“Kamu sudah bangun, Sayang?” sapanya dengan masih dalam posisi tertidur, “sebentar ya, aku buatkan sarapan untuk kita.” Dia pun langsung bangkit dari sofa, menuju kamar mandi untuk mencuci muka lalu beranjak pergi ke luar kamar.
Perlakuan lembutnya tetap tidak menggoyahkan perasaan yang sudah membatu ini. Aku tetap membencinya.
Sudah hampir satu tahun pernikahanku dengannya. Aku mulai membiasakan diri untuk bisa menerima dia untuk menjadi suamiku, walau masih dengan kondisi keterpaksaan. Selama ini orangtuaku selalu berusaha meyakinkaku bahwa dia adalah laki-laki yang cocok sebagai teman hidupku, mereka selalu memarahiku ketika dilihatnya sikap dingin yang terus aku lancarkan untuk laki-laki itu.
Terpaksa. Aku terpaksa untuk menuruti kemauan orangtuaku untuk menjadi istri yang baik. Mereka mengancam tidak akan memasukkanku ke daftar ahli waris keluarga jika aku terus bersikeras akan sikapku selama ini.
Beberapa perjanjian tertulis aku ajukan kepadanya. Aku bersedia untuk melayani dan menjalani tugasku sebagai isrti dan dia menyanggupi akan menuruti semua kemauanku.
“Apapun akan aku berikan untukmu, Bidadariku,” jawabnya masih dengan penuh pujian.
Aku heran, kenapa dia bisa bertahan sejauh ini terhadapku. Terbuat dari apakah hatinya? Padahal segala cara sudah aku lakukan untuk bisa membuat dia sedikit terpancing emosinya dan akan menjadi alasan kuat kepada orangtuaku bahwa dia adalah bukan laki-laki baik. Tapi semua tidak berhasil!
Menjelang pernikah kami di tahun kelima ini, kini sudah hadir buah hati hasil keterpaksaanku melayaninya. Annisa buah hati kami yang kini berusia tiga tahun adalah hasil kesabarannya menungguku untuk bisa menjadi istri sesungguhnya—yang bisa dinikmati di atas ranjang. Ah, aku benci keduanya kini.
Laki-laki itu memang menepati janjinya, dia selalu memanjakanku dengan semua permintaan yang aku ajukan. Uang bulanan, barang-barang mewah, bahkan rekreasi ke luar negeri sekalipun selalu di penuhinya. Hari-hariku penuh dengan kebebasan, aku bebas pergi kemanapun tanpa perlu meminta persetujuannya, toh dia pasti akan mengizinkan.
Annisa lebih dekat dengan papahnya, karena memang aku tidak terlalu mempedulikan perkembangan anak itu. Aku serahkan semua perawatannya kepada seorang babbysister. Annisa tumbuh persis seperti papahnya--lembut, ramah dan pintar.
Di waktu-waktu libur bekerja, laki-laki itu lebih banyak menghabiskan waktu bersama Annisa. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bergabung bersama mereka. Aku lebih memilih untuk pergi ke mall atau seperti yang aku lakukan sekarang ini, bersantai di tepian kolam renang sambil membaca majalah.