"Mba sendiri, kenapa belum hijrah? Kenapa pula menyuruhku hijrah?"
"Kami ini sudah terlanjur rusak. Sementara kamu masih sangat panjang masa depannya."
"Bagaimana saya bisa hijrah kalau mba sendiri nggak berhijrah"
"Farah, dunia ini bukan untukmu. Kamu hanya korban dari situasi. Bergegaslah merapihkan jalan hidupmu. Biarkan kami yang mengisi kegelapan yang akan kau tinggalkan"
"Apa karena merasa para pelanggan mba berkurang lalu menyuruhku berhijrah?"
"Rizki sudah ada yang ngatur. Kami tak merasa tersaingi. Sudahlah, di luar sana ada banyak laki-laki baik. Pasrahkan pada takdirnya, jangan membantah!"
Berjalan gontai awalnya, Farah beranjak dari takdirnya yang gelap. Menyusuri jalanan Kota Bandung, tekadnya bulat untuk berhijrah: kembali di kehidupan normal. Kehidupan yang memberinya satu cinta untuk satu laki-laki. Kehidupan yang menyandarkannya hanya pada satu cinta.
Terbesit niat untuk berkata jujur kepada kedua orang tuasnya tentang dunia yang selama ini sembunyikan. Tapi lagi-lagi ia batalkan, tak ingin ia menyakiti perasaan ayah dan ibunya.
Bagaimana jika aku benar-benar berjumpa dengan lelaki baik seperti yang diceritakan mereka? Apakah harus kujelaskan siapa aku sebelumnya. Atau biarkan waktu mengubur masa laluku tanpa harus kujelaskan kepada lelaki baik itu.
"Jika memberi tahu masa lalumu membuat jalan kebaikanmu terputus, maka biarkan kebaikan-kebaikan yang kamu lakukan menguburnya dalam-dalam, tanpa perlu orang lain tahu"
"Jika lelaki baik itu benar-benar ikhlas mengenalmu, ia takkan bertanya sehitam apakah masa lalumu."