Sekretariat Nasional Prabowo-Sandiaga kembali menggelar diskusi rutinnya bertajuk, " Topic of The Week,". Kali ini tema yang diangkat dalam diskusi Topic of The Week adalah, " Politik Agama Era Jokowi."Â
Empat tokoh dihadirkan sebagai narasumber. Empat tokoh yang jadi pembicara adalah Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR, Hanafi Rais, Anggota DPR RI Fraksi PAN, Teuku Nasrullah, pengamat hukum, dan  Bernardus Abdul Jabbar, Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni 212.
Dalam paparannya saat jadi pembicara diskusi, Wakil Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Dewan Penasihat Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi Hidayat Nur Wahid mengatakan, politisasi  agama dilakukan oleh kelompok-kelompok sekuler yang karena kepentingan politik seolah-olah jadi agamis. Dan, yang menarik adalah posisi Indonesia. Kata Nur Hidayat, Indonesia adalah negara unik.  Indonesia bukan negara sekuler. Negara agama juga bukan.
"Jadi engara apa dong? Negara yang bukan-bukan. Karena jelas dikatakan negara berdasarkan Tuhan yang Maha Esa. Inilah Indonesia kita," katanya di kantor Seknas Prabowo-Sandiaga, di Jakarta, Selasa (19/2).
Karenanya dalam konteks ini lanjut Nur Hidayat, MPRS mengeluarkan TAP yang masih berlaku sampai hari ini. Ketetapan majelis itu menegaskan bahwa  kelompok anti agama yakni marxisme, lenisme adalah kelompok atau paham  terlarang di seluruh daerah hukum di Indonesia. Jadi Indonesia telah  menyatakan bukan negara agama, dan bukan negara yang  anti agama.
"Politisasi agama itu, agama dijadikan mainan politik yang ujungnya agama tidak dihormati, tapi menjadi bulan-bulanan politik. Hari ini ramai orang joget-joget di atas sajadah. Itu jelas pelecahan terhadap agama," katanya.
Namun yang membuat dirinya masygul, ada yang jelas dan transparan menghina agama dan itu sudah dilaporkan bahkan berkali-kali, semua tidak ada tindak lanjutnya. Ia makin masygul, ketika agama dijadikan alat politik. Ia contohkan, ketika ada lomba baca Al Qur'an untuk capres. Baginya, agama sudah dijadikan alat kepentingan politik.Â
Ia sendiri sebenarnya tak mempermasalahkan itu jika memang ada yang ingin mengetes calon pemimpinnya. Hanya saja, semua harus dilakukan dengan jujur. Jangan semata demi kosmetika politik. Karena yang lebih penting itu adalah tindakan atau perbuatan seseorang, apakah agamis atau sesuai ajaran agama tidak.
"Kalau seseorang kelompok masyarakat caleg, calon kepala daerah, capres, karena ingin mendapatkan suara dari umat Islam lalu tampilkan diri seolah-olah agamis, harusnya dihadirkan dalam perilaku, dalam kebijakan. Harus adil," katanya.
Dan bicara keadilan ini, menurut Nur Hidayat sangat penting. Â Karena keadilan ini sekarang jadi pertanyaan publik. Masyarakat sekarang jelas merasakan, misalmya bagaimana orang di Sumut dengan mudah ditangkap polisi, karena dia mengunggah foto seorang kyai pakai atribut sinterklas.
"Kita memang menolak kyai dikasih atribut sinterklas. Tapi kalau itu dilakukan penangkapan, harusnya sudah beberapa tahun sebelumnya, kiai Arifin Ilham, Habib Rizieq, itu juga dipakaikan atribut sinterklas. Ada prosesnya? Tak ada sama sekali," kata Nur Hidayat.