Setiap hari, ada saja masalah yang Marina hadapi. Seperti hari ini. Pagi tadi dia bangunnya kesiangan, sampai-sampai tidak shalat subuh. Sialnya lagi, masakannya hari itu juga ikut gosong. Hampir saja, Budi tak mau berangkat sekolah, karena seragam pramukanya belum di setrika oleh Ibunya. Marina lupa, justru menyetrika yang putih merah.
Tidak hanya kali ini Marina bersikap seperti itu, dulu waktu suaminya masih hidup pun sama. Bahkan, pernah suatu saat, Marina menyajikan kopi untuk suaminya yang rasanya tidak karuan. Karena dia salah mengambil gula, yang dia ambil justru garam. Terbayang kan, bagaimana rasa kopi itu.
Sampai suaminya meninggal. Itu semua gara-gara Marina. Waktu itu, suaminya sedang berselingkuh dengan Mirna. Wanita cantik berkulit putih, Penjual kopi di warung pojok. Nah, suatu ketika Marni menjumpai mereka sedang berduaan, menjalin kasih di sebuah gubuk liar pinggir sawah.
Anehnya, Marina sama sekali tidak terlihat cemburu. Dia tidak marah melihat suaminya bersama Mirna. Bahkan sesampai di rumah, Marina masih mau membuatkan secangkir kopi untuk suaminya. Tapi, lagi-lagi Marina sangat teledor. Dia salah ambil lagi, bukan gula tapi pupuk pestisida. Terang saja, setelah meminumnya, suaminya langsung kejang-kejang dan mulutnya berbusa hingga mati.
Semenjak jadi janda, untuk menyambung hidupnya, dia melanjutkan usaha suaminya. Usaha itu sudah turun temurun. Dari bapaknya, kakeknya, buyutnya terus hingga nenek moyangnya semua menggeluti usaha itu. Yaitu usaha tambal ban.
Meski suaminya tak pernah menularkan ilmu tambal ban itu padanya, namun  Marina tetap yakin, bahwa dia bisa menguasai ilmu itu. Dengan mempelajari buku peninggalan suaminya.
Buku itu adalah peninggalan nenek moyangnya, ejaannya saja masih seperti zaman penjajahan. Buku itu selalu disimpan dengan baik oleh suaminya. Di sebuah peti kayu mirip kotak amal, yang katanya sangat keramat. Setiap tanggal satu suro, buku itu dibersihkan, dan di kasih kembang tujuh rupa.
Sebelum mempelajari, tak lupa Marina menyempatkan untuk menziarahi makam suaminya. Tak lupa dia ajak Budi anaknya.
"Ayo Bud, kamu pimpin doa." Pinta Marina kepada anaknya.
"Ibu saja ... Budi belum bisa."
"Lho, kamu kan sekolah, masak gitu aja tidak bisa Bud?"