Mohon tunggu...
Karisma Nabila
Karisma Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya mahasiswa

Pembahasan yang akan di bahas yaitu mengenai hukum perdata islam di indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku: Waris Berdasarkan Berbagai Sistem Hukum di Indonesia Karya Hj. Wati Rahmi RIA, S.H.M.H

14 Maret 2024   10:50 Diperbarui: 14 Maret 2024   10:57 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum Perdata Islam di Indonesia

WARIS BERDASARKAN BERBAGAI SISTEM HUKUM DI INDONESI

Hj. Wati Rahmi Ria, S.H,M.H.

Karisma Nabila Fatmi

222121104

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract:

Hukum waris merupakan bagian dari seluruh hukum perdata dan bagian dari hukum keluarga. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena semua orang pasti mengalami peristiwa hukum kematian. Akibat hukum yang timbul akibat peristiwa hukum meninggalnya seseorang, antara lain meliputi cara pengurusan dan kelangsungan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang yang meninggal itu. Warisan adalah proses pewarisan atau pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh ahli waris. Warisan ini tidak hanya berarti suksesi harta benda, tetapi juga suksesi kewajiban ahli waris yang tidak terpenuhi. Dalam rangka pembentukan hukum waris nasional yang seragam, terkodifikasi, dan berlandaskan atau berdasarkan pada hukum adat, maka sudah sewajarnya jika unsur-unsur hukum waris lainnya juga dimasukkan. Isinya sesuai dengan sifat dan isinya. Hal ini mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia, mengingat hukum adat bersifat fleksibel dan dinamis, selalu menerima unsur dari luar. Penerapan hukum waris sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) didasarkan pada ketentuan peralihan Pasal 2 dan 4 UUD 1945 dan dapat menjadi landasan bagi tetap berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Kekosongan hukum yang ada pada saat berlakunya UUD dapat dihindari di masyarakat.

Keywords: Hukum Waris, Hukum Perdata, Harta Benda, Pewaris, Ahli Waris

Pendahuluan

 Perkembangan jaman yang dari masa ke masa semakin mengalami banyak perubahan, tak lantas membuat Warisan yang ada di kehidupan Masyarakat di Indonesia itu menjadi ikut berubah. Perkembangan zaman tidak menimbulkan perubahan pada sistem pewarisan yang ada di Indonesia. Dalam KUHPerdata, terdapat 3 asas yang menguraikan tentang ahli waris yang berhak dan dapat memperoleh pembagian harta waris menurut sistem pewarisan KUHPerdata. Peninggalan dari si pewaris tidak hanya dapat berupa harta berharga, tetapi juga dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud maupun hanya sebuah pesan wasiat yang disampaikan. Dalam kehidupan di masyarakat, pembagian warisan ini menimbulkan konflik antar keluarga yang menyebabkan terjadinya perpecahan satu keluarga. Dalam menghadapi masalah pewarisan yang akan menimbulkan konflik antar keluarga, maka pemerintah mengizinkan adanya tuntutan hukum terkait pewarisan ini. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur tentang asas yang mengatur tentang ahli waris, yaitu asas pribadi, asas bilateral dan asas penderajatan. Selain mengatur 3 asas itu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur tentang unsur-unsur yang termasuk dalam hukum waris, yaitu ada pewaris, ahli waris dan juga harta waris sebagai harta yang akan dilimpahkan pewaris kepada ahli warisnya. Ahli waris juga digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu Golongan I, Golongan II, Golongan III, dan golongan IV. Selain itu, KUHPerdata juga mengatur mengenai bagian mutlak atas harta kekayaan dalam pewarisan.

Pendahuluan Hukum Waris Adat

Hukum waris merupakan bagian dari KUH Perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari Hukum Keluarga. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia karena setiap orang pasti mengalami suatu peristiwa hukum yang disebut dengan kematian. Akibat hukum dari peristiwa hukum meninggalnya seseorang antara lain menyangkut persoalan bagaimana hak dan kewajiban orang yang meninggal itu dikelola dan dilanjutkan. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban yang timbul akibat meninggalnya seseorang diatur dengan hukum waris.

Dari pengertian Hukum Waris di atas memperlihatkan adanya 3 (tiga) unsur, yang masing-masing merupakan Unsur Esensila (mutlak) yaitu : Yang pertama, Seorang peninggal warisan/Pewaris yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan/warisan. Yang kedua, Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Yang ketiga, Harta Warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan yang ditinggalkan dan sekalian beralih kepada para ahli waris itu

Bentuk, sifat dan sistem Hukum Waris Adat sangat erat kaitannya dan berhubungan dengan bentuk masyarakat dan sifat kekerabatan/kekeluargaan di Indonesia. Dengan kata lain Hukum Waris Adat sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang ada dalam masyarakat Indonesia yang berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan yang ada tiga (3) macam itu, yaitu : Sistem yang pertama, Sistem Kekerabatan Patrilinial adalah sistem yang menarik garis keturunan dari pihak ayah atau garis keturunan pihak laki-laki. Dalam sistem ini seorang istri oleh karena perkawinannya akan dilepaskan dari hubungan kekerabatan orang tuanya, nenek moyangnya, saudaranya sekandung dan semua kerabatnya. Sistem yang kedua, Sistem Kekerabatan Matrilinial, adalah sistem yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan atau ibu dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan nenek moyang perempuan, sehingga berakhir pada satu kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari seorang ibu asal. Sistem yang ketiga, Sistem Kekerabatan Parental, ini menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun garis pihak ibu, sehingga dalam kekerabatan/kekeluargaan semacam ini pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara keluarga pihak ayah atau pihak ibu. Pihak suami sebagai akibat dari perkawinannya menjadi angota keluarga pihak istri dan pihak istri juga menjadi anggota kerabat keluarga pihak suami.

Perbedaan Hukum Waris Adat dengan Hukum Waris Islam / FIQH

*Hukum Waris Islam, warisan berarti pembagian dan pada harta peninggalan, dan para waris dapat menuntut dibaginya harta peninggalan setiap waktu.

*Hukum Waris Adat, pewarisan tidak tentu berarti pembagian harta peninggalan mungkin karena pembagiannya yang tidak dibolehkan atau pembagiannya masih ditunda sampai waktu tertentu yang akan datang. dll

Pendahuluan Hukum Waris Perdata

 Hukum kewarisan perdata barat yang teratur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang merupakan tiruan belaka dari Burgerlijk Wetboek lama Belanda, berdasarkan azas konkordansi diberlakukan di Indonesia bagi golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan dengan golongan Eropah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling, meskipun merupakan produk hukum dari pemerintahan kolonial Belanda, tetapi sampai saat sekarang masih tetap dinyatakan berlaku. Keberlakuan hukum kewarisan yang teratur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) ini adalah berdasarkan aturan peralihan Pasal 2 dan Pasal 4 Undang Undang Dasar 1945.

 Berdasarkan kedua Pasal aturan peralihan Undang Undang Dasar 1945 tersebut, maka pada tanggal 10 Oktober 1945, Presiden mengeluarkan suatu Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 yang berisi ketertiban masyarakat bersandarkan aturan peralihan Undang Undang Dasar Negara R.I. Pasal II bersambung dengan Pasal IV. Pengertian Hukum Waris secara umum yang dimaksud dengan hukum waris adalah hukum yang mengatur tata cara perpindahan atau pengalihan harta warisan dari si mati (pewaris) baik berupa harta benda yang dapat dinilai dengan uang maupun utang piutang kepada orang orang yang berhak mewarisinya baik menurut Undang Undang maupun surat wasi'at sesuai bagian yang telah ditentukan dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Ada pun tiga unsur-unsur kewarisan sebagi berikut: Unsur yang pertama, Pewaris, secara umum dapat diketahui bahwa tidak semua orang yang meninggal dunia, disebut pewaris, karena syarat untuk dapat disebut pewaris adalah orang yang meninggal dunia tersebut harus meninggalkan pelbagai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga yang dapat dinilai dengan uang yang disebut dengan harta peninggalan. Unsur yang kedua, Ahli waris, Ahli waris adalah orang yang menggantikan pewaris dalam kedudukan hukum mengenai harta peninggalannya, baik untuk seluruhnya maupun untuk bagian yang sebanding. Unsur yang ketiga, Harta peninggalan, Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris untuk dibagi bagikan kepada orang yang berhak mewarisinya. Namun demikian tidak semua harta yang ditinggalkan pewaris secara otomatis bisa dibagi bagikan kepada orang yang berhak mewarisinya, karena harus dilihat terlebih dahulu apakah harta yang ditinggalkan pewaris tersebut harta campur atau bukan.

Akan tetapi pada persoalan ini, ada lagi segi segi yang lain daripada segi keuangan saja. hukum waris negara berarti, bahwa suatu instansi pemerintah diperbolehkan mencampuri segala persoalan yang timbul dibidang keuangan oleh karena matinya seseorang. Negara ikut membuat daftar harta peninggalan, ikut memutuskan bagaimana caranya membagi patung patung dan burung kenari kepada orang orang yang menerima hibah wasi'at dan ikut juga mengatur pemisahan barang barang Tidak dapat diragukan lagi, bahwa munculnya negara sebagai ahli waris tidak akan disenangi oleh ahli waris lainnya, dan saya juga tidak sependapat dengan orang orang yang mempunyai pendirian, bahwa pajak warisan dan waris negara sama artinya, karena sebagai pemungut pajak warisan, negara tidak mempunyai urusannya, tetapi hanya berfungsi sebagai kreditor.

Tinjauan Umum Tentang Kewarisan Perdata

Pengaturan Hukum Waris dalam Buku II KUHPerdata, Hukum waris diatur di dalam Buku II, bersama-sama dengan benda pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan adanya pandangan bahwa pewarisan adalah cara untuk memperoleh hak milik sebenarnya terlalu sempit dan bisa menimbulkan salah pengertian, karena yang berpindah dalam pewarisan bukan hanya hak milik saja, tetapi juga hak-hak kebendaan yang lain (hak kekayaan) dan di samping itu juga kewajiban-kewajiban yang termasuk dalam Hukum Kekayaan. Di dalam Pasal 584 KUHPerdata mengandung makna bahwa pewarisan merupakan salah satu cara yang secara limitatif ditentukan untuk memperoleh hak milik, dan karena benda (hak) milik merupakan salah satu unsur pokok dari pada benda yang merupakan benda yang paling pokok di antara benda-benda lain. Disamping itu KUHPerdata menyebutkan juga bahwa hak mewaris disebutkan bersamasama dengan hak kebendaan yang lain, sehingga menimbulkan pandangan "seakan-akan" hak mewaris "merupakan suatu hak kebendaan". Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari Hukum Romawi yang menganggap warisan adalah zaak (tak berwujud) tersendiri, dan para ahli waris mempunyai hak kebendaan atasnya.

Adapun Pengertian Kedudukan dan Anak (Keturunan) yaitu sebagai berikut:

Yang pertama, Kedudukan adalah status hukum seseorang di dalam hukum. Dalam hal ini adalah kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan baik dalam hubungan keluarga dan pewarisan. Yang kedua, Anak (Keturunan), Yang dimaksud dengan keturunan (afstamming) adalah hubungan darah antara anak-anaknya dengan orang tuanya. Anak-anak yang dilahirkan dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu; Yang pertama, Anak sah, adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, mengenai keturunan yang sah menurut Pasal 250 KUHPerdata, dalam arti anak yang bisa di buktikan bahwa itu anak dari sepasang suami istri. Yang kedua, Anak tidak sah atau juga bisa disebut anak luar kawin, adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau dapat juga berarti anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang melahirkan anaknya di luar suatu perkawinan yang dianggap sah menurut hukum yang berlaku.

Sistem Pewarisan Dalam Sistem Hukum Waris Perdata. Ada dua sisyem untuk pembagian warisan yaitu sebagai berikut: Yang pertama, Ahli waris yang mewaris berdasarkan ketentuan undang-undang (ab-intestato), yaitu orang yang karena ketentuan undangundang dengan sendirinya menjadi ahli waris, yakni para anggota keluarga si pewaris, mulai dari yang terdekat (hubungan darahnya) sampai yang terjauh asalkan ada ikatan keluarga/hubungan darah dengan si pewaris. Yang kedua, Orang-orang yang menerima bagian warisan berdasarkan pesan terakhir atau wasiat (testament) dari pewaris. Jadi mungkin kalau dalam hal ini orang tersebut tidak mempunyai hubungan darah/ikatan keluarga apapun dengan si pewaris (Pasal 899 KUHPerdata).

Adapun sifat hukum waris perdata yang menganut beberapa sistem yaitu sebagai berikut;

Yang pertama, Sistem Individual (sistem pribadi) dimana menjadi ahli waris adalah perorangan (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok klan, suku, atau keluarga. Hal ini dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 852 jo. 852 a KUHPerdata tentang pewarisan para keluarga sedarah yang sah dan suami atau istri yang hidup terlama. Yang kedua, Sistem Bilateral artinya bahwa seseorang tidak hanya mewaris dari garis bapak saja tetapi juga sebaliknya dari garis ibupun dapat mewaris, demikian juga saudara laki-laki mewaris dari saudara laki-lakinya maupun saudara perempuannya begitu juga, sistem bilateral ini dapat dilihat dalam Pasal 850, 853 dan 856 KUHPerdata yang mengatur bila anak-anak keturunannya serta suami atau istri yang hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan dari yang meninggal diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara laki-laki maupun saudara perempuannya. Yang ketiga, Sistem Perderajatan artinya bahwa ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.

Adapun syarat-syarat mewaris menurut Pasal 830 KUHPerdata sebagai berikut:

Yang pertama, Pewaris telah meninggal dunia. Yang kedua, Pewaris memiliki sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan. Yang ketiga, Orang tesebut haruslah termasuk sebagai ahli waris dan orang yang ditunjuk berdasarkan wasiat si pewaris untuk menerima bagian warisan. Yang keempat, Orang-orang yang disebutkan dalam point C di atas itu tidak atau bukanlah orang yang dinyatakan sebagai orang yang tidak patut menerima warisan menurut putusan pengadilan.

Adapun golongan-golongan ahli waris menurut KUHPerdata sebagi berikut;

Golongan 1, Golongan I adalah suami atau istri yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunanya (Pasal 852 KUHPerdata). Yang artinya bahwa anak-anak tidak dapat mewaris bersama-sama dengan keturunannya. Keturunannya disini diartikan keturunan si anak. Golongan 2, Ahli waris golongan 2 adalah orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan saudara-saudaranya (Pasal 854 ayat 1 KUHPerdata). Dari ketentuan Pasal 854 KUHPerdata dapat kita lihat bahwa ayah, ibu dan saudara mewaris kepala demi kepala. Golongan 3, Ahli waris golongan III adalah keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu (Pasal 853 KUHPerdata), yaitu Kakek dan nenek, yaitu ayah dan ibu dari ayah ibu dari si pewaris, ayah dan ibu dari kakek maupun nenek, baik dari ayah maupun ibu dan seterusnya. Golongan 4, adalah keluarga garis ke samping sampai derajat keenam. Pasal 858 menentukan: jika tidak ada saudara laki-laki dan perempuan, dan tidak ada pula keluarga sedarah dalam salah satu garis ke atas, maka setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekalian keluarga dalam garis ke atas yang masih hidup.

Mawaris Karena Adanya Anak Luar Kawin

 Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) mengatur kedudukan anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:

(1) Anak yang dilahirkan di Iuar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;

(2) Kedudukan anak tersebut pada penjelasan ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum ternyata adalah inferieur (lebih jelek/rendah) dibanding dengan anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah kekuasaan orang-tua (Pasal 299 KUHPerdata dan Pasal 47 UUP), sedangkan anak luar kawin berada di bawah perwalian (Pasal 306 KUHPerdata dan Pasal 50 UUP). Hak bagian anak sah dalam pewarisan orangtuanya lebih besar daripada anak luar kawin (Pasal 863 KUHPerdata) dan hak anak luar kawin untuk menikmati warisan melalui surat wasiat; dibatasi (Pasal 908 KUHPerdata). Dalam buku 2 KUHPerdara membahas tentang pewarisan bagi anak di kuar nikah yaitu ada dua yang pertama, sebagai ahli waris (hak waris aktif). Yang kedua membahas tebtang anak luar kawin berkedudukan sebagai pewaris (hak waris pasif).

Dalam melakukan pengakuan dan pengesahan anak luar kawin ada upaya hukumnya yaitu sebagai berikut: Yang pertama, Pengakuan Anak Luar Kawin, pengakuan dibedakan menjadi 2 yaitu yang pertama, Pengakuan sukarela adalah suatu pernyataan yang menyatakan bahwa seseorang adalah ayah dan ibu dari anak yang lahir di luar perkawinan (Pasal 280 KUPerdata). Yang kedua, pengakuan paksaan dapat dilakukan oleh anak yang lahir di luar perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu diakui sebagai anak bapak atau ibunya (Pasal 287-289 KUHPerdata). Adapun Akibat pengakuan anak luar kawin, yaitu timbulnya hubungan perdata antara anak dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Dengan timbulnya hubungan Perdata tersebut, maka anak luar kawin statusnya berubah menjadi anak luar kawin yang telah diakui, kedudukannya jauh lebih baik daripada anak luar kawin yang tidak diakui.

Adapun upaya hukum yang kedua yaitu Pengesahan Anak Luar Kawin, terdiri dari, Pengesahan Anak karena Perkawinan Orang TuanyaPengesahan seorang anak luar kawin adalah alat hukum (rechts middle) untuk memberi kepada anak itu kedudukan (status) sebagai anak sah. Menurut Pasal 272 KUHPerdata menyebutkan bahwa anak luar kawin akan menjadi anak sah apabila, orang tuanya kawin dan sebelum mereka kawin tapi mereka telah mengakui anaknya atau

pengakuan ini dilakukan dalam akta perkawinan. Yang selanjutnya Pengesahan Anak dengan Surat Pengesahan dan Akibatnya, Anak luar kawin juga dapat disahkan dengan surat pengesahan

dari Kementerian Kehakiman, apabila perkawinan yang telah dirancangkan oleh karena salah satu dari mereka meninggal dunia (Pasal 275 sub 1 KUHPerdata). Akibat hukum dari pengesahan dalam hal orang tuanya kawin dan pengesahan terjadi karena perkawinan itu atau karena surat pengesahan dari Menteri Kehakiman, maka bagi yang disahkan itu berlaku ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama, seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan, yang berarti anak tersebut memperoleh kedudukan yang sama seperti anak-anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan.

Upaya hukum yang ke tiga pengesahan akan batal jika pengakuan anak itu dinyatakan tidak sah oleh hakim atas tuntutan pihak yang berkepentingan. Untuk cara pembagian Warisan yang Diperoleh Anak Luar Kawin Besarnya bagian warisan yang diperoleh anak luar kawin adalah tergantung dari dengan bersama-sama siapa anak luar kawin itu mewaris (atau dengan golongan ahli waris yang mana anak luar kawin itu mewaris). Bedasarkan UU No 1 tahun 1974 kedudukan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan antara anak luar kawin dan ayahnya baru ada hubungan perdata apabila ayahnya tersebut mengakui bahwa anak luar kawin tersebut adalah anaknya. Sehingga dalam pembagian warisan yang diperoleh anak luar kawin tersebut adalah, apabila anak luar kawin tersebut mewaris bersama golongan I maka bagiannya adalah 1/3 dari bagiannya seandainya ia adalah anak yang sah. Kemudian apabila ia mewaris bersama golongan II dan III maka bagiannya adalah 1/2 dari seluruh warisan. Sedangkan apabila anak luar kawin tersebut mewaris bersama golongan IV maka ia berhak atas 3/4 dari seluruh warisan. Sehingga dapat kita tarik benang merah bahwa anak luar kawin tidak dapat mewaris hanya untuk dirinya sendiri tapi harus bersama-sama golongan I atau bila tidak ada golongan II dan selanjutnya apabila golongan yang diatas sudah meninggal terlebih dahulu. Anak luar kawin baru dapat mewaris untuk dirinya sendiri apabila keempat golongan tersebut sudah tidak ada.

Mewaris Karena Adanya Surat Wasiat (Testament)

Pewarisan menurut Testament (Ad Testamento) Dalam pewarisan menurut testament maka ditinjau dari isi testament dikenal dua cara, yaitu : Yang pertama, Erfstelling atau pengangkatan waris, Pasal 954 KUHPerdata menentukan bahwa, wasiat pengangkatan waris adalah suatu wasiat dimana si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan harta kekayaan yang akan ditinggalkannya apabila ia meninggal dunia baik seluruhnya maupun sebagian seperti setengahnya, sepertiga. Yang kedua, Hibah Wasiat atau Legaat, di dalam Pasal 975 KUHPerdata, menetukan bahwa hibah wasiat adalah penetapan wasiat yang khusus dimana yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan beberapa dari barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, misalnya barang-barang bergerak atau barang-barang tak bergerak, atau hak pakai atas seluruh atau sebagian dari harta peninggalan.

Menurut pasal 913 KUHPerdata legitime Portie, adalah sesuatu bagiam dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Tujuan legitieme portie ialah agar warisan sebagai harta keluarga akan jatuh ke tangan keluarga. Dengan demikian diharapkan bahwa harta keluarga akan jatuh ketangan keluarga, sehingga legitieme portie mempunyai fungsi pemerataan (sosial) diantara anak-anak sebagai ahli waris. Sifat Hukum Dari Legitime Portie ada dua yang peetama, Legitimaris dapat menuntut pembatalan dari perbuatan-perbuatan si pewaris yang merugikan legitime portie (bagian mutlak). Yang kedua, Si pewaris bagaimanapun tidak boleh beschikken (membuat ketetapan) mengenai bagian mutlak itu.

Bedasarkan Pasal 915 KUHPerdata, selamanya dari bagian menurut undang-undang. Sedangkan bagian mutlak dari anak luar kawin yang telah diakui (Pasal 916 KUHPerdata) selamanya dari bagian anak luar kawin menurut ketentuan Undang-Undang. Ahli waris yang tidak mempunyai bagian mutlak atau legitime portie, yaitu pertama suami/isteri yang hidup terlama. Kedua para saudara-saudara dari pewaris. Mereka tidak berhak (non legitimaris) karena berada dalam garis kesamping. Digunakan tidaknya perhitungan berdasarkan legitime portie sangat tergantung pada ada atau tidaknya hibah atau testament tang bisa dilaksanakan. Testament menurut Pasal 875 KUHPerdata testament atau surat wasiat ialah suatu akta yang dapat memuat pernyataan tentang apa yang dikehendaki agar terjadi setelah orang tersebut meninggal dunia dan olehnya dapat dicabut kembali.

Pendahuluan Hukum Waris Islam

Hukum Islam yang telah berlaku sejak masa VOC itulah yang oleh pemerintah Hindia Belanda diberikan dasar hukumnya dalam Regeerings Reglement atau RR tahun 1855 yang antara lain dalam Pasal 75 dinyatakan bahwa "Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang- undang agama". Di dalam penjelasan undang-undang tersebut ditegaskan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam. Hal tersebut memberi pemahaman bahwa para pihak dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Jika pasal tersebut dihubungkan dengan penjelasan undang-undang itu maka diperoleh kesimpulan bahwa menurut hukum positif (tata hukum) Indonesia, orang Islam tidak harus tunduk pada hukum kewarisan Islam dalam hal pembagian harta warisan. Orang Islam boleh menggunakan pranata hukum lain (misalnya hukum kewarisan adat atau hukum kewarisan berdasarkan KUH Perdata).

Latar Belakang Hukum Waris Islam

 Pada masa pra Islam kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Kondisi ini terjadi dengan alasan bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Sehingga di zaman jahiliyah Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil. Mereka memandang kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan izin kaum laki- laki (suaminya). Sedangkan Hukum membagi Harta Pustaka yang tertera di dalam Al Qur'an dan Al Hadist adalah merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa, oleh karenanya wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya.

 Sejarah Hukum waris Islam di indonesia, yang pertama pada masa sebelum pemerintah kolonial Belanda, Dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, disebutkan bahwa berdasarkan keadaan di atas (ketidakberdayaan sistem peradilan yang diciptakan oleh VOC), maka VOC menugaskan D.W. "Hukum Warisan Islam" sambungsambung karya Fraijer juga diselesaikan oleh penguasa masadan para ulama, dan Kodediterima oleh VOC dan dikembangkan lebih lanjut oleh lembaga peradilan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dikalangan umat Islam. oleh institusi. Keadaan ini (penerapan hukum Islam dalam lembaga peradilan yang didirikan VOC) berlangsung selama kurang lebih dua abad sejak tahun, setelah itu dilakukan upaya secara perlahan dan sistematis untuk menghilangkannya. Yang kedua pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Pada abad ke-19, banyak orang Belanda, baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda. Sangat berharap segera menghilangkan pengaruh hukum Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara diantaranya melalui proses Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama Kristen tehadap agama Islam dan sebagian lagi berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkretis agama Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam Indonesia dikristenkan jika dibandingkan dengan mereka yang berada di negara-negara muslim lainnya. Sehingga menggunakan pasal 75 RR (Regeering Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar Pemerintah Belanda untuk menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855:2 memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan keputusan dan keadilan yang diakui umum. Yang ketiga pada Masa Pendudukan Jepang, Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintah Dai Nippon. Yang ke empat Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang sejak diproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 29. Di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya telah dimulai untuk menjalankan sabda Rasulullah Saw untuk mempelajari dan mengajarkan hukum waris, tinggal sekarang bagaimana penerapan ilmu tersebut (hukum waris Islam) dalam lingkungan kehidupan masyarakat muslim Indonesia secara konsisten. Dapat disimbulkan bahwa hukum waris Islam bagi seorang muslim mempunyai kedudukan yang utama dibandingkan dengan hukum waris lainnya, sebab sudah jelas bahwa hukum waris Islam telah ditetapkan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah ( sesuatu yang wajib dilaksanakan). Sedangkan peran Pengadilan Agama yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai Pengadilan yang berdiri sendiri dan mempunyai kewenangan penuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kewarisan bagi masyarakat yang memeluk agama Islam.

Dasar Hukum Waris Islam Dan Kjiannya

 Ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewarisan baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam Al-Qur'an dapat dijumpai dalam beberapa surat dan ayat, yaitu sebagai berikut:

1)Menyangkut tanggung jawab orang tua dan anak di temui dalam surat Al-Baqarah ayat 233.

2)Menyangkut harta pusaka dan pewarisnya ditemui dalam surat An-Nisa ayat 33, surat Al-Anfal ayat 75, surat Al-Ahzab ayat 6.

3)Menyangkut aturan pembagian harta warisan, ditemukan dalam surat An-Nisa ayat 7- 4, 34, dan ayat 176.

4)Ayat-ayat yang memberikan penjelasan tambahan mengenai kewarisan (berisi pengertian pembantu).

Ayat-ayat yang Memberikan Penjelasan Tambahan Mengenai Kewarisan (Berisi Pengertian Pembantu) Yang berkenaan dengan Dzul-Arham (yang mempunyai hubungan/pertalian darah, yaitu pada surat An -Nisa ayat 1, yang berisi tebtang perintah untuk selalu menjaga hubungan kekeluargaan.Yang berkenaan dengan Ulul Qurba harus diberi rezeki/bagian dari harta peninggalan, pada surat An-Nisa ayat 8 yang menjelaskan jika ada kerabat (ulul qubro) hadir pada waktu oembagian harta waris maka hendaklah diberikan sebagian. Tentang kewajiban bagi seseorang yang hendak meninggal dunia untuk berwasiat, yang di jelaskan pada surat Al- Baqarah ayat 180 Ayat ini memberikan penegasan, bahwa seseorang yang hendak (akan) meninggal harus meninggalkan wasiat terhadap harta yang di miliki ayat ini juga dapat dijadikan sebagai dasar hukum (wajibnya) wasiat wajibah, terutama sekali kepada ahli waris yang penghubungnya dengan pewaris terputus, sehingga mereka menjadi terdinding disebabkan oleh ahli waris yang lain, seperti kasus cucu yang terdinding untuk mendapatkan harta warisan dari datuk (kakeknya) dikarenakan oleh pamannya (saudara kandung ayahnya) masih ada. Dll

Adapun hadist-hadist yang berkaitan dengan kewarisan. Contoh hadist yang berkaitan dengan kewarisan sebagai berikut:

1.Tentang Cara untuk Mengadakan Pembagian WarisanMenyangkut cara pembagian warisan ini dapat ditemukan ketentuan hukumnya dalam sebuah hadist dari Abbas ra., ia berkata , "Barsabda Rasulullah Saw., serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersiksa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat."

2.Orang yang Berbeda Agama Tidak Saling Waris-Mewarisi Dalam hukum waris Islam ditetapkan bahwa orang yang berbeda agama tidak dapat saling waris-mewarisi, dasar hukum tentang hal ini dapat ditemukan dalam hadist sebuah hadist dari Usmah putra Zaid, ia berkata, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Orang Islam tidak punya hak waris atas orang kafir, dan orang kafir tidak punya hak waris atas orang Islam." (Hadist disepakati Imam bukhari dan Imam Muslim).

Kajian Terhadap Ayat-Ayat Waris. Kajian yang pertama, Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian. Dan, Apabila jumlah ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.Dll

Kajian yang kedua, Ayah ibu masing-masing mendapat seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan. Dan, Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua pertiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi pengrtiannya, sisanya merupakan bagian ayah . Dll

Yang ketiga, Hikmah mendahulukan pembayaran hutang dibanding melaksanakan wasiat adalah karena hutang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang berhutang, baik ketika ia masih hidup atau sudah mati. Selain itu, hutang tersebut tetap akan dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berhutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya. Keempat, Manusia tdak akan tahu manakah diantara orang tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Zat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Kelima, Bagian suami : Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istrinya. Dan Apabila seorang istri meninggal dan mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan. Dan lain sebagainya. Bagian istri :Apabila seorang suami meninggal dan tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat. Dan pabila seorang suami meninggal dan mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat seperdelapan.

Hukum Kewarisan Islam

Para fuqaha mendefinisikan hukum kewarisan Islam sebagai "suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, serta sekadar yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara membaginya. Sedangkan menurut Muhammad Asy-Syarbini, yakni: "Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka, pengetahuan mengenai yang bagian-bagian wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka". Dari kedua definisi di atas dapat di tegaskan bahwa kedua definisi tersebut menekankan dua hal yang sama, yaitu tentang berapa besarnya bagian masing-masing ahli waris dan warisan.

Prinsip-Prinsip Hukum Kewarisan Islam

1.Prinsip Ijbari, Yang dimaksud prinsip ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya. Dalam hukum kewarisan Islam, dijalankan prinsip ijbari ini berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris.

2.Prinsip individual, adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.

3.Prinsip bilateral, adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewarisi dari kedua belah pihak garis kerabat, yakni pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Jadi dapat di simpulkan bahwa jenis kelamin bukanlah penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.

4.Prinsip kewarisan hanya karena kematian,Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara langsung atau tidak, tidak termasuk ke dalam persoalan kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, "yaitu" kewarisan akibat kematian yang dalam KUH Perdata disebut kewarisan ab intestatodan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup".

Sebab-sebab mewaris, Adanya hubungan kekeluargaan, Karena perkawinan, Karena Wala'( hubungan yang di tetapkan oleh hukum islam). Rukun Mewarisi, adanya Pewaris, Ahli waris, dan Harta Warisan. Syarat-syarat Kewarisan yaitu; Meninggal dunianya pewaris, Hidupnya ahli waris, dan Mengetahui status kewarisan. Penghalang Mewarisi yaitu, Pembunuhan, Berlainan Agama, Perbudakan dan Berlainan Negara.

Ahli waris menurut sistem kewarisan patrilinel, di golongkan menjadi tiga bagian yaitu sebagai berikut; yang pertama, Ahli waris dzul faraid, yaitu ahli waris yang mendapat bagian menurut ketentuan-ketentuan yang telah diterangkan di dalam Al-Qur'an dan Hadist. Yang kedua, Ahli waris asabah, yaitu ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi mereka berhak mendapatkan seluruh harta jika tidak ada ahli waris dzul faraid, dan berhak mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid, atau tidak menerima apa-apa, karena harta peninggalan sudah habis dibagikan kepada ahli waris dzul faraid. Yang ketiga Ahli waris dzul arham, adalah ahli waris yang mempunya hubungan darah dengan pewaris melalui anggota keluarga perempuan.

Ahli waris menurut sistem kewarisan bilateral, digolongkan menjadi tiga, yang pertama, Ahli waris dzul faraid, adalah ahli waris yang diatur oleh Al-Qur'an adalah anak perempuan yang tidak didampingi oleh anak laki-laki, ibu bapak jika ada anak, saudara perempuan dalam hal kalalah, janda serta duda. Yang kedua, Ahli waris dzul qarabat, adalah ahli waris yang mendapat bagian yang tidak tentu jumlahnya atau mendapat bagian sisa, atau dengan lazim disebut mendapat bagian terbuka. Yang ketiga, Mawali adalah ahli waris pengganti. Artinya, ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang digantikan seandainya ia masih hidup.

Ahli Waris dan Bagiannya

Kelompok ahli waris, nenek, kakek, anak perempuan, anak laki-laki, cucu perempuan pancar laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, saudara seibu, saudara sekandung, dan kerabat. Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli waris, maka ahli waris di dalam hukum Islam dibagi kedalam tiga golongan, yaitu: Pertama, Ashhabul-furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3,1/2, 1/3, 1/4, 1/6, atau 1/8. Kedua, Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu, tetepi mendapat ushubah (sisa) dari ashabul-furudh atau mendapat semuanya jika tidak ada ashabul-furudh. Ketiga, Dzawil-arham, golongan kerabat yang tidak termasuk golongan pertama dan kedua.

Bagian Ahli Waris, yang pertama, Ahli waris utama, Ahli waris utama di dalam hukum Islam terdiri ada 5 (lima) pihak, yaitu janda, ibu, bapak, anak laki-laki, dan anak perempuan. Janda, Janda perempuan Bagian janda perempuan adalah:1/8 bagian jika pewaris mempunyai anak, dan 1/4 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak. Janda laki-laki (duda) Bagian janda laki-laki adalah: 1/4 bagian jika pewaris mempunyai anak, dan 1/2 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak. Ibu Bagian ibu adalah: 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak, 1/6 bagian jika pewaris mempunyai beberapa anak, dan 1/3 bagian jika pewaris tidak mempunyai anak. Bapak, Bagian bapak adalah: 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak, 1/6 bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai anak perempuan, dan sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak. Anak perempuan, Bagian anak perempuan adalah: 1/2 bagian jika seorang, 2/3 bagian jika beberapa orang, dan Masing-masing satu bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak laki-laki. Dalam hal ini, kedudukan anak perempuan adalah sebagai ashabah bil-ghairi. Anak laki-laki, Masing-masing 1 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama dengan anak laki-laki lainnya. Dalam hal ini, kedudukan anak laki-laki adalah sebagai ashabah binnafsih. Dan, Masing-masing 2 bagian dari sisa jika mereka mewaris bersama anak perempuan. Dalam hal ini, kududukan anak perempuan sebagai ashabah bil-ghair.

