mencerna kisah ini. Sebagaimana banyak kritikus mengatakan bahwa kelemahan film pendek Indonesia adalah ceritanya yang cenderung kering.

Penggunaan bahasa daerah yang sarat idiom sebenarnya memberi ruang yang dinamis untuk mengangkat isu yang menyangkut psikososial dan kondisi budaya suatu masyarakat.

Bukan rahasia umum, karakter masyarakat Palembang umumnya sangat menjaga gengsi. Meski dalam kondisi kekurangan sekalipun, ia tidak akan mengakuinya terang-terangan. Bahkan rasa untuk tetap memberi meski dalam kondisi kekurangan pun masih menjadi budaya yang kuat. 

Sudah tertanam dari kecil bahwa kami harus selalu berbuat baik. Kemiskinan adalah aib yang tidak perlu diumbar ke orang lain. Di satu sisi, memberi meski dalam keadaan terperih memang suatu wujud kasih. Tetapi, di era modern ini hal demikian lebih ke pada faktor jaga gengsi.  Hanya karena rasa Dak kelema'an. Bukan karena keikhlasan hati.  

Hanya karena menjaga gengsi, hidup sendiri menjadi sengsara. Sebuah kondisi rill  yang terjadi di masyarakat, terkesan konyol namun terasa getir.

 

Menyambut JAFF 2023

Salah satu film yang ditayangkan di acara Short Screening dan Discussion yang diselenggarakan oleh Bioskoponline. Sebagai salah agenda road to JAFF 2023 bertepatan dengan peringatan sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 2023 yang lalu.

Sebagaimana janji saya sebelumnya,  akan membahas satu per satu film tersebut.

Baca juga : Payung Dara: Ketika Tabu Menyebut Bagian Tubuh

Pemutaran film pendek yang dihadiri oleh komunitas pecinta film ini memang cukup menarik antusias.Ada 7 film yang mengangkat isu dalam bahasa daerah masing-masing. Menambah khasanah pengalaman baru untuk penikmatnya. 2 dari 7 Film yang diputar dalam event ini produksi sineas kota Palembang. 

Bahasa membawa Rasa

Bahasa memang membawa rasa. Ada banyak hal terutama isu yang terjadi di dalam masyarakat sulit untuk disampaikan menggunakan bahasa baku. Ada begitu banyak diksi dalam bahasa daerah yang sulit mendapatkan padanannya. Pemadanan yang kurang tepat akan membuat pesan yang disampaikan menjadi ambigu. 

Apalagi nusantara yang terdiri dari banyak suku memiliki ratusan bahasa daerah. 

Demikian Sumatera Selatan memiliki ratusan marga yang berpengaruh pada dialek masing-masing. Bahkan, satu desa pun dapat beda bahasa.

Huruf ulu (aksara kaganga) yang dikenal masyarakat Sumatera Selatan tempo dulu pun dapat dibaca kata berbeda meski bentuk hurufnya sama, jika yang membacanya berasal dari suku dan  (berdasarkan aliran sungai) marga (dari aliran cabang anak sungai) berbeda.

Beragamnya bahasa daerah  merupakan bebuah kekayaan yang patut dilestarikan, termasuk melalui media film.

Belum banyak sineas yang mengangkat bahasa daerah asli dalam film. Sineas Palembang pun masih menggunakan bahasa Palembang pasaran yang memang umumnya dipahami oleh masyarakat Sumatera Bagian Selatan. Padahal ada puluhan rumpun bahasa dan ratusan dialek di Sumatera Selatan yang dapat diangkat sebagai khasanah kekayaaan budaya.

Dalam kehidupan sehari-hari pun korsleting bahasa dapat terjadi, karena adanya beda arti pada kata yang hampir sama pada bahasa daerah yang berbeda di wilayah Sumatera Selatan.

Ada banyak anekdot yang seringkali diungkapkan dalam kelakar betok (komedi gaya Palembang) yang ada di masyarakat mengenai korsleting bahasa. Kendalanya, saya sendiri jika menceritakannya tidak akan lucu. Karena keterbatasan kemampuan pengucapan dialek yang tepat.

Film Berbahasa Daerah

Menyenangkan sekali sekarang semakin banyak film berkualitas yang berbahasa daerah. Sebut saja Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak (2017),  Yuni (2021), Budi Pekerti (2023) serta Women from Rote Island (2023) yang berjaya di festival-festival film internasional. Pun film-film pendek dari berbagai daerah juga semakin banyak yang menggunakan bahasa daerah. Meski seringkali terjemahan pada sub tittle membuat emosi karena sering kali diksi dan padanan yang kurang tepat dalam bahasa Indonesia atau Bahasa Ingris.

Memang  tantangan tersendiri membuat film berbahasa daerah. 

Proses reading pun menjadi panjang, ditambah dengan coaching khusus agar pengucapan kata dan kalimat tepat dengan dialek. 

Bukan tidak ada keinginan dari para sineas kita mengangkat bahasa daerah dalam film. Kita semua harus mahfum bahwa hal ini terkendala budget yang terbatas. Penerimaan masyarakat juga belum tentu baik, karena isunya menjadi sangat kedaerahan. 

Dark jokes dengan yang disampaikan juga akan terasa kering jika tidak paham dengan bahasa dan budaya setempat, termasuk yang disampaikan dalam film Dak kelem'an ini.  

Film mungkin tidak dapat memberikan ruang langsung sebagai media pembelajaran, tetapi dapat menjadi trigger untuk memahami budaya setempat melalui film yang mengangkat isu lokal dalam balutan bahasa lokal pula.

Bangga dengan kerja keras sineas daerah yang bangga dengan budayanya. Semoga ke depan dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap pengembangan budaya melalui karya sineas ini semakin kuat.

Selamat menikmati makan siang, kompasianer. Tetap bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun