Abstraksi :
Imanuel Kant  dalam sejarah pemikiran filosofis dikenal sebagai figur yang memprakarsai reformasi pemikiran dalam dunia kefilsafatan. Ia meradikalisasi eskplorasi filosofis terhadap subjek yang berpikir.  Filsafat trasendentalnya adalah awal babak baru dalam dunia filosofis yang mengkaji dan mengetahui cara subjek berpikir. Metafisika bagi Kant ialah suatu sistem yang terdiri dari prinsip-prinsip yang mengatur pikiran manusia.Â
Dalam Kant bahkan apa yang disebut dengan pengetahuan sejati dalam akal budi ialah pengetahuan yang tidak mengandaikan pengalaman. Berkaitan dengan pengetahuan dikatakan oleh Imanuel Kant bahwa pengetahuan yang benar dan sejati ialah pengetahuan a priori (pengetahuan yang sudah distruktur di dalam akal budi manusia), bukan yang a posteriori (pengetahuan yang berasal dari hasil penginderaan manusia).Â
Motode yang saya gunakan dalam tulisan ini adalah deskripsi dan eksposisi. Dalam menyusun tulisan ini, saya mendasarkan diri pada diktat pengantar metafisika dan buku relasionalitas yang ditulis oleh Prof. Dr. Armada Riyanto, CM serta ditambah dengan sumber lainnya yang berkaitan dengan pemikiran metafisis Imanuel Kant.
Kata Kunci : Â Akal budi, Pengetahuan, Subyek, Obyek, Pengalaman,
I. Â Â pengantar
Inti dari filsafat adalah metafisika, sebuah pengetahuan yang menginterpretasikan realitas atau "ada sebagaimana ada" secara radikal dan final.[1] Pernyataan ini hendak menunjukkan bahwa bahan kajian atau yang menjadi objek material dari metafisika adalah "ada", "semua realitas" dan objek formalnya adalah seluruh realitas yang mau dilihat dari segi metafisika yaitu "ada sebagaimana adanya" artinya ada tidak disimak dari sudut pandang lain kecuali dirinya sendiri dalam totalitasnya. Â Â Â Â Â Â
Pergumulan dengan yang "ada" atau realitas telah dimulai sejak thales kemudian bergema dalam berbagai perspektif dan cara beda filosof yunani setelahnya. Para filosof yunani ini mencoba menjelaskan segala perinsip mendasar di balik sebuah realitas. Mereka ingin memetakan reallitas orisinal, mutlak dan paling fundamental di balik semua penampakan. Segala realitas mendasar dan fundamental dari segala yang ada mulai ditelusuri oleh akal budi manusia.[2] Â para filosoflah yang berusaha menampik semua deskripsi mitos tentang realitas.
Dengan demikian, metafisika tidak hanya sebuah disiplin ilmu, tetapi merupakan karakter filsafat yang mencoba membongkar ilusi fiksi untuk meraih hakikat. Hakikat realitas dieksplorasi, mitos didepak, karena dianggap sebagai jargon irasional. Pada titik paling radikal, para filosof ini, menjelaskan perinsip pertama yang mengawali dan mendasari segala realitas.Â
Manusia bisa mengambil contoh misalnya yang secara historis dimulai dari melitos, asia kecil pada abad ke-6 SM. Thales mendeskripsikan air sebagai perinsip pertama. Anaximandros mengedepankan yang tidak terbatas sedangkan anaximenes memproklamasikan udara sebagai perinsip pertama. Kemudian permenides, " yang ada adalah ada, di luar ada tidak ada". Plato mengemukakan bahwa " yang ada itu universal, formal, idea", dan yang paling penting adalah Aristoteles yang merefleksikan realitas ada secara mendasar dan menyeluruh.[3]
Para filosof yang disebutkan di atas memprioritaskan cara kerja nalar atau akal budi; manusia yang berpikir untuk menjawab dan menguak segala yang "ada" atau segala realitas. Para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles menelurkan asumsi dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami.Â
Setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai untuk memahami dunia. Â Seolah-olah akal budi memiliki kualitas "ampuh" untuk menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada. Dengan kata lain, metafisika awali hendak mengklaim keampuhan akal budi untuk menyibak realitas pada dirinya sendiri. Bahwa dunia adalah dunia yang bisa dipahami dan setiap aliran metafisika mengasumsikan bahwa pikiran manusia memadai untuk memahami dunia, dan bahwa setiap pernyataan metafisika tentang realitas bukanlah sekedar konsep atau opini belaka melainkan kebenaran yang niscaya.
Para filosof ini begitu sibuk menyibakkan realitas, memperdebatkan semesta, mencari arche, inti terdalam dari realitas, dan rupa-rupanya tidak menyentuh keadaan subjek atau manusia yang tentang realitas. Pada Descartes mulai terlihat upaya "meneliti' Â subyek yang berpikir. Ia tidak lagi sibuk dengan mencari hakikat terdalam dari realitas, tetapi dengan motode keraguannya ia berkesimpulan bahwa manusia adalah substansi berpikir.
Sedangkan realitas adalah substansi berkeluasan yang ditentukan oleh hukum-hukum mekanis.[4] Penemuan Descartes, cogito ergo sum, yang dia sendiri menyebutnya, "perinsip pertama dari filsafat yang dia cari"[5] yang dia sendiri menyebutnya " prinsip pertama dari filsafat yang dia cari" memang sungguh mengubah dan fantastis. Dimulai dari Descartes, cogito memungkinkan manusia memilki kesadaran murni pada subjek yang berpikir.
Filsafat mulai berpusat pada diri subyek (manusia) sebagai sumber, atau titik tolak, atau setidaknya sebagai satu-satunya yang dapat dipergunakan, yang jelas bagi metafisika.[6] Sejak Descartes pemusatan pada subjek dan diri adala yang menjadi titik tolak eskplorasi metafisika.Â
Selanjutnya pada Kant, subjek yang menjadi titik tolak eksplorasi metafisika mendapat pengesahan yang tegas dan jelas. Bahwa pengenalan manusia bukan berpusat pada objek, realitas, yang "ada", tetapi pada subjek. Karena itu, Kant, bukan terutama hendak menyibak realitas dirinya tetapi mencoba untuk menyelidiki cara kerja pikiran subjek. Pada Kant, struktur-struktur pikiran manusia yang memungkinkan untuk mengetahui realitas sebagai objek, diselidiki. Ia menyebut filsafatnya ini sebagai filsafat transedental.
Oleh Kant, metafisika dipahami sebagai suatu ilmu tentang batas-batas rasionalitas manusia. metafisika tidak lagi hendak menyibak dan mengupas perinsip mendasar segala yang ada, tetapi metafisika henda pertama-pertama menyelidiki manusia sebagai subjek pengetahuan. Â Disiplin metafisika selama ini yang mengandaikan adanya korenpodensi pikiran dan realitas hingga tidak memperhatikan keterbatasan realitas manusia pada akhirnya direvolusi total oleh Kant.Â
Dalam diri manusia, menurut Kant, ada fakultas yang berperan dalam menghasilkan pengetahuan yaitu sensibilitas yang berperan dalam menerima berbagai kesan inderawi yang tertata dalam ruang dan waktu dan yang memiliki kategori-kategori yang mengatur dan menyatukan Para filosof Yunani hendak menyibak realitas dalam dirinya oleh rasionalitas manusia, sedangkan pada Kant, hakikat realitas itu sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh diketahui (misalnya Tuhan itu sesungguhnya apa? dunia itu apa?). yang diketahui adalah gejalanya, fenomenanya atau realitas sebagaimana penampakannya, sejauh saya melihatnya. Di sini Kant tidak melegitimasi kemampuan akal budi manusia  dalam memahami esensi sebuah realitas tetapi memahami bahwa akal budi manusia terbatas dalam memperoleh pengetahuan di balik segala penampakan.
II. Â Empirisme dan Rasionalisme
Untuk memahami pemikiran Kant, saya mencoba menjelaskan latar belakang  filosofis yang menjadi sumber dan titik pijak pemikirannya. Dengan demikian hal pertama yang penting diperhatikan adalah melihat dua pergulatan ide filosofis besar pada zamannya. Ada dua pergerakan sejarah besar dalam periode awal filsafat modern  dan yang mempunyai  peran besar dalam pemikiran Kant yaitu empirisme dan rasionalisme. Kant berpendapat bahwa pemikiran kedua aliran besar ini punya persoalan dan kelemahannya masing-masing. Persoalan yang menjadi pokok pergulatan dua aliran besar ini adalah persoalan epistemologi yang menjawab pertanyaan  tentang bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Kaum empiris yang diprakarsai oleh locke, berkelesy dan hume berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu berasal dari sensasi-sensasi inderawi manusia (pengalaman). Akal budi manusia bukanlah sumber pengetahuan manusia.[8] akal budi hanya memiliki peran dalam mengolah bahan-bahan yang diperolehnya  dari pengalaman. Kaum empiris berusaha untuk mengatasi persoalan ini dengan menenkankan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan.
Kaum rasionalis berusaha menjawabnya dengan menggunakan bentuk a priori. Kaum rasionalis seperti Descartes, mendekati soal pengetahuan manusia dari sudut pandang lain. Mereka berharap bisa mengkonstruksi pengetahuan dunia eksternal, diri, jiwa , allah, etika dari pikiran itu sendiri.  Bagi kaum rasionalis, semua pengetahuan tentang realitas di luar indera manusia dapat dicapai dengan perangkat akal budi. Bahkan Descartes berpendapat bahwa dia tidak dapat menyimpulkan eksistensi objek-objek dalam ruang di luar  kesadaran eksistensi dirinya.
Pengalaman inderawi dan bentuk a posteriori (pengetahuan yang mengandaikan pengalaman)[9] itu tergantung pada pengalaman atau kejadian-kejadian partikular dalam dunia ini. Misalnya pak Jokowi adalah presiden indonesia. Pengenalan ini saya ketahui hanya melalui pengalaman dan saya tidak mendapatkan pengetahuan ini dengan menganalisis konsep tentang presiden atau tentang pak Jokowi. Berlawanan dengan itu, kaum rasionalis yang menggunakan bentuk a priori, rupanya tidak mendasarkan diri pada pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan. Misalnya konsep tentang "duda". Konsep tentang "duda" ini sudah dalam dirinya mengandung pengertian "sudah  menikah" dan tidak lagi membutuhkan pengamatan pada setiap pribadi. Menurut Kant, dua aliran ini tidak lengkap memahami gejala pengetahuan manusia. maka Kant berusaha untuk mempertemukan kedua aliran ini. Kant berusaha untuk membuat sintesis antara empirisme dan rasionalisme. Dalam filsafat Kant, pengetahuan dijelaskan sebagai hasil sintesis antar unsur-unsur a priori dan a posteriori. Berkaitan dengan hal ini Armada Riyanto dalam buku "Relasionalitas", mengatakan demikian:
"Dalam Kant, Â pengetahuan sejati ialah pengetahuan sintesisa priori. Yang dimaksud pengetahuan sejati ialah pengetahuan tentang universalitas, tentang necesitas. Jadi kesejatian pengetahuan Kantian tidak bersangkut paut dengan soal salah-benar. Kesejatian pengetahuan universalitas dan necesitas digaransi oleh kondisi trasendental budi manusia. Sedangkan pengetahuan a posteriori ialah pengetahuan yang mengandaikan pengalaman."[10] Â Â Â Â
III. Metafisika Gnoseologis Imanuel Kant
3.1 Â Akal Budi Sebagai Sumber Pengetahuan
      Saya mengawali uraian tentang topik ini dengan menjelaskan beberapa argumen dari kaum rasionalis dan empirisme. Menurut para rasionalis dan empirisme, pikiran itu bersifat pasif  karena di dalam dirinya sendiri memiliki ide-ide yang siap dianalisis, atau karena pikiran menerima ide-ide yang siap untuk dianalisis, atau karena pikiran menerima ide-ide dari objek-objek. Kant tidak sependapat dengan argumen seperti itu dengan mengatakan bahwa pengalaman akan sebuah dunia seperti yang telah manusia miliki ini  hanya mungkin oleh karena pikiran menyediakan struktur-struktur yang sistematis yang ada dalam pikiran manusia. Epistemologi dari kaum empiris dan rasionalis tidak cukup berhasil  menjelaskan jenis-jenis keputusan atau pengalaman yang manusia miliki  oleh karena kedua aliran ini hanya memikirkan akiba dari interaksi antara pikiran dengan realitas dan bukan  berpikir tentang hakikat dari pikiran itu sendiri. Karena itu dalam karyanya, Kant menunjukkan sebuah bentuk argumen yang penting  yaitu argumen trasendental. Argumen transcendental inilah yang mengakhiri  penegasan dari kaum empiris bahwa pengalaman adalah sumber dari segala ide manusia. Yang menghasilkan sebuah pengetahuan adalah struktur-struktur pikiran manusia.
      Dalam metafisika tradisional, memang, sering dianggap bahwa segala pengetahuan manusia harus terarah pada objek. Para filsuf awali telah hamper selalu mengganggap bahwa benda dalam dirinya sendiri dapat diketahui. Mereka juga telah menganggap bahwa pengetahuan manusia harus menyesuaikan diri dengan objek-objek. Akan tetapi, Kant berpikir lain. Ia hendak menciptakan  sebuah kemajuan  yang lebih baik dalam bidang metafisika. Sebuah kemajuan yang justru menjadi  sebuah titik balik bagi pemikiran metafisika  yaitu sebuah anggapan baru bahwa bukan subjek yang mengarahkan diri pada objek, tetapi objek-objek itu harus mengarahkan diri pada pengetahuan subjek.
      Hipotesis ini, menurut pengalaman Kant, adalah sama dengan yang dimaksudkan oleh kopernikus.[11]Kopernikus  melihat bahwa meskipun matahari  tampaknya bergerak mengitari bumi dari timur ke barat, manusia tidak bisa menyimpulkan bahwa bumi itu yang menjadi pusat dari tata surya. Kant menganggap bahwa manusia bisa mencoba perspektif yang sama dalam metafisika.
      Filsafat Kant dapat disejajarkan dengan revolusi kopernikan yang mengatasi rasionalisme, empirisme, dogmatisme dan skeptisme.[12] Revolusi kopernikan dari Kant tidak hendak mengatakan bahwa realitas itu direduksi dalam akal budi manusia. Dia juga tidak menganjurkan bahwa pikiran menciptakan objek dengan memikirkan mereka.  Yang dikatakan oleh Kant adalah manusia tidak mengetahui sesuatu dan sesuatu itu tidak bisa menjadi objek bagi pengetahuan manusia kecuali sejauh mereka tunduk pada kondisi a priori pengetahuan subjek. Karena, jika manusia menganggap bahwa akal budi manusia itu aktif. Struktur akal budi manusia bukanlah sebuah organ yang pasif, tetapi sebuah organ yang aktif yang membentuk dan mengkoordinasi sensasi-sensasi menjadi ide-ide, sebuah organ yang mentransformasi multiplisitas kekaosan pengalaman menjadi kesatuan pikiran yang teratur.
      Itu tidak  berarti bahwa budi manusia itu menciptakan objek-objek dari ketiadaan. Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa budi manusia menentukan bentuk pengetahuannya sendiri dan semua itu ditentukan oleh stuktur dari sensibilitas dan intelek manusia. Objek tidak bisa diketahui kecuali melalui bentuk-bentuk medium ini. Instrument-instrumen kognitif ini secara mutlak dimiliki manusia karena itu merupakan struktur natural, alamiah. Medium-medium itu adalah unsure-unsur a priori yang dengan sedikitnya  telah terdapat dalam struktur pikiran setiap orang.
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa revolusi kopernikan dari Kant hendak menunjukkan sebuah cara berpikir yan baru yaitu berpikir bukan dari objek-objek atau realitas tetapi berpikir dari subjek (manusia).[13]  Kant hendak mengatakan bahwa dalam pikiran manusia terdapat sejumlah perangkat yang bersifat konstitutif atau mendeterminasi objek secara aktif. Bukan pikiran lagi yang harus menyesuaikan diri dengan objek-objek, tetapi objek-objeklah yang harus mengarahkan diri pada pikiran. Pikiran buka sebuah organ pasif, tetapi sebuah organ yang aktif yang menata dan membentuk pengetahuan manusia.
3.2 Teori Pengetahuan
3.2.1 Analitis (a priori)
Keputusan analitis adalah keputusan yang predikatnya termuat atau sekurang-kurangnya secara eksplisit termuat dalam konsep yang dimiliki subjek. Proposisi analitis adalah pernyataan yang memiliki makna formal, maknanya tidak didapat dari fakta empiris, tetapi dari implikasi logis kata-kat dan ide seperti dalam matematika, logika deduktif dan ilmu pengetahuan formal. [14] Proposisi analitis adalah proposisi yang predikatnya merupakan bagian dari subjek. Hal ini dikarenakan predikat tidak menambahkan pada konsep subjek apapun yang belum terdapat padanya, baik secara eksplisit maupun implisit. Â Kebenarannya pun bergantung pada hukum kontradiksi. Contoh : lingkaran itu bulat , proposisi ini adalah analitis karena kata "bulat" sebagai predikat tidak menambahkan sesuatu yang baru pada subyeknya yaitu lingkaran dan diperoleh secara a priori. Proposisi ini haruslah mengikuti hukum kontradiksi. Pendapat bahwa sebuah lingkaran tidak bulat, dalam dirinya sendiri adalah kontradiktif.
3.2.2 Sintesis (a posteriori)
 Pengetahuan a posteriori adalah pengetahuan yang mengandaikan pengalaman.[15] Semua proposisi yang manusia ketahui melalui pengalaman adalah proposisi sintesis. Dalam setiap keputusan sintesis,  sesuatu itu ditambahkah pada konsep tentang subjek. Manusia bisa mengambil contoh sebuah proposisi misalnya: " semua anggota kelompok A adalah pendek." Dan manusia mengandaikan bahwa ini adalah proposisi yang benar. Ini adalah sintetis, karena manusia tidak bisa memperoleh ide tentang "kependekan" hanya dengan analisis belaka dari konsep keanggotaan kelompok A. Hubungan antara "pendek" dan keanggotaannya  kelompok A hanya bisa diketahui melalui pengalaman dan keputusan itu merupakan hasil dari serangkaian observasi empiris. Manusia tidak bisa mengetahui secara a priori bahwa  semua anggota adalah pendek; ini hanyalah sebuah kenyataan yang partikular.
3.2.3 Sintesis a priori
      Dalam Kant, pengetahuan sejati ialah pengetahuan sintesis a priori.[16] Kant yakin bahwa ada proposisi sintetis  a priori yaitu proposisi yang tidak hanya sintetis tetapi juga merupakan keputusan a priori (mutlak dan universal). Oleh karena itu persoalan umum yang muncul adalah bagaimana pengetahuan sintetis a priori bahwa semua anggota adalah pendek; ini hanyalah sebuah kenyataan yang partikular.
      Mereka ditemukan, pertama-tama pada proposisi matematika. Perlu diingat bahwa proposisi matematika pada hakikatnya adalah selalu keputusan a priori dan bukan  a posteriori, karena mereka masuk dalam konsep mutlak, yang tidak ditarik dari pengalaman. Proposisi 7 + 5 =12 adalah bukan generalisasi  empiris. Itu adalah proposisi yang mutlak, universal. Akan tetapi, menurut Kant, proposisi ini pun secara implisit di dalamnya mengandung keputusan sintetis. Karena angka 12 tidak didapat dengan mencoba untuk menganalisis saja ide persatuan (penjumlahan) antara angka 5 dan 7. Karena 5 dan 7 itu tidak dalam dirinya sendiri mengandung angka 12  sebagai sebuah angka partikular hasil dari 5+7. Manusia tidak bisa mendapatkan angka 12 kecuali dengan bantuan intuisi. Proposisi matematika, oleh karena itu adalah selalu sintesis a priori.
IV. Â Analitika Transendental
Saya mengawali uraian "analitika transendental" dengan memperlihatkan sebuah bentuk kerjasama antara sensibilitas dan intelek yang dimiliki manusia. Pengetahuan manusia berasal dari dua sumber utama. Pertama fakultas yang berperan dalam menerima kesan-kesan atau data indrawi yang disebut sebagai sensibilitas. Intuisi indrawi menyediakan bagi manusia data, dan manusia tidak dapat menyediakan objek sebagai data dengan cara lain kecuali melalui sensibilitas. Sumber kedua pengetahuan manusia adalah kekuatan menghasilkan atau secara spontan memproduksi konsep sebagai pemahaman yang oleh Kant disebut dengan istilah intelek. Kerjasama dari dua fakultas itu dibutuhkan untuk menciptakan pengetahuan tentang objek-objek. Tanpa sensibilitas tidak ada objek yang diberikan kepada manusia (subjek), dan tanpa intelek tidak ada objek yang dipikirkan. Di sinipun jelas bahwa Kant  sedang memperdamaikan empirisme dan rasionalisme. Kant memperlihatkan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil sintesis antara keduanya. Pikiran tanpa pengalaman empiris adalah kosong, intuisi tanpa konsep adalah buta. Dua fakultas ini fungsinya tidak bisa saling menukar. Intelek tidak mampu mengintuisi dan sensibilitas itu tidak dapat "memikirkan". Pengetahuan akan muncul hanya dengan kerjasama antara keduanya (sensibilitas dan intelek).[17]
Sensibilitas, seperti yang telah dijelaskan di atas memiliki hukum-hukumnya (intuisi murni yang disebut ruang dan waktu) dan dilain pihak intelek juga memiliki hukum-hukumnya sendiri. Berkaitan dengan konsep trasendental ini, Armada Riyanto dalam buku "Relasionalitas" mengatakan demikian:
"Konsep trasendental Kantian merevolusi pencarian filsafat akan kebenaran pengetahuan. Akal budi manusia atau intelektualitas manusia adalah budi murni yang memiliki struktur 12 kategori (unitas, pluralitas, totalitas, Â realitas negasi, limitasi, substansi-aksidens, kausalitas, resiprositas, posibilitas-imposibilitas, eksistensi-inesistensi, necesitas-contingensi). Makna kategori yang dalam Aristoteles merupakan struktur untuk memahami yang ada (leges entis), dalam Kant menjadi struktur budi murni (leges mentis)."[18]
Logika yang manusia maksudkan di sini bukanlah logika formal, yang hanya berkaitan dengan bentuk-bentuk pikiran dan isinya (yang mengabstraksi objek-objek hingga lepas dari isi empirisnya). Manusia berbicara di sini soal "logika transendental". "Logika transendental" ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan logika formal tradisional. "Logika transendental" memusatkan diri pada hukum-hukum a priori pikiran manusia atas objek sejauh menentukan pemahaman manusia, dan bukan dari hukum-hukum a priori yang lepas dari objek.
"Logika transendental" itu berhubungan dengan pengetahuan a priori sejauh ini merupakan bagian dari intelek. " Estetika transendental", seperti yang telah diuraikan di atas, mempelajari bentuk murni dari sensibilitas sebagai kondisi a priori yang mutlak bagi objek yang diberikan pada manusia melalui intuisi indrawi. Dan, "logika transendental" mempelajari konsep a priori -- intelek sebagai kondisi mutlak bagi objek (data dari indra intuisi) yang dipikirkan. "Logika transendental" inilah, menurut Kant, yang merupakan forma a priori dalam akal budi. Dan bagaimana unsur a priori dalam akal budi ini melakukan tugasnya?
Kant menemukan petunjuk itu dalam fakultas keputusan yang menurutnya adalah sama dengan kekuatan pikiran. Bahwa kegiatan dari intelek tampil dalam putusan. Apa itu keputusan? "Memutuskan" (yang artinya sama dengan memikirkan) adalah kemampuan untuk menyatukan gambaran yang berbeda-beda sehingga memungkinkan terbentuknya  pengetahuan melalui perangkat konsep-konsep. Dalam keputusan, terjadi sintesis antara  data-data indrawi dan unsur-unsur a priori akal budi. Konsep a priori dari intelek itu, oleh Kant, disebut "kategori-kategori". Tanpa sintesis ini, pengetahuan tentang objek itu tidak mungkin. Oleh karena itu, kategori-kategori intelek itu adalah kondisi a priori untuk menghasilkan  pengetahuan.  Kategori-kategori adalah kondisi a priori  yang memungkinkan manusia memikirkan objek-objek. Dan, tanpa "dipikirkan" objek-objek tidak bisa secara sungguh-sungguh  dikatakan "diketahui". Dengan kata lain, kategori-kategori merupakan syarat a priori pengetahuan manusia.[19]
Garis pemikiran ini secara jelas menjadi bagian dari revolusi Kopernikus-nya Kant. Penggunaan kategori-kategori tidak bisa dibenarkan apabila manusia masih bahwa akal budi itu mesti mengarahkan diri pada objek-objek. Kant beranggapan bahwa agar objek diketahui, objek itu harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori dan bukan sebaliknya. Dan itu berarti bahwa mereka harus tunduk pada kategori-kategori dari intelek.
Dalam penjelasan selanjutnya, Kant mengatakan bahwa kategori yang ketiga dari bentuk "tiga rangkaian" adalah merupakan hasil kombinasi dari yang pertama, dan yang kedua. Misalnya, totalitas adala kombinasi dari pluralitas dan kesatuan, dan lain-lain. Interpretasi dari skema "tiga rangkaian" ini, kemudian akan manusia temukan dalam filsafat Hegelian dalam pola "tiga rangkaian": tesis, antitesis,dan sintesis.
V. Penutup
      Imanuel Kant adalah seorang filosof  yang membawa perubahan revolusioner dalam bidang metafisika. Kant menganggap bahwa metafisika adalah suatu bentuk kegiatan akal budi yang semata-mata ditujukan mengenai dirinya sendiri. Perbedaan besar antara metafisika sebelum Kant  adalah bahwa metafisika sebelum Kant membicarakan objek-objek sedangkan metafisika Kant tidak membicarakan mengenai objek-objek melainkan membicarakan mengenai cara-cara akal budi mengetahui sesuatu.[20]
      Karena itu Kant mengadakan penelitian atas kemampuan rasio dan batas-batasnya sebelum rasio itu digunakan dalam proses pengetahuan. Pengetahuan, menurut Kant adalah selalu merupakan sintesis antara unsur a priori (sebelum pengalaman; dari bahasa latin prius yang artinya sebelum) dan a posteriori (latin post yang artinya sesudah pengalaman). Itu berarti Kant tidak setuju dengan pandangan tidak berimbang kaum rasionalis dan empiris.
      Menurut Kant, satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman empiris. Akan tetapi, pengalaman itu sendiri belumlah sepenuhna disebut pengetahuan. Pengalaman itu kemudian diproses dalam kerangka a priori  mutlak yang terdapat dengan sendirinya dalam struktur pikiran manusia. kerangka a priori dalam pikiran manusia terdiri dari ruang dan waktu dalam sensibilitas dan kategori-kategori.
      Kant beranggapan bahwa pikiran dan objek atau realitas yang manusia ketahui itu adalah dua hal yang terpisah, dan pengetahuan berperan untuk menghubungkan pikiran dan objek tersebut. Kategori-kategori a priori yang terdapat dalam struktur pikiran manusia itu secara spontan dan bahkan langsung bekerja setiap berhadapan dengan objek atau realitas. Dan objek yang masuk atau ditangkap melalui kategori-kategori tersebut bukan lagi objek sebagaimana pada dirinya sendiri tetapi objek yang telah terbentuk dan diformat dalam kategori-kategori dalam diri subjek manusia. karena itu manusia tidak bisa mengetahui "benda dalam dirinya sendiri" yang mungkin manusia ketahui hanyalah "benda bagi diriku"
      Pengetahuan manusia adalah hasil sintesis antara unsur-unsur objektif yakni realitas, sensasi-sensasi serta unsur subjektif yakni ruang dan waktu dari sensibilitas dan kategori-kategori yang konstitutif terdapat dalam akal budi manusia. proses terbentuknya pengetahuan manusia dimulai dari objek yang langsung tersaji bagi indera manusia.  setelah itu tahap berikutnya adalah tahap pencerapan inderawi. Dalam hal ini manusia belum mendapatkan pengetahuan yang sesungguhnya dan hanya disebut sebagai pengalaman mengenai objek. Kemudian tahap berikutnya adalah tahap intelek di mana terdapat dua belas kategori yang sudah terstruktur dalam akal budi manusia. intelek  manusia tidak pernah berada dalam kondisi pasif . Intelek manusia selalu aktif menata objek-objek melalui kategori-kategori. Tahap terakhir adalah tahap rasio.  Tahap ini berperan mensistematisasi dan menata semua pengetahuan yang manusia miliki sehingga menghasilkan kesatuan tertinggi pemikiran.
      Kant memberikan sumbangan yang begitu besar terhadap persoalan tentang Tuhan. Kant berpendapat bahwa Tuhan bukanlah objek inderawi dan karena itu manusia tidak pernah memiliki pengetahuan absolut tentang-Nya. Manusiapun dengan demikian tidak bisa mengafirmasi maupun menegasi keberadaanya. Biarkan Tuhan berada dalam kemisterian-Nya karena dengan demikian manusia bisa menghormati keagungan-Nya.
Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, Matinya Metafisika Barat, Jakarta : komunitas Bamboo, 2001.
Bagus, Lorens Metafisika, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Riyanto, F. X. Armada, Â Pengantar Metafisika, Diktat Kuliah, Malang : STFT Widya Sasana Malang, 2003
__________________, "Mendesain Riset Filosofis-Fenomologis Dalam Rangka Mengembangkan Berfilsafat Indonesia", dalam Tjatur Raharso dan Yustinus (eds.), Metodologi Riset Studi Filsafat Teologi , Â Malang : Dioma, 2018.
__________________, Relasionalitas, Malang : Kanisius, 2018.
__________________, Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Sontag, Frederick, Pengantar Metafisika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002.
Takwin, Bagus, Kesadaran Plural : Sebuah Sintesis Rasionalitas Dan Kehendak Bebas, Yogyakarta: Jalasutera, 2005.
[1] Lorens Bagus, Metafisika, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1991, hal. 27.
[2] F. X. Armada  Riyanto,  Pengantar Metafisika,  Diktat Kuliah, Malang : STFT Widya Sasana Malang, 2003, hal. 23
[3] Ibid., hal. 22
[4] Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, Jakarta : Komunitas Bamboo, 2001, hal. 25.
[5] F. X. Armada Riyanto, Mendesain Riset Filosofis-Fenomologis Dalam Rangka Mengembangkan Berfilsafat Indonesia", dalam Tjatur Raharso dan Yustinus (eds.), Metodologi Riset Studi Filsafat Teologi , Â Malang : Dioma, 2018, hlm. Â 137
[6] F. X. Armada Riyanto, Op.Cit., Â hal. 166
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] F. X. Armada Riyanto, Relasionalitas, Malang : Kanisius, 2018, hal. 164
[11] Revolusi Kopernikan ini mengacu pada konsepsi dari Nikolaus Kopernikus (1473-1543) yang mengatakan bahwa bukanlah bumi yang menjadi pusat tata surya. Yang berputar mengelilingi  dunia bukanlah planet-planet melainkan bumilah yang berputar sementara benda langit diam pada tempatnya.
[12] F. X. Armada Riyanto, Op.Cit.,Â
[13] F. X. Armada Riyanto, Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 16
[14] Bagus Takwin, Kesadaran Plural : Sebuah Sintesis Rasionalitas Dan Kehendak Bebas, Yogyakarta: Â Â Jalasutera, 2005, hal. 122
[15]F. X. Armada Riyanto, Op.Cit., hal. 163
[16] Ibid.
[17] Frederick Sontag, Pengantar Metafisika, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hal. 139.
[18] F. X. Armada Riyanto, Relasionalitas, Malang : Kanisius, 2018, hal. 164
[19] Ibid.
[20] F. X. Armada Riyanto, Menjadi Mencintai, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H