"Komponen utama yang menurunkan daya beli yaitu tarif listrik yang semakin naik," ujarnya.
Kemudian Hanafi menyinggung soal data pemerintah. Katanya, tidak semua data pemerintah itu menampilkan fakta. Bahan ada ekonom yang mengatakan kalau ada kantor statistik hendak menyampaikan data soal kemiskinan, maka beras untuk rakyat miskin dibagi dulu. Baru setelah itu dilakukan survei.Â
"Kalau sudah begitu merasa miskin enggak? Jadi data itu sangat mungkin dimanipulasi untuk kepentingan elektroal lantas dianggap sebagai fakta. Itulah kenapa, mau banyak-banyakan data yang disampaikan pemerintah, tapi kalau rakyat tidak merasa nyambung datanya, percuma," katanya.
Hanafi menambahkan, Â kalau ada gerakan masyarakat yang sudah gerah dengan ekonomi dan hukum, kemudian menggumpal sebagai kekuatan alternatif untuk mendorong pemerintahan yang baru, maka ini menjadi hal yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Tapi sebagian orang yang merasa risih lantas melakukan label terhadap gerakan ini.Â
"Sekadar melabel bahwa orang-orang kita melakukan politisasi agama. Kalau ini caranya, mereka yang lakukan politisasi agama. Mereka risih kalau ada penggumpalan kekuatan yang akan mengganggu mereka. Ini yang mesti dicermati," ujarnya.
Jadi kata Hanafi, ada ketidaknyambungan, dimana masyarakat  sudah gerah dengan kondisi ekonomi yang kian sulit, serta tak percaya dengan data. Tak hanya itu,  hukum yang ditegakkan dengan adil tak hadir. Semua dikapitalisasi demi  kepentingan elektoral oleh kubu rival Prabowo.
 "Padahal ini tak ada urusannya dengan kepentingan elektroal. Kita ingin hukum tegak, adil, sejahterakan bangsa ini, bukan bangsa lain," katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H