Ahli-waris Utama pengganti, Nenek bagiannya 1/6 baik sendiri ataupun bersama. Kakek, 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak, 1/6 bagian + sisa jika pewaris hanya mempunyai satu anak perempuan, dan sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak. Bagian waris cucu perempuan: 1/2 bagian jika seorang, 2/3 bagian jika beberapa orang, 1/6 bagian jika mereka mewaris sebagai cucu permpua pelengkap, dan masing-masing 1 bagian jika mereka mewaris bersama cucu laki-laki yang menjadi muashib-nya. Cucu laki-laki Kedudukan cucu laki-laki sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada anak laki-laki (bapaknya). Oleh sebab itu, maka dapatlah dikatakan bahwa cucu laki-laki mempunyai kedudukan sebagai pengganti anak laki-laki (bapaknya).

Ahli waris pengganti; Saudara seibu, Saudara seibu baru terbuka hanya jika tidak ada bapak dan anak. Kedudukan saudara seibu, baik perempuan maupun laki-laki, adalah sama. Jika saudara seibu satu orang maka bagiannya adalah 1/6, sementara jika lebih dari satu orang maka bagiannya adalah 1/3 untuk semua. Saudara sekandung/sebapak Seperti halnya saudara seibu, saudara sekandung/sebapak baru terbuka haknya jika tidak ada bapak dan anak.

Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Proses Pewarisan

 Apabila dianalisa ketentuan-ketentuan hukum yang ada, ada empat hal yang harus diperhatikan (dikeluarkan dari harta peninggalan tersebut) sebelum dibagikan, yaitu:

Biaya perawatan pewaris, Yang dimaksud dengan biaya-biaya si pewaris adalah biaya biaya yang dikeluarkan untuk keperluan si mayat mulai dari saat meninggal sampai dikuburkan (biaya pelaksanaan fardu kifayah). Hibah Pewarisan Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan yang diberi. hibah tersebut harus dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan, Dalam pelaksanaan penghibahan haruslah ada pernyataan terutama sekali oleh pemberi hibah, Penghibahan hendaknya dilaksanakan dihadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunah), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang senggeta di belakang hari. Lazimnya hibah wasiat ini selalu dibuat dalam bentuk tertulis yang lazim diistilahkan dengan "surat hibah wasiat", dan biasanya dibuat atas persetujuan ahli waris, dan sebagai bukti persetujuan, mereka ikut mencantumkan tanda tanganya dalam surat hibah tersebut.

 Wasiat pewaris, Kalau diperhatikan dalam segi asal kata, perkataan wasiat berasal dari bahasa Arab, yaitu "washshaitu ayi-syia, uushii" artinya "aushaltuhu" yang dalam bahasa Indonesianya berarti "aku menyampaikan sesuatu". Sayid Sabiq sebagai mana dikutip oleh Drs. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, S.H. mengemukakan pengertian wasiat itu sebagai berikut, "Wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik merupakan barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang yang berwasiat mati,"

Pelaksanaan wasiat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Ijab kabul, Ijab kabul harus tegas dan pasti, Ijab kabul harus dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan untuk itu, dan Ijab dan kabul tidak mengandung ta'liq. Hutang Pewaris Hutang adalah tanggungan yang harus diadakan pelunasannya dalam suatu waktu tertentu. Kewajiban pelunasan hutang timbul sebagai prestasi (imbalan) yamg telah diterima oleh si berutang. Apabila seseorang yang meninggal telah meninggalkan hutang kepada seseorang lain, maka seharusnya hutang tersebut dibayar/dilunasi terlebih dahulu (dari harta peninggalan si mayat) sebelum harta peninggalan tersebut dibagikan kepada ahli warisnya. Hutang yang di maksud di bagi menjadi dua kelompok: hutang terhadap sesama manusia, atau didalam istilah hukum Islam disebut juga dengan "dain al-ibad"; dan hutang kepada Allah Swt., atau istilah dalam hukum Islam disebut juga dengan "dain Allah".

 Wasiat Dalam hukum pewarisan, UntuK memperjelas pengertian wasiat dalam hukum kewarisan Islam, perlu dibandingkan dengan pengertian wasiat menurut KUH Perdata. Pengertian wasiat dalam KUH Perdata tercantum dalam Pasal 875, yakni: "Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi". Wasiat WajibahPada dasanya memberikan wasiat itu merupakan tindakan ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun. Dengan demikian, pada dasarnya seseorang itu bebas apakah membuat wasiat atau

tidak membuat wasiat. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa kebebasan untuk membuat wasiat atau tidak itu hanya berlaku untuk orang yang bukan kerabat dekat. Mereka berpendapat bahwa untuk kerabat dekat yang tidak mendapat warisan, seseorang wajib membuat wasiat.

Hijab Secara singkat, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan hijab adalah terhalangnya atau terdindingnya seorang ahli waris karena adanya ahli waris yang lain. Pranata hijab ini sangat berkembang dalam hukum kewarisan Islam, terutama ajaran yang dikembangkan oleh Ahlussunnah.

Ahli Waris dalam Kasus Tertentu

 Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur dengan tegas pengertian anak diluar kawin. Pasal 186 hanya menegaskan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Demikian juga mengenai ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Pasal ini menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Hal inipun tidak dapat dikaitkan dengan sah atau tidak sahnya perkawinan menurut hukum Islam.

Anak Angkat, adalah anak kandung orang lain yang diambil (dijadikan) anak oleh seseorang. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 18 Maret 1959 Nomor 37 K/Sip 1959 :"Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya; jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya" .

