Senin Sore, 16.10 wib
“Ruang No 8?”
Perawat itu menjawab, “Mau ambil darah, kan? Belok kanan, lalu kiri.”
“Terima kasih.” Kemudian aku bergegas sambil membawa selembar kertas pengantar dari dokter.
Belok kanan.
Aku memandangi kertas itu, melihat beberapa kolom yang dicontreng oleh dokter yang tadi memeriksaku.
Setelah kanan, lalu belok ki… ups
“Duh, maaf,” kataku. Ada seorang gadis yang tanpa sengaja kutabrak ketika baru saja belok ke kiri tadi.
Gadis itu tersenyum.
Kata maaf itu kembali kulontarkan setelah menyerahkan surat pengantar ke petugas medis di Ruang 8.
“Nggak apa-apa,” jawab gadis itu.
Aku tersenyum lega. “Berobat juga?” tanyaku seketika. Entah, apakah pertanyaan itu selalu tepat ditanyakan kepada seseorang yang mengantri di Ruang 8 tempat mengambil sampel darah itu.
Dia mengangguk. “Nganter,” jawab gadis itu.
“Oo…,” aku yang berada di sisi kiri, melihat seseorang yang duduk di samping kanan sang gadis. Kebetulan saya dan dia kebagian berdiri karena sesaknya pasien yang mengantri. “Bapaknya?” tanyaku pelan.
Gadis itu tersenyum, lalu menggeleng.
“Suami?” tanyaku penasaran. Ah, siapa tahu saja yang kukira gadis itu ternyata adalah istri orang yang di sebelahnya.
“Ngawur,” elaknya.
“Jadi nganter siapa?”
“Diri sendiri.”
Aku tersenyum.
Gadis itu tersenyum juga. Ada dua lesung pipit di pipinya.
Selasa Sore, 17.30 wib
Petugas medis memerhatikan lembaran kertas di tangannya. “Kristin,” suaranya bergema.
Aku memandangi jejeran orang yang duduk di bangku tunggu. Tidak ada satupun di antara mereka yang bergerak.
“Kristin, Kristin Ade,” lelaki yang berpakaian putih itu kembali memanggil. Suaranya kini seperti bergema.
Satu, dua, lima detik berlalu.
Aku melirik jam tangan di lengan kananku. Ufhm, masih lama ya, gumamku dalam hati.
Lelaki berpakaian putih itu mengambil lembaran selanjutnya di tangan. “Wulaning Katri Damayanti,” panggilnya.
Ternyata pemilik nama itu adalah orang yang duduk di samping kananku. Ia berdiri, mengambil tas tangannya dari bangku, kemudian, “Ya, saya Wulaning,” sahutnya sambil mengikuti sang lelaki berpakaian putih masuk ke dalam kamar.
Tak berapa lama Wulaning keluar. Terlihat di lengan kanannya gumpalan kapas kecil untuk menutupi bekas jarum suntik untuk mengambil darah.
“Roni.”
Aku langsung berdiri. Masuk ke Ruang No 8 itu.
“Ini langsung dibawa ke radiologi ya,” kata petugas medis itu.
Aku menerima kertas itu. “Yang di depan kolam?” tanyaku memastikan.
Pria itu mengangguk.
Aku pun bergegas.
Senja mulai menampakkan warna merah tembaganya.
Dan tak lama kemudian aku sudah berada di antrian.
Tiba-tiba…
“Nganter?”
Aku kenal suara itu!
Langsung saja kutoleh, “Hai,” kataku kaget. Gadis itu lagi. “Nganter juga?”
Gadis itu tersenyum. “Maunya sih ada yang nganterin,” kata gadis itu.
“Gimana kalo gantian?” Mendadak saja ada ide konyol di otakku.
“Maksudnya?”
“Yah, kalo ada yang nanya saya pasti bilang kamu lagi ngaterin saya. Nah, sebaliknya kalaua da orang yang nanya kamu, kamu bilang saya yang nganterin.”
