"Eh, btw, yang lo maksud 'anak jenius'di pidato lo tadi itu gue kan,?"Kata Derren membuka percakapan."Dan 'teman' yang berhasil ngalahin gue itu, lo sendiri kan,?"Tanya Derren pada Aksana. Aksana terdiam sejenak. Ia merasa telah salah dalam memilih topik. Mustahil rasanya seorang Derren tidak paham dengan pidato Aksana tadi. Justru hal seperti itu kecil bagi Derren.Â
"Berarti lo ngakuin gue sebagai 'temen' lo dong?"Ucap Derren dengan senyum mengejek.Â
"Apaan sih, ge-er banget."Kata Aksana membalikkan kata-kata Derren barusan.
"Siipp, gue ge-er."Sahut Derren pasrah."Lagian example lo terlalu klasik. Gampang banget di tebak."Tambah Derren. Aksana telah menduga si songong ini akan mengatakan hal itu.
"Tapi gapapa, Na. Terusin."Kata Derren. Entah sebanyak apa keberanian yang Derren punya sampai ia berani mengatakannya pada Aksana.
"Gue rasa, lo mampu nutupin kekurangan gue,"Kata Derren ."Gue tertarik sama lo dari kelas sepuluh."Ucap Derren terus terang. Kata-katanya tadi berhasil membuat Aksana diam seribu bahasa. Netra hitam Derren bertemu dengan netra coklat milik Aksana.
"Lo, unik."Tambah Derren. Lunas sudah perasaannya yang sudah tiga tahun ia pendam. Namun ada satu hal lagi yang ingin Derren tanyakan pada Aksana. Derren ragu untuk menanyakannya atau tidak. Walaupun akhirnya Derren berani menanyakannya.
"Lo, ga mau balas perasaan gue?"Tanya Derren. Tanpa ia sangka pertanyaan inilah yang Aksana tunggu dari tadi.
"Iya, aku mau kok."Jawab Aksana. Tiga kalimat, Delapan suku kata. Tapi mampu menjawab seluruh pertanyaan Derren.Â
"Tapi nanti ya, kalau semua mimpi-mimpiku udah tercapai."Lanjut Aksana. Jawaban Aksana barusanlah yang membuat Derren utuh sekaligus rapuh. Derren bahagia karena karena ia telah menemukan semestanya. Tapi Derren takut jika harus kehilangan semestanya. Derren takut jika ia tidak akan menemukan sosok seperti Aksana lagi. Gelora Aksana mampu memikat dirinya dan tentu saja memenangkan hatinya.
Â