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan khusus ini tertuang dalam Staatsblad Tahun 1917 nomor 129. Garis besar staatsblad ini adalah sebagi berikut: Pertama, yang dapat mengangkat anak adalah seorang laki- laki yang mempunyai istri atau seorang laki-laki yang pernah beristri dan tidak mempunyai anak laki-laki dalam garis laki-laki. Kedua, yang dapat diangkat sebagi anak hanya anak laki-laki yang belum melangsungkan perkawinan dan belum diambil sebagai anak angkat oleh orang lain. Ketiga, seorang janda yang ditinggal mati suaminya, dan ia tidak mempunyai anak, maka janda tersebut dapat mengangkat anak. Perkecualian terhadap hal ini adalah apabila suami yang telah meninggal dunia itu meninggalkan wasiat bahwa si janda tidak boleh mengangkat anak.Keempat, selisih usia antara anak yang diangkat dengan yang mengangkat adalah sebagai berikut: (a) 18 tahun dengan si suami, dan (b) 15 tahun dengan si istri. Dengan demikian usia anak angkat minimal harus 18 tahun lebih muda daripada bapak, dan 15 tahun lebih muda dari ibu angkatnya. Kelima, pengangkatan anak terhadap anak perempuan adalah batal demi hukum pengangkatan anak untuk tujuan-tujuan pemeliharan, pendidikan dan pembiayaan kehidupan si anak. Yang tidak dikenal, tegasnya dilarang oleh agama Islam adalah pengangkatan anak untuk (a) meneruskan keturunan, (b) dijadikan seperti anak kandung.

Kedudukan Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung-jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Kompilasi hukum Islam pun menegaskan bahwa diantara anak angkat dengan orang tua angkatnya tidak ada hubungan kewarisan. Hanya saja, sebagai pengakuan mengenai baiknya lembaga pengangkatan anak, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dikukuhkan dengan perantaran wasiat atau wasiat wajibah.

Ahli Waris dengan Status diragukan, Adapun ahli waris yang dikelompokkan dalam ahli waris yang statusnya diragukan serta ahli waris dalam kasus- kasus tertentu adalah sebagai berikut: Anak yang masih dalam kandungan, Orang yang hilang ( mafqud), Orang yang mati serentak, Orang yang tertawan (asir), Khuntsa, dan Zawul Al-Arham.

Syarat Hak Waris Janin Dalam Kandungan Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan: Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaanya dalam kandungan ibunya ketika pewaris wafat, dan Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.

Warisan Orang Yang Hilang ( MAFQUD ) Sebelum dibicarakan tentang warisan orang yang hilang ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan "orang yang hilang", orang yang hilang (dalam bahasa Arab diistilahkan dengan Mafqud) yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, dalam hal ini termasuk tempat tinggal dan keadaanya (apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia).Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan bahwa:

1.Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan

2.Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan

3.Hak-hak orang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.

Warisan Orang Yang Mati Serentak, orang yang saling waris mewarisi, seperti dalam hal terjadinya kecelakaan pesawat udara, yang mana seorang bapak meninggal dunia secara bersama dengan anaknya, dengan perkataan lain tidak diketahui sama sekali siapa diantara mereka yang meninggal dunia lebih dahulu.

Warisan Orang Yang Tertawan ( ASIR), Yang dimaksud dengan orang yang tertawan adalah orang yang ditawan karena ditangkap atau kalah dalam suatu peperangan. Warisan Khuntsa (Banci) Adapun yang dimaksud Khuntsa adalah orang-orang yang memiliki alat kelamin laki- laki dan perempuan secara sekaligus, atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali, di dalam istilah hukum Islam orang-orang yang seperti ini diistilahkan juga dengan "Khuntsa Al-Musykil", dalam istilah sehari-hari sering juga disebut dengan 'wadam (Hawa-Adam), waria (wanita-Pria)".

Hukum Banci Dan Cara Pembagian WarisnyaUntuk banci menurut pendapat yang paling kuat, hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit diantara dua keadaannya. keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu diantara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya. Hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun. Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit diantara kita yang mau mengambil I'tibar ( pelajaran ). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa di duga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam menghadapinya.

Kesimpulan

Hukum waris memberikan fondasi yang kokoh untuk memandu kehidupan keluarga umat Muslim. Pengaturan harta warisan, sebagai salah satu aspek krusial dalam hukum keluarga Islam, menekankan prinsip keadilan dan ketidakdiskriminan antara ahli waris. Hal ini menciptakan landasan yang adil dalam pembagian warisan, memastikan bahwa hak-hak waris sesuai dengan ketentuan syariah.

Dalam pembagia harta waris ahli waris memiliki hak yang berbeda untuk menentukan pembagian harta warisan. Untuk pembagian harta warisan dengan membagi rata dan adil dengan mengindahkan ketentuan yang telah ditetapkan di Al-Quran dan Hadist. Dengan membagi harta warisan dengan keadilan dapat menjaga keharmonisan keluarga dan mencegah konflik di antara anggota keluarga terkait harta warisan.

Dengan pengaturan harta warisan menjadi salah satu pilar utama dalam mencapai keluarga yang seimbang dan berkeadilan. Hukum Islam sebagai pedoman bagi umat Islam yang memberikan untuk membentuk keluarga yang berlandasan nilai-nilai agama

Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan

1.Penjelasan nya mudah di pahami karena buku ini menggunakan bahasa yang mudah untuk di pahami pembaca.

2.Di dalam buku ini terdapat contoh-contoh kasus yang sangat mudah di pahami dan terperinci, dan dalam memberikan contoh kasus tidak hanya satu .

Kekurang

1.Dalam penulisan dalil ayat Al Quran tidak menggunakan arabnya, sebaiknya menggunakan arab tidak dengan hanya tulisan saja melainkan dengan arabnya.

2.Menurut saya Perbab yang ada di dalam buku ini sangat bertele-tele.

3.Pembagian perbab yang terlalu banyak sehingga membuat beberapa kata atau istilah terulang-ulang dari bab atu ke bab yang lain.

Inspirasi

1.Supaya bisa mengetauhi dan menegakan Keadilan dalam Pembagian Harta Warisan, Salah satu manfaat utama dari hukum waris dalam Islam adalah untuk menjaga keadilan dalam pembagian harta warisan.

2.Untuk meningkatkan kesadaran bahwasanya mempelajari hukum waris sangat penting untuk mengetahui siapa saja yang termasuk ahli waris dan bagaimana pembagian harta waris tersebut.

3.Untuk mengetauhi bahwasannya Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.

Biografis

Hj. Wati Rahmi Ria, S.H,M.H. Waris Berdasarlan Berbagai Sistem Hukum Di Indonesia, PUSAKA MEDIA, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun