“Cemburu ya?”
“Ih, siapa lagi.”
“Alah bilang aja iya.”
Wajah Maya terlihat tersipu malu.
“Kan cocok tu pembantu sama tukang potong rumput jadian.”
“Ngaco.” Tiba-tiba Maya meninju lenganku.
Kami pun tertawa kembali.
Kali ini tawa kami lebih keras.
Namun, tak satupun orang di ruangan ini yang sepertinya terusik dengan tawa itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.27 sore saat aku dan Maya keluar dari ruang radiologi, melalui pintu di belakang yang langsung terhubung dengan ruang-ruang perawatan.
Tiba-tiba Maya menunjuk ke sebuah arah.