Gadis itu memonyongkan bibirnya sesaat. “Maunya.”
Aku meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal itu.
“Tapi….”
Aku kembali melirik gadis itu.
“Tapi, idenya boleh juga.”
Rabu Sore, 15.49 wib
“BNO IVP-nya baru sore ini.”
“Kok lama?”
“Iya, Ma, ini disuruh puasa sejak kemarin dan minum obat pencahar. Buat cuci perut.”
“Jadinya kamu nginep?”
“Ya, gimana lagi Ma. Daripada pulang pergi, lumayan jauh dan macet. Lagian Ronald maunya biar sekalian istirahat.”
“Ya, sudah. Kamu urus aja bagaimana baiknya. Ntar kalo operasinya jadi kabari ya, biar kita langsung dari sini terbang.”
“Cuma operasi kecil kok, Ma.”
“Mau kecil mau besar, tetep saja operasi. Atau setidaknya kakakmu dari Surabaya yang datang.”
Aku menghela nafas.
“Oke, kamu baik-baik saja ya. Bye.”
Klik.
Kukantongi E63-ku. Seorang anak tetaplah menjadi anak kecil di mata sang ibu, mesti sang anak sudah berusia 22 tahun,gumamku.
“Maaf, Dok, tadi penting dari Mama di Malaysia,” katanya merasa bersalah. Menerima telepon di tengah sesi pemeriksaan.
“Jadi orangtua Ronald di Malaysia dua-duanya?” tanya Dokter Lucky.
“Hanya satu Dok, papa sudah lima tahun meninggal,” ralatku.
“Ow, sorry, saya kira…”
“Biasa Dok.”
Tak lama kemudian.
“Obatnya sudah diminum?”
“Ini mulesnya masih terasa, Dok.”
Dokter Lucky tersenyum. “Ini biar isi perut bisa bersih, jadi kita bisa lihat semuannya.”
Aku hanya mengangguk.
“Kalau memang batu atau kristal itu ada di saluran, kita bisa jadwal operasinya besok sore?”
Kali ini aku yang tersenyum. “Mana yang baiknya aja, Dok,” jawabku.
“Oke. Kita tunggu hasil rotgen-nya dulu.”
Aku berpamitan.
Lorong rumah sakit terasa panjang menuju bagian radiologi.
Aku berjalan santai. Toh, tidak ada yang diburu, sebab jadwalnya sudah dipastikan.
Tapi… rasanya ada yang kukenal tak jauh di depan sana.
Dia sedang duduk sendiri di salah satu bangku kayu yang ada di depan sebuah ruangan. Entah, ruang apa itu.
Aku mendekat.
Awalnya ingin menganggetkan, namun rencana itu gatot seper alias gagal total seratus persen.
“Betah banget di sini?” tanya gadis itu.
“Loh, kamu sendiri? Dari kemarin-kemarin masih aja ada di sini?” aku balas bertanya.
“Bukannya saya lagi nganterin? Pokoknya selagi kamu masih di sini ya saya masih nganterin.”
Aih, itu kan candaan sore kemarin, gumam hatiku.
“Eh, tapi yang nganterin dan yang dianter belum kenalan, nih?” kataku.
“Emang perlu?”
“Ya, perlu.”
“What for?”
Aku ikutan duduk di sampingnya, lalu, “Bayangin ya seandainya kamu kenapa-kenapa?”
“Kenapa-kenapa bagaimana?”
“Ya… misalnya ngurus administrasi kek, atau apalah gitu.”
Dia hanya mengangguk.
“Nah, pas lagi sibuknya ngebantuin terus ada dokter atau suster yang nanya nama kamu, masak saya mau bilang cuma nganterin. Kan nggak lucu.”
“Ih, nggak apa-apalagi. Ntar kan kamu tinggal bilang, saya kan sopir taksi jadi ya tugasnya tukang nganter-nganter aja.”
Gadis itu tertawa tertahan.
Aku cuma bisa menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal itu.
“Maya. Wulaning Katri Damayanti.”
Gadis itu menyodorkan tangannya.
Aku menyambutnya. Terasa dingin.
“Ronald. Tapi, semua keluargaku dan temen-temen kampus manggilnya Donald.”
Gadis itu, eh, Maya tersenyum. Dua lesung pipit di pipinya tampak.
“Suka kartun kan?” tanyaku menyelidik.
Maya menggeleng. “Nggak suka.”
“Jadi sukanya?”
“Yah, paling Naruto atau One Piece atau kereta Thomas.”
Yah, kena deh dikerjain.
Kamis Sore, 16.10 wib
“Besok siang. Jam 1-an jadwalnya.”
“Tapi, nggak perlu di belah-belah kan?”
“Nggak lah May, itu cuma pakai gelombang aja buat ngancurin batunya.”
“Jadinya kamu nginep?”
“Ini lagi nyari kamar. Lagian biar tahu kalau ada infeksi atau tidaknya bisa langsung ada tindakan.”
“Ya sudah, Donald harus baik-baik saja ya. Besok Erni datang, kebetulan sedang ada acara kantor dia di Jogja.”
Erni itu kakakku yang pertama.
“Titip oleh-oleh bakpia ya.”
“Lah, kamu kan tinggal SMS kakakmu saja, Nald.”
“Eh, iya ya.”
“Ya sudah ya, kalau ada apa-apa kabarin mama lagi. ”
Klik.
Aku membuka fasilitas pesan.
Er, bawain bakpia lima kotak. Gue di Griya Kencana No 3
Sending..
Baru saja aku mau memasukkan telepon genggam ke saku celana, seseorang menepuk punggung kananku.
“Hai. Yah, dia nongol lagi,” kata suara itu; siapa lagi kalau bukan Maya.
Aku tersenyum. “Mau check in, nih,” jawabku langsung.
“Memangnya hotel,” kilah Maya.
“Yah, di buat seperti hotel saja.”
“Huu… kalau malam di sini sepi.”
“Namanya juga rumah sakit, kalau mau rame mah tinggal nyebrang, ada maal tuh.”
“Ramean kalau kita bakar kali ya rumah sakit ini.”
“Eh, ada teroris.”
Gadis itu ngakak. “Teroris cantik kayak aku sih banyak yang ngejar.”
“Iya, buat digebukin.”
Maya nyengir.
“Ngapain di sini Donald?” tanya Maya sesaat kemudian.
“Kan tadi dah dibilangin mau check in. Ini di Griya Kencana No 3”
Tiba-tiba saja Maya sudah mengambil travel bag. “Nggak usah nunggu suster, Maya tahu kok kamarnya.”
Ah, sepertinya ada sesuatu yang tiba-tiba mengisi hatiku….
***
Jumat,05.10
T-shirt baru saja melekat di tubuh, saat pintu kamar diketuk.
Rasa kantuk menggelayut di mataku. “Ya, sebentar..,” kataku sambil beranjak membuka pintu.
Maya!
Ya, sosok itu sekarang berdiri di depanku.
Aku menoleh sesaat ke belakang, ke jam di dinding. Hmm, masih terlalu pagi untuk berbincang-bincang…
“Halo, Donald,” katanya dengan wajah tak berdosa.
Kupaksakan untuk tersenyum. “Masih subuh, May.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal itu.
Tapi, bukannya kata penyesalan yang keluar dari mulutnya, malah kini tanganku yang ditarik olehnya.
“Hai... hai….” Antara bingung dan dengan kantuk yang masih mendera aku akhirna hanya mengikuti tarikannya.
Dan semua berakhir di sebuah bangku.
“Kita duduk di sini.” Telapak kanan Maya menepuk bangku kayu.
Aku menurutinya. Masih dengan kebingungan.
“Udah, jangan tidur mulu. Tu bentar lagi matahari mau nongol.” Tangan Maya menunjuk ke ufuk sebelah timur.
Masih dengan mata yang berat aku mengikuti tunjukkannya.
“Nikmati Nald, siapa tahu ini yang terakhir,” kata Maya. Matanya bulat-bulat menatapku.
“Ah, jangan horor ah di pagi buta,” selaku.
Maya hanya tersenyum.
***
Laser, atau lebih tepatnya sih gelombang kejut, sudah selesai beberapa jam lalu. Menurut sang dokter batu itu sudah menjadi kristal kecil-kecil dan akan keluar secara alami. Tinggal ditunggu saja kapan harus ke kamar kecilnya.
Tapi, cukup sudah soal yang satu itu. Sekarang saatnya mencari orang yang subuh tadi iseng-iseng membangunkanku hanya untuk melihat matahari terbit.
Jarak dari kamar rawat ke gedung radiologi tidak begitu jauh.
Aku melirik jam di tangan kiriku. Hmm, sudah jam empat lewat,batinku sambil berharap sore ini kutemukan Maya di ruang tunggu radiologi itu.
Dan betul saja… aku menemukannya di sana.
“Hai, nunggu tiket bioskop?” sapaku.
“Bukan, tiket kereta, biasa mau mudik,” Maya membalas.
“Aih, kasihan ntar rumahnya ditinggal pembantu pulang kampung.”
“Lebih kasihan kalau tukang potong rumputnya yang ngacir.”
Dan sejenak kemudian kami pun tertawa.
Orang-orang yang menunggu di ruang radiologi sepertinya tidak peduli.
“Sudah selesai?” tanya Maya sesaat kemudian.
“Maunya sih selesai, tapi…,” Aku menggantungkan kalimatku.
“Bilang aja dokternya cantik.”
“Cemburu ya?”
“Ih, siapa lagi.”
“Alah bilang aja iya.”
Wajah Maya terlihat tersipu malu.
“Kan cocok tu pembantu sama tukang potong rumput jadian.”
“Ngaco.” Tiba-tiba Maya meninju lenganku.
Kami pun tertawa kembali.
Kali ini tawa kami lebih keras.
Namun, tak satupun orang di ruangan ini yang sepertinya terusik dengan tawa itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.27 sore saat aku dan Maya keluar dari ruang radiologi, melalui pintu di belakang yang langsung terhubung dengan ruang-ruang perawatan.
Tiba-tiba Maya menunjuk ke sebuah arah.
Aku melihat, seorang anak perempuan. Mungkin usianya sekitar 13 atau 14 tahun.
“Kamu deketin sana,” usul Maya.
“Eh, kan yang tuan rumah kamu, May,” kataku.
Maya menatap anak perempuan itu yang rupanya juag menatap kami.
Mereka saling berbalas senyum.
“Lagi pula selain kamu yang lebih tahu seluk beluk di sini, biasanya kalau perempuan dengan perempuan lebih cepet nyambung.”
Sesaat kemudian kami mendekati anak perempuan itu.
“Namanya siapa, Dik?” tanya Maya.
“Elly. Elly Oembarwati,” jawabnya.
“Yuk, ikut Kakak jalan-jalan.” Maya menggandeng tangan anak perempuan itu, mereka berjalan.
Aku masih berdiri.
Mataku menatap ke dalam ruangan yang pintunya terbuka itu.
Di sana ada tempat tidur dan sesosok tubuh yang dibalut kain putih. Aku tidak tahu siapa gerangan sosok itu, sebelum akhirnya kubaca kartu identitas yang menempel di tempat tidur. Walah kecil, samar-samar, dan dari kejauhan akan tetapi jelas sekali terbaca tulisan nama dari spidol hitam itu.. Elly Oembarwati, 13 Tahun.
Kemudian aku melirik papan nama ruangan di atas pintu. Ruang Jenazah.
Aku tersenyum.
Sesaat kemudian aku melangkah, mengikuti Maya yang menggandeng Elly Oembarwati.
Pasti Maya akan menunjukkan kepada anak perempuan itu seluruh pelosok di rumahs akit ini, batinku, seperti ia menunjukkan kepadaku lima sore yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H