"Betul, farah. Kamu tak usah risau, tubuhmu hanya pinjaman. Hakikat kebaikan itu ada dalam hati dan jalan kebaikan yang kau pilih"
Tak terhitung belasan nasihat terus menguatkan jalan hijrahku. Mereka kadang menelpon, kadang pula mengirimnya via WA. Setidaknya sampai di titik ini rencanaku didukung banyak pihak.
Hingga akhirnya, di setengah perjalanan hijrahku kutemui laki-laki baik yang sering diceritakan itu. Namanya Rana. Badannya tinggi dan kulitnya putih, ia sangat sopan memperlakukanku. Kami bertemu di FB, meski dia yang pertama mengajakku berkenalan.
"Farah, aku mengenalmu tulus. Percayalah!"
"Bagaimana kamu bisa meyakinkanku bahwa ketulusan itu benar-benar akan berwujud di kehdiupan nyata?"
"Kamu tidak perlu banyak bertanya tentang ketulusanku. Cukup kamu nilai apakah aku serius atau main-main"
"Aku hanya takut menjadi pelarianmu saja"
"Bagaimana kamu bisa menilaku seperti itu?"
"Banyak cerita tentang laki-laki yang awalnya baik, pada akhirnya pergi begitu saja. Kadang tanpa pamit"
"Itu hanya dalam cerita saja. Aku berbeda dengan mereka. Karena aku sangat nyaman mengenalmu, farah"
"Bagaimana kamu akan mengajariku tentang kebaikan?"