Mohon tunggu...
Yopi Kurniawan
Yopi Kurniawan Mohon Tunggu... Drafter -

Drafter yang suka iseng coret-coret kertas kosong dengan tulisan. www.akangmpie.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Laki-laki Itu

5 Juli 2015   00:19 Diperbarui: 5 Juli 2015   00:19 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

                Setelah proses pengurusan administrasi rumah sakit selesai, jenazah Mas Setyo pun kami bawa pulang ke rumah. Selama perjalanan aku pandangi peti jenazah yang berisi tubuh mayat suamiku. Semua cerita tentangnya bermain di pikiranku. Setibanya di rumah, barulah aku bisa membuka peti jenazah itu.

Kini di hadapanku ada satu wajah yang selama ini aku abaikan. Aku termangu memandangnya. Kusentuh perlahan wajah itu, terasa dingin. Ini pertama kalinya aku benar-benar menyentuhnya. Wajah yang selalu dihiasi senyuman manis untukku, wajah yang selalu tampak sabar menghadapi amarahku, wajah yang selalu berseri menenangkanku. Bahkan untuk terakhir kalinya wajah itu masih mau membuatku senang. Wajah itu tampak begitu tampan. Air mata sudah tidak mampu lagi aku bendung., tangisan kehilangan, tangisan penyesalan. Aku berusaha mengusap air mata ini, aku tidak ingin pandanganku terkaburkan olehnya. Aku ingin menatap jelas wajah Mas Setyo, untuk terakhir kali.

                Menatap wajahnya lekat, teringat bagaimana aku benar-benar tidak pernah menganggapnya ada. Aku tidak pernah menyiapkan sarapan untuknya bahkan aku tidak mengatur makananya dan aku tidak peduli dengan kesehatannya. Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia suka dan tidak suka, ternyata kebiasannya meminum kopi dan memakan mie instan adalah penyebab adanya penyumbatan pada jantungnya dan terjadi serangan. Padahal dia selalu ada untuk menyiapkan sarapan kami, mengingatkanku untuk meminum vitamin kandunganku dulu. Dia menjagaku selama aku hamil, memanjakanku, merawatku. Dia yang selalu memanggilku dengan sapaan sayang, sedangkan aku selalu menjulukinya ”laki-laki itu.”

                Seminggu sudah kepergian Mas Setyo, aku pun baru bisa beranjak dari kesedihanku. Sudah saatnya aku bangkit untuk menjadi ibu yang baik untuk Annisa. Sungguh dia lebih terpukul dibandingkan aku. Aku mulai membereskan barang-barang peninggalannya, setiap lipatan baju yang aku ambil dari lemari, masih tercium harum parfum favoritnya, masih terasa hangat pelukannya. Tuhan, kemana saja aku kemarin. Di tengah-tengah aku merapikan bajunya dan mengumpulkannya ke dalam satu dus, ada secarik kertas terselip di antara tumpukan baju. Aku raih kertas itu dengan tangan gemetar. Perlahan aku buka dan aku baca isinya:

Istriku Ratna yang cantik, mungkin disaat kamu membaca surat ini, aku sudah pergi meninggalkanmu. Akhir-akhir ini penyakit jantungku selalu kambuh. Aku takut, takut akan dipanggil Tuhan tiba-tiba.

Aku sengaja menyiapkan surat ini untuk kau baca kelak, karena aku tidak pernah ada kesempatan untuk bisa berbincang lama denganmu. Aku selalu mencintaimu dengan setulus hatiku, aku tidak pernah merasa kecewa telah memilihmu menjadi bidadari di rumah kita. Aku benar-benar mencintaimu.

Istriku Ratna yang manja, maafkan aku yang telah menorehkan luka di hatimu, karena kamu tidak menginginkan aku untuk menjadi suamimu. Tapi aku yakin, Tuhan akan memberikan cinta-Nya melalui cintamu kepadaku. Itu yang selalu aku jaga selama ini, sehingga aku masih terus bisa mencintaimu.

Istriku Ratna, Ibunya Annisa kita yang cantiknya persis sepertimu,  maafkan aku yang tidak bisa menemanimu untuk melihat putri cantik kita sampai ke pelaminan. Maafkan aku yang tidak bisa menemanimu menjadi nenek bagi cucu-cucu kita kelak.

Istriku, aku titip Annisa untuk kau jadikan bidadari bagi suaminya kelak. Aku yakin kamu sudah mampu untuk itu. Karena kamu memang bidadari bagi kami.

Selamat tinggal istriku, aku mencintaimu selama-lamanya.

Aku juga mencintaimu, Mas Setyo. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi bidadari seperti yang kau inginkan.                      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun