Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Kata Ketua Seknas Prabowo: Sudah Saatnya Kepala Negara Diganti

19 Februari 2019   22:15 Diperbarui: 19 Februari 2019   22:57 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekretariat Nasional Prabowo-Sandiaga kembali menggelar diskusi rutinnya bertajuk, " Topic of The Week,". Kali ini tema yang diangkat dalam diskusi Topic of The Week adalah, " Politik Agama Era Jokowi." 

Empat tokoh dihadirkan sebagai narasumber. Empat tokoh yang jadi pembicara adalah Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR, Hanafi Rais, Anggota DPR RI Fraksi PAN, Teuku Nasrullah, pengamat hukum, dan  Bernardus Abdul Jabbar, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni 212.

Dalam paparannya saat jadi pembicara diskusi, Wakil Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Dewan Penasihat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Hidayat Nur Wahid mengatakan, politisasi  agama dilakukan oleh kelompok-kelompok sekuler yang karena kepentingan politik seolah-olah jadi agamis. Dan, yang menarik adalah posisi Indonesia. Kata Nur Hidayat, Indonesia adalah negara unik.  Indonesia bukan negara sekuler. Negara agama juga bukan.

"Jadi engara apa dong? Negara yang bukan-bukan. Karena jelas dikatakan negara berdasarkan Tuhan yang Maha Esa. Inilah Indonesia kita," katanya di kantor Seknas Prabowo-Sandiaga, di Jakarta, Selasa (19/2).

Karenanya dalam konteks ini lanjut Nur Hidayat, MPRS mengeluarkan TAP yang masih berlaku sampai hari ini. Ketetapan majelis itu menegaskan bahwa  kelompok anti agama yakni marxisme, lenisme adalah kelompok atau paham  terlarang di seluruh daerah hukum di Indonesia. Jadi Indonesia telah  menyatakan bukan negara agama, dan bukan negara yang  anti agama.

"Politisasi agama itu, agama dijadikan mainan politik yang ujungnya agama tidak dihormati, tapi menjadi bulan-bulanan politik. Hari ini ramai orang joget-joget di atas sajadah. Itu jelas pelecahan terhadap agama," katanya.

Namun yang membuat dirinya masygul, ada yang jelas dan transparan menghina agama dan itu sudah dilaporkan bahkan berkali-kali, semua tidak ada tindak lanjutnya. Ia makin masygul, ketika agama dijadikan alat politik. Ia contohkan, ketika ada lomba baca Al Qur'an untuk capres. Baginya, agama sudah dijadikan alat kepentingan politik. 

Ia sendiri sebenarnya tak mempermasalahkan itu jika memang ada yang ingin mengetes calon pemimpinnya. Hanya saja, semua harus dilakukan dengan jujur. Jangan semata demi kosmetika politik. Karena yang lebih penting itu adalah tindakan atau perbuatan seseorang, apakah agamis atau sesuai ajaran agama tidak.

"Kalau seseorang kelompok masyarakat caleg, calon kepala daerah, capres, karena ingin mendapatkan suara dari umat Islam lalu tampilkan diri seolah-olah agamis, harusnya dihadirkan dalam perilaku, dalam kebijakan. Harus adil," katanya.

Dan bicara keadilan ini, menurut Nur Hidayat sangat penting.  Karena keadilan ini sekarang jadi pertanyaan publik. Masyarakat sekarang jelas merasakan, misalmya bagaimana orang di Sumut dengan mudah ditangkap polisi, karena dia mengunggah foto seorang kyai pakai atribut sinterklas.

"Kita memang menolak kyai dikasih atribut sinterklas. Tapi kalau itu dilakukan penangkapan, harusnya sudah beberapa tahun sebelumnya, kiai Arifin Ilham, Habib Rizieq, itu juga dipakaikan atribut sinterklas. Ada prosesnya? Tak ada sama sekali," kata Nur Hidayat.

Nur Hidayat juga sempat menyinggung soal lahan yang dikuasai perusahaan Prabowo yang diungkap Jokowi dalam debat capres kemarin. Kata politisi PKS itu,  faktanya lahan tersebut bukan punya Prabowo. Tapi itu tanah HGU yang diperoleh dengan mekanisme hukum legal. Dan sepanjang Jokowi memimpin, soal lahan itu sudah disampaikan Prabowo.

"Kenapa dijadikan masalah ketika perdebatan? Ini bukan mencerahkan, karena beliau tidak berani buka tanah-tanah banyak kroni-kroni beliau (Jokowi)," katanya.

Apalagi kata Nur Hidayat,  penegasan Jokowi yang menyatakan tidak takut siapa pun, kecuali kepada Allah SWT. Pernyataan ini baik dan harus. Jadi, kalau  memang hanya takut kepada Allah, harus betul-betul  mengesampingkan kepentingan politik,  mengutamakan kepentingan rakyat dan  memajukan ekonomi.

"Tapi kalau ini tidak terwujud, orang akan bertanya, benarkah takut kepada Allah? Kalau agama jadi mainan, ini harus dihindari. Salah satu politisasi agama melahirkan pelecehan terhadap tokoh-tokoh agama, krimlinasliasi ulama, dipersekusi. Kalau Anda seorang politisi, anggota dewan, capres, anda selama ini jalankan ajaran agama sepanjang waktu, sekalipun anda politisi, itu bukan politisasi agama," katanya.

Jangan sampai kata Nur Hidayat,  umat Islam takut menjalankan ajaran agama. Atau takut disebut politisasi agama. Karena politisasi agama itu mereka yang melaksanakan ajaran agama untuk tujuan jangka pendek, dan kepentingan politik. Agama justru yang harus membingkai kehidupan.  Sehingga politik  punya nilai keluhuran. Memberikan solusi, mementingkan keadilan, kesejahteraan dan akhlak mulia.

"Kalau itu kita lakukan siapapun kita maka Insya Allah kita berada pada jalan yang sebenarnya," katanya.

Sementara itu, saat membuka diskusi Ketua Sekretariat Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, M Taufik mengaku prihatin dengar isu yang saat ini berkembang, bahwa saat debat  ada yang gunakan alat bantu dengar. Kalau itu benar, itu pertanda tidak baik.  " Mudah-mudahan itu tidak benar," ujarnya.

Taufik juga mengkritik data-data yang dibeberkan Jokowi dalam debat. Karena ada beberapa data yang salah atau keliru. Kalau data keliru, apa bedanya dengan hoak. " Dengan data yang kemarin disampaikan saat debat, sangat tidak akurat, tidak valid," kata Taufik.

Karena itu, kata dia, sudah saatnya kepala negara diganti. Pemimpin yang memberikan data sebenar-benarnya itu yang harus memimpin negara. Taufik juga menyinggung soal kasus yang menimpa Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212, Slamet Ma'arif.

"Kita juga prihatin atas saudara kita Pak Slamet Maarif yang sedang sakit. Enggak jelas kenapa mesti dipanggil. Saya kira ini untuk kesekian kalinya dilakukan oleh para ulama dalam pemerintahan sekarang," katanya.

Ia minta, hentikan cara-cara yang menurutnya itu adalah bentuk kriminalisasi.  Jangan lupa sisa waktu tidak lama lagi. Mari bergerak memenangkan Prabowo-Sandi," katanya.

Sedangkan, Bernardus Abdul Jabbar,
Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni 212 dalam paparannya, mengatakan politik dalam Islam itu adalah satu keniscayaan. Sebab itu adalah bagian daripada ajaran agama Islam. Pun dalam agama Katolik yang sempat dianutnya sebelum masuk Islam.

"Kami pun diajarkan bagaimana berpolitik. Islam pun lebih mengajarkan politik. Jadi, antara agama dan politik tidak bisa dipisahkan," katanya.

Bernardus Abdul Jabbar, kemudian bercerita tentang kasus Slamet Ma'arif. Katanya, ia selalu mengawal proses hukum yang menimpa Ketua Persaudaraan Alumni 212. Kemarin, Slamet Ma'arif, tak bisa diperiksa, karena kesehatannya menurun. Berbekal surat dari dokter, ia pun memberitahu pihak Polda Jawa Tengah, bahwa Slamet Ma'arif belum bisa hadir untuk diperiksa. Dan minta di jadwal ulang. Tapi betapa kagetnya dia, penyidik justru mengatakan tak ada jadwal pemeriksaan.

"Mereka sendiri enggak tahu kalau hari itu ada penyidikan terhadap tersangka Ustad Slamet Ma'arif. Ini artinya apa? Ini bagian dari kriminalasi ulama oleh rezim yang tidak suka dengan kami. Berapa banyak teman-teman kami lakukan pembelaan? Tapi karena mungkin ini ada pesanan, agar kantong-kantong umat Islam yang dikoordinir PA 212 akan hilang. Mereka gunakan cara-cara luar biasa. Kita harus menolak adanya politisasi agama yang terjadi di negeri kita ini," katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang juga  Sekretaris BPN Prabowo-Sandi, Hanafi Rais mengatakan ketika muncul gerakan 411 dan 212, lantas ada reuni, sebenarnya tidak ada sama sekali niat untuk mendorong atau membawa identitas agama dalam politik. Karena ia hadir misalnya di peristiwa demo 212.

"Yang ada embrio ini semangat untuk menegakkan hukum. Karena ada gubernur menista agama, menyalahi UU, tapi seolah-olah diduga kuat mau dilindungi supaya tidak dibawa ke ranah hukum, dimaafkan, tapi sejatinya melarikan diri dari kenyataan hukum," katanya.

Tapi karena ada semangat roh penegakan hukum dari komunitas 212, lanjut Hanafi,  akhirnya hukum bisa ditegakkan. Yang menista agama bisa di bawa  ranah hukum, dan dipenjara.

"Tetapi kemudian, ini ada kandidat presiden yang tadi itu. Selama ini atau pernah juga mengatakan bahwa agama dan politik harus dipisahkan. Tapi sekarang mengambil cara-cara politik dengan politisasi agama, bahkan mengkriminalisasi ulama," katanya.

Kriminalisasi kata Hanafi, sangat terasa sekarang. Ia contohkan, orang-orang yang mau beribadah, lantas diidentifikasi radikal, teroris. Atau mengidentifikasi tanpa verifikasi jelas, masjid-masjid dituding sumber radikalisme. Diperparah dengan kondisi ekonomi yang membuat masyarakat secara umum kian sulit.

" Saya pernah katakan, munculnya gerakan 212, itu karena ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan kondisi ekonomi masyarakat yang susah," kata Hanafi.

Kemudian, kata Hanafi, ia  juga melihat  ekonomi yang semakin terbuka.  Kata dia, itu  membawa dampak kepada masyarakat. Daya beli masyarakat makin menurun. Bahkan katanya, setiap ia turun ke simpul-simpul masyarakat di Jateng, masyarakat banyak yang mengeluh.

"Komponen utama yang menurunkan daya beli yaitu tarif listrik yang semakin naik," ujarnya.

Kemudian Hanafi menyinggung soal data pemerintah. Katanya, tidak semua data pemerintah itu menampilkan fakta. Bahan ada ekonom yang mengatakan kalau ada kantor statistik hendak menyampaikan data soal kemiskinan, maka beras untuk rakyat miskin dibagi dulu. Baru setelah itu dilakukan survei. 

"Kalau sudah begitu merasa miskin enggak? Jadi data itu sangat mungkin dimanipulasi untuk kepentingan elektroal lantas dianggap sebagai fakta. Itulah kenapa, mau banyak-banyakan data yang disampaikan pemerintah, tapi kalau rakyat tidak merasa nyambung datanya, percuma," katanya.

Hanafi menambahkan,  kalau ada gerakan masyarakat yang sudah gerah dengan ekonomi dan hukum, kemudian menggumpal sebagai kekuatan alternatif untuk mendorong pemerintahan yang baru, maka ini menjadi hal yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Tapi sebagian orang yang merasa risih lantas melakukan label terhadap gerakan ini. 

"Sekadar melabel bahwa orang-orang kita melakukan politisasi agama. Kalau ini caranya, mereka yang lakukan politisasi agama. Mereka risih kalau ada penggumpalan kekuatan yang akan mengganggu mereka. Ini yang mesti dicermati," ujarnya.

Jadi kata Hanafi, ada ketidaknyambungan, dimana masyarakat  sudah gerah dengan kondisi ekonomi yang kian sulit, serta tak percaya dengan data. Tak hanya itu,   hukum yang ditegakkan dengan adil tak hadir. Semua dikapitalisasi demi  kepentingan elektoral oleh kubu rival Prabowo.

 "Padahal ini tak ada urusannya dengan kepentingan elektroal. Kita ingin hukum tegak, adil, sejahterakan bangsa ini, bukan bangsa lain," katanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun