“Mah, kita jalan-jalan yuk. Annisa mau main di timezone nih,” ajakan Annisa manja. Dia memang selalu berusaha mengikut sertakan aku di setiap kegiatannya dengan papahnya.
“Mamah malas. Kamu pergi saja sama Papah.”
“Yah, Mah ... ayoo dong. Kan jarang-jarang kita pergi barengan bertiga.” Annisa merajuk dengan memberikan alasan yang tepat.
“Ayo, Sayang. Ikut dengan kami yah.” Laki-laki itu ikut merayu. Senyuman dan belaian lembut di kepalaku tidak pernah luput diberikannya.
“Aku mau pergi arisan hari ini. Kamu saja sama Annisa yang pergi.” Lemah lembutnya tidak mampu menggoyahkan keenggananku untuk pergi.
“Ya sudah, nanti aku yang temani Annisa pergi. Kamu mau diantar supir? Biar nanti aku bawa mobil sendiri.”
“Enggak usah, aku bawa mobil sendiri saja.”
Tidak lama kemudian mereka pun pamit. Laki-laki itu mencium keningku--satu lagi kebiasaannya yang tidak pernah dia lupakan kepadaku--ditambah satu pelukan hangat. Dia memelukku erat, sangat erat bahkan. “Kamu jaga diri, ya. Aku sayang kamu,” bisiknya lembut, benar-benar lembut. Ada rasa yang beda aku rasakan saat dia melapaskan pelukannya. Tapi ke-egosianku mengalahkan rasa itu.
“Hallo, kamu lihat dompetku nggak?” tanyaku pada laki-laki itu melalui ponsel disaat aku tidak menemui dompetku di dalam tas seperti biasanya. Aku tidak sempat mengeceknya tadi di rumah, karena memang tidak sering-sering aku keluarkan.
“Oh iya. Maaf, Sayang. Tadi Annisa minta jajan dan aku sedang tidak ada uang kecil. Jadi aku ambil dari dompetmu. Aku lupa mengembalikannya lagi ke dalam tas, ” katanya menjelaskan, masih dengan suara lembut.
“Kamu gimana sih. Aku mau bayar arisan nih!” Aku membalasnya dengan satu bentakan lalu menutup telepon.