Oleh: Kang Mpie
Aku habiskan lima tahun bersamanya dengan kebencian, namun sekarang aku tak mampu lagi menghabiskan sisa hidupku untuk kembali mencintainya. Kematian memang telah membuatku terbebas dari rasa benci ini, tapi juga tidak mampu menghilangkan cinta tulusnya padaku.
“Sampai kapan pun aku tak rela untuk mencintainya,” batinku menghardik sosok yang ada di depanku sekarang.
Seandainya orangtuaku tidak terikat bisnis dengan orangtuanya, mungkin peristiwa yang dibilang sakral ini, tidak akan pernah terjadi. Aku terpaksa menjadi istri dari laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal sebelumnya bahkan sampai acara resepi pernikahan selesai, aku sama sekali tidak mencintainya.
“Terimakasih, Sayang. Kamu bersedia untuk menjadi bidadari bagiku,” sapanya lembut di tepian daun telingaku.
Risih, jijik. Aku hardik wajahnya dengan tanganku. “Sudahlah, saya terpaksa untuk menikah denganmu, ingat ... TERPAKSA!” Aku lampiaskan kebencian ini dengan bebas berteriak tepat di depan wajahnya.
“Aku akan bersabar untuk menunggumu mencintaiku.” Dia jawab api amarahku dengan air teduh di senyumannya.
“TIDAK AKAN PERNAH!” bentakku sekali lagi. Ah ... ingin rasanya memuntahkan semua amarahku malam ini. Tapi badan sudah teramat lelah menjalani acara resepsi seharian tadi.
Aku tertidur, tanpa mengganti pakaian pengantinku. Berharap esok pagi disaat aku terbangun, ini semua cuma sekedar mimpi.
Matahari mengintip melalui celah daun jendela kamar, aku terbangun karena sinarnya menyilaukan pandangku. Aku kibas selimut tebal yang menyelimutiku semalam, laki-laki itu mungkin yang memakaikannya padaku. Dan kulihat ia masih tertidur pulas di atas sofa. Aku dapat lihat dengan jelas raut wajahnya pagi ini, huh ... rasa benci ini semakin membesar.
“Kamu sudah bangun, Sayang?” sapanya dengan masih dalam posisi tertidur, “sebentar ya, aku buatkan sarapan untuk kita.” Dia pun langsung bangkit dari sofa, menuju kamar mandi untuk mencuci muka lalu beranjak pergi ke luar kamar.
Perlakuan lembutnya tetap tidak menggoyahkan perasaan yang sudah membatu ini. Aku tetap membencinya.
Sudah hampir satu tahun pernikahanku dengannya. Aku mulai membiasakan diri untuk bisa menerima dia untuk menjadi suamiku, walau masih dengan kondisi keterpaksaan. Selama ini orangtuaku selalu berusaha meyakinkaku bahwa dia adalah laki-laki yang cocok sebagai teman hidupku, mereka selalu memarahiku ketika dilihatnya sikap dingin yang terus aku lancarkan untuk laki-laki itu.
Terpaksa. Aku terpaksa untuk menuruti kemauan orangtuaku untuk menjadi istri yang baik. Mereka mengancam tidak akan memasukkanku ke daftar ahli waris keluarga jika aku terus bersikeras akan sikapku selama ini.
Beberapa perjanjian tertulis aku ajukan kepadanya. Aku bersedia untuk melayani dan menjalani tugasku sebagai isrti dan dia menyanggupi akan menuruti semua kemauanku.
“Apapun akan aku berikan untukmu, Bidadariku,” jawabnya masih dengan penuh pujian.
Aku heran, kenapa dia bisa bertahan sejauh ini terhadapku. Terbuat dari apakah hatinya? Padahal segala cara sudah aku lakukan untuk bisa membuat dia sedikit terpancing emosinya dan akan menjadi alasan kuat kepada orangtuaku bahwa dia adalah bukan laki-laki baik. Tapi semua tidak berhasil!
Menjelang pernikah kami di tahun kelima ini, kini sudah hadir buah hati hasil keterpaksaanku melayaninya. Annisa buah hati kami yang kini berusia tiga tahun adalah hasil kesabarannya menungguku untuk bisa menjadi istri sesungguhnya—yang bisa dinikmati di atas ranjang. Ah, aku benci keduanya kini.
Laki-laki itu memang menepati janjinya, dia selalu memanjakanku dengan semua permintaan yang aku ajukan. Uang bulanan, barang-barang mewah, bahkan rekreasi ke luar negeri sekalipun selalu di penuhinya. Hari-hariku penuh dengan kebebasan, aku bebas pergi kemanapun tanpa perlu meminta persetujuannya, toh dia pasti akan mengizinkan.
Annisa lebih dekat dengan papahnya, karena memang aku tidak terlalu mempedulikan perkembangan anak itu. Aku serahkan semua perawatannya kepada seorang babbysister. Annisa tumbuh persis seperti papahnya--lembut, ramah dan pintar.
Di waktu-waktu libur bekerja, laki-laki itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Annisa. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bergabung bersama mereka. Aku lebih memilih untuk pergi ke mall atau seperti yang aku lakukan sekarang ini, bersantai di tepian kolam renang sambil membaca majalah.
“Mah, kita jalan-jalan yuk. Annisa mau main di timezone nih,” ajakan Annisa manja. Dia memang selalu berusaha mengikut sertakan aku di setiap kegiatannya dengan papahnya.
“Mamah malas. Kamu pergi saja sama Papah.”
“Yah, Mah ... ayoo dong. Kan jarang-jarang kita pergi barengan bertiga.” Annisa merajuk dengan memberikan alasan yang tepat.
“Ayo, Sayang. Ikut dengan kami yah.” Laki-laki itu ikut merayu. Senyuman dan belaian lembut di kepalaku tidak pernah luput diberikannya.
“Aku mau pergi arisan hari ini. Kamu saja sama Annisa yang pergi.” Lemah lembutnya tidak mampu menggoyahkan keenggananku untuk pergi.
“Ya sudah, nanti aku yang temani Annisa pergi. Kamu mau diantar supir? Biar nanti aku bawa mobil sendiri.”
“Enggak usah, aku bawa mobil sendiri saja.”
Tidak lama kemudian mereka pun pamit. Laki-laki itu mencium keningku--satu lagi kebiasaannya yang tidak pernah dia lupakan kepadaku--ditambah satu pelukan hangat. Dia memelukku erat, sangat erat bahkan. “Kamu jaga diri, ya. Aku sayang kamu,” bisiknya lembut, benar-benar lembut. Ada rasa yang beda aku rasakan saat dia melapaskan pelukannya. Tapi ke-egosianku mengalahkan rasa itu.
“Hallo, kamu lihat dompetku nggak?” tanyaku pada laki-laki itu melalui ponsel disaat aku tidak menemui dompetku di dalam tas seperti biasanya. Aku tidak sempat mengeceknya tadi di rumah, karena memang tidak sering-sering aku keluarkan.
“Oh iya. Maaf, Sayang. Tadi Annisa minta jajan dan aku sedang tidak ada uang kecil. Jadi aku ambil dari dompetmu. Aku lupa mengembalikannya lagi ke dalam tas, ” katanya menjelaskan, masih dengan suara lembut.
“Kamu gimana sih. Aku mau bayar arisan nih!” Aku membalasnya dengan satu bentakan lalu menutup telepon.
Tidak berapa lama ponselku kembali berdering, dari dia. “Ada apa?” tanyaku tanpa memberikannya kesempatan untuk menyapa terlebih dahulu.
“Aku sudah di jalan pulang, Sayang. Aku mau ambil dompetmu,” dia menjawab dengan tergesa, “kamu di mana arisannya? Biar nanti aku antarkan dompetmu ke sana.” Dia bertanya seakan ketakutan aku akan memutus teleponnya seperti tadi.
Hujan tiba-tiba turun, tanpa memberikan tanda-tanda sebelumnya. Dan waktu pun terasa lama dalam situasi ini, sudah hampir satu jam lebih laki-laki itu belum juga datang. Aku coba untuk menghubunginya, tapi sudah beberapa kali aku menelpon tidak diangkatnya. Biasanya tidak butuh sampai dua kali aku menelpon, dia pasti langsung merespon.
Teleponku berdering, namanya muncul di layar. Dengan menahan kesal aku angkat panggilannya, “Kamu dimana? Lama bener sih!”
Tidak terdengar suaranya menjawab. Tiba-tiba suara asing terdengar dari seberang sana melalui ponsel laki-laki itu. “Hallo selamat sore, apakah ibu, istri dari Bapak Setyo?”
Aku langsung menjawab pertanyaanya, ternyata suara asing itu adalah suara seorang polisi. Dia melaporkan bahwa laki-laki yang bernama Setyo dan itu adalah suamiku, mengalami kecelakaan lalu lintas dan saat ini sedang dibawa menuju satu rumah sakit. Aku hanya mampu terdiam. Kabar berita kecelakaan selalu membuatku shock, siapapun korbannya. Dan sekarang adalah suamiku yang menjadi korban.
Mataku terbuka, aku melihat di sekelilingku wajah-wajah yang tidak asing lagi. Orangtuaku dan ibunya Mas Setyo. Aku sudah berada di rumah sakit sekarang, entah siapa yang membawaku sampai ke sini.
“Sabar, Nak.” Ibu berusaha menenangkanku.
“Mas Setyo di mana, Bu?” tanyaku lirih. Ah, baru kali ini aku memanggil suamiku dengan sebutan itu.
“Dia masih di dalam. Kita tunggu saja di sini ya.”
Aku menunggu dengan diam beribu bahasa di depan ruang unit gawat darurat. Waktu betul-betul terasa lama berputar. Sampai akhir setelah hampir 2 jam kami menunggu, dokter keluar memberikan informasi. Suamiku tidak bisa diselamatkan lagi. Pendarahaan yang parah terjadi pada otaknya. Dan semua ini karena serangan jantung yang menyerangnya disaat menyetir tadi. Oh,Tuhan. Kali ini aku benar-benar lemas. Aku tidak mengharapkan kejadian ini. Ada sedikit penyesalan yang menjalar bersama aliran darah ke seluruh tubuhku. Mas Setyo ....
Setelah proses pengurusan administrasi rumah sakit selesai, jenazah Mas Setyo pun kami bawa pulang ke rumah. Selama perjalanan aku pandangi peti jenazah yang berisi tubuh mayat suamiku. Semua cerita tentangnya bermain di pikiranku. Setibanya di rumah, barulah aku bisa membuka peti jenazah itu.
Kini di hadapanku ada satu wajah yang selama ini aku abaikan. Aku termangu memandangnya. Kusentuh perlahan wajah itu, terasa dingin. Ini pertama kalinya aku benar-benar menyentuhnya. Wajah yang selalu dihiasi senyuman manis untukku, wajah yang selalu tampak sabar menghadapi amarahku, wajah yang selalu berseri menenangkanku. Bahkan untuk terakhir kalinya wajah itu masih mau membuatku senang. Wajah itu tampak begitu tampan. Air mata sudah tidak mampu lagi aku bendung., tangisan kehilangan, tangisan penyesalan. Aku berusaha mengusap air mata ini, aku tidak ingin pandanganku terkaburkan olehnya. Aku ingin menatap jelas wajah Mas Setyo, untuk terakhir kali.
Menatap wajahnya lekat, teringat bagaimana aku benar-benar tidak pernah menganggapnya ada. Aku tidak pernah menyiapkan sarapan untuknya bahkan aku tidak mengatur makananya dan aku tidak peduli dengan kesehatannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia suka dan tidak suka, ternyata kebiasannya meminum kopi dan memakan mie instan adalah penyebab adanya penyumbatan pada jantungnya dan terjadi serangan. Padahal dia selalu ada untuk menyiapkan sarapan kami, mengingatkanku untuk meminum vitamin kandunganku dulu. Dia menjagaku selama aku hamil, memanjakanku, merawatku. Dia yang selalu memanggilku dengan sapaan sayang, sedangkan aku selalu menjulukinya ”laki-laki itu.”
Seminggu sudah kepergian Mas Setyo, aku pun baru bisa beranjak dari kesedihanku. Sudah saatnya aku bangkit untuk menjadi ibu yang baik untuk Annisa. Sungguh dia lebih terpukul dibandingkan aku. Aku mulai membereskan barang-barang peninggalannya, setiap lipatan baju yang aku ambil dari lemari, masih tercium harum parfum favoritnya, masih terasa hangat pelukannya. Tuhan, kemana saja aku kemarin. Di tengah-tengah aku merapikan bajunya dan mengumpulkannya ke dalam satu dus, ada secarik kertas terselip di antara tumpukan baju. Aku raih kertas itu dengan tangan gemetar. Perlahan aku buka dan aku baca isinya:
Istriku Ratna yang cantik, mungkin disaat kamu membaca surat ini, aku sudah pergi meninggalkanmu. Akhir-akhir ini penyakit jantungku selalu kambuh. Aku takut, takut akan dipanggil Tuhan tiba-tiba.
Aku sengaja menyiapkan surat ini untuk kau baca kelak, karena aku tidak pernah ada kesempatan untuk bisa berbincang lama denganmu. Aku selalu mencintaimu dengan setulus hatiku, aku tidak pernah merasa kecewa telah memilihmu menjadi bidadari di rumah kita. Aku benar-benar mencintaimu.
Istriku Ratna yang manja, maafkan aku yang telah menorehkan luka di hatimu, karena kamu tidak menginginkan aku untuk menjadi suamimu. Tapi aku yakin, Tuhan akan memberikan cinta-Nya melalui cintamu kepadaku. Itu yang selalu aku jaga selama ini, sehingga aku masih terus bisa mencintaimu.
Istriku Ratna, Ibunya Annisa kita yang cantiknya persis sepertimu, maafkan aku yang tidak bisa menemanimu untuk melihat putri cantik kita sampai ke pelaminan. Maafkan aku yang tidak bisa menemanimu menjadi nenek bagi cucu-cucu kita kelak.
Istriku, aku titip Annisa untuk kau jadikan bidadari bagi suaminya kelak. Aku yakin kamu sudah mampu untuk itu. Karena kamu memang bidadari bagi kami.
Selamat tinggal istriku, aku mencintaimu selama-lamanya.
Aku juga mencintaimu, Mas Setyo. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi bidadari seperti yang kau inginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H