Dalam Islam, utang piutang merupakan bagian dari aktivitas mu'amalah, hubungan transaksional antara satu pihak dengan pihak lainnya. Di mana dengan adanya aktivitas ini seseorang akan menyelenggarakan akad tolong menolong (ta'awun) untuk meringankan beban hidup dari saudaranya melalui pinjaman uang.
Begitu kompleksnya transaksi utang piutang ini sehingga ia diterangkan secara khusus dalam sebuah ayat yang paling panjang di dalam Al-Qur'an, yakni QS Al-Baqarah 282. Dan itu pun masih ditambah dengan penjelasan ekstranya dalam QS Al-Baqarah 283.
Jika kita menelaah lebih lanjut mengenai pembahasan yang terkandung pada ayat tersebut, maka kita pun akan menemukan panduan tentang ihwal utang piutang ini. Apa sajakah itu? Yuk, kita ulas satu per satu.Â
Pertama, Utang piutang haruslah memiliki waktu pelunasan yang jelas
Dalam transaksi utang piutang harus ada kepastian kapan utang itu akan dilunasi, sebab hal ini berkaitan dengan perencanaan keuangan kedua belah pihak, yakni pihak pemberi pinjaman maupun pihak peminjam.Â
Pihak pemberi pinjaman (debitur) kiranya dapat merencanakan apakah dengan sekian lamanya waktu pembayaran itu ia masih memiliki anggaran lainnya yang dapat digunakan, sehingga ia sendiri tidak akan kekurangan selama utang tersebut masih belum dibayarkan.Â
Sementara itu, bagi pihak yang berutang pun dengan adanya kepastian waktu ini kiranya ia dapat membuat perencanaan yang matang mengenai kapan ia akan mengembalikan pinjamannya itu, baik dengan cara diangsur maupun dengan cara kontan.Â
Sepatutnya, pelunasan utang itu adalah disegerakan, sebab nilai waktu dari uang, khususnya rupiah, cenderung mengalami penurunan dari waktu ke waktu, jika dibandingkan dengan valuasi dolar.Â
Jika masa pelunasan utang ini terlalu lama, tentu hal ini akan menimbulkan kerugian tersendiri bagi pihak pemberi pinjaman sebab daya beli uang akan semakin turun dari waktu ke waktu.
Kedua, Pentingnya mencatat transaksi utang piutang
Pencatatan transaksi utang piutang ini berfungsi sebagai pengingat agar pihak yang terlibat di dalamnya (debitur maupun kreditur) tidak lupa dengan nominal, waktu peminjaman, dan waktu pelunasan yang telah disepakati sebelumnya.
Sebab, manakala mereka lupa dengan transaksi tersebut mereka dapat merujuk pada catatan yang telah dibuat sebelumnya. Catatan inilah dokumen penting yang akan merekam proses transaksi utang piutang yang terjadi dari waktu ke waktu.Â
Pencatatan utang ini hendaknya dibuat oleh seseorang atau pihak yang dapat menuliskannya secara jujur dan adil. Kejujuran ini diwujudkan dengan adanya transparansi atas setiap detail utang piutang. Baik itu kapan terjadinya, berapa nominalnya, maupun pihak yang berkaitan di dalamnya.Â
Manakala frekuensi utang itu sering atau nominal hutang itu nilainya relatif besar, maka catatan ini akan semakin berguna untuk membantu ingatan dari pihak yang terlibat di dalamnya.Â
Sedangkan keadilan yang dimaksud di sini adalah hendaknya pihak yang mencatat transaksi utang piutang itu adalah seseorang yang juga dapat berperan sebagai pihak yang mampu menawarkan solusi manakala utang tersebut mengalami penundaan pembayaran atau bahkan mengalami kegagalan pembayaran. Hal ini sangat penting untuk melindungi pihak yang berutang maupun yang menghutangi.Â
Pihak yang berhutang akan merasa lega sebab adanya keterbukaan atau transparansi atas nilai utang mereka. Dan selain itu mereka juga mendapatkan tawaran solusi manakala sedang sulit untuk melunasinya.Â
Sedangkan bagi pihak pemberi pinjaman juga akan mendapatkan ketenangan mengenai kepastian pengembalian pinjaman itu beserta perkiraan nilainya di masa yang akan datang dengan membandingkannya terhadap risiko inflasi dan bukan dengan faktor bunga (riba).
Berkaca dari kasus faktual yang telah dialami oleh keluarga saya sendiri yang pernah memberi pinjaman senilai Rp10.000 pada tahun pada tahun 1990 silam. Dan utang itu pun belum dikembalikan hingga artikel ini saya tulis di masa sekarang.Â
Saat pinjaman itu diberikan, harga emas yang berkadar 70 persen harganya masih di kisaran Rp12.000 per gram-nya. Dan sekarang, harganya sudah menyentuh nilai Rp700.000 per gram-nya. Sehingga, jika dikonversi dengan nilai yang sekarang mungkin saja nilai utang itu setara dengan Rp 583 ribu (Rp10.000 : Rp12.000 x Rp700.000).
Perhitungan semacam inilah yang harus diperhatikan oleh pihak yang berhutang maupun pencatatnya agar kelak tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya, yakni terutama bagi pihak pemberi pinjaman. Sebab, dengan mengacu pada kasus keluarga saya itu, kita tahu sendiri, bahwa tidak mungkin nilai mata uang Rp10.000 pada waktu 30 tahun silam itu nilainya masih sama dengan uang Rp10.000 di masa sekarang.Â
Keadilan untuk menentukan nilai riil mata uang inilah yang harus diperhatikan dan ditentukan secara adil, sehingga manakala utang itu mengalami penundaan pembayaran dalam waktu yang sangat lama, tidak akan menimbulkan kerugian bagi pihak pemberi pinjaman.
Ketiga, Berapapun nilai utang itu, mencatatnya bukanlah sebuah kehinaan
Mungkin saja, ada diantara pihak yang merasa gengsi atau malu-malu kucing saat mencatat utang yang nilainya relatif kecil. Padahal kita pun tahu, jika nilai yang kecil itu dibiarkan terus terjadi dalam waktu yang lama, nilainya bisa jadi membengkak.Â
Oleh sebab itu, sekecil apapun nilai utang itu penting untuk dicatat. Tidak perlu merasa malu, ragu, apalagi gengsi. Sebab dengan adanya catatan itu akan terekam semua rincian utang yang pernah terjadi di waktu tertentu, sekecil apapun nilainya, apa saja jenis barangnya, siapa pihak peminjamnya, dan berapa jumlah yang telah dibaayarkan. Itulah fungsi catatan atas transaksi utang piutang.Â
Keempat, Pentingnya melibatkan saksi untuk transaksi utang piutang
Fungsi pokok dari adanya saksi dalam transaksi utang piutang adalah untuk menilai keabsahan transaksi pinjam meminjam, sekaligus sebagai pengingat manakala ada salah satu pihak (debitur maupun kreditur) ada yang lupa dengan transaksi pinjam meminjam yang pernah dilakukan.Â
Keberadaan saksi dalam transaksi utang piutang itu juga dapat memperkuat status dana pinjaman yang berasal dari pihak debitur, sekaligus juga dapat dijadikan sebagai upaya untuk melindungi peminjam dari potensi penipuan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman.Â
Bisa saja, untuk kasus tertentu, ada seorang debitur yang tidak jujur, karena tidak ada saksi pada saat transaksi pinjam meminjam itu terjadi. Sebab tidak adanya saksi inilah, kemudian pihak debitur mengada-adakan transaksi pinjaman yang sebenarnya tidak ada demi meraup keuntungan. Hal inilah yang seharusnya dapat dicegah dengan hadirnya dua orang saksi.Â
Namun, dalam praktiknya, biasanya kehadiran dua orang saksi ini hanya diperuntukkan untuk transaksi yang nilainya relatif besar. Sementara untuk transaksi yang nominalnya relatif kecil, cukup diperkuat dengan catatan utang yang dapat dipahami oleh pihak pemberi pinjaman maupun pihak peminjam.
Kelima, Pentingnya garansi atau agunan untuk mengantisipasi utang yang gagal bayar
Untuk mengantisipasi adanya utang yang tidak tertagih akibat gagal bayar, maka seseorang dapat menguatkan status pinjamannya itu melalui penerimaan barang jaminan. Barang jaminan inilah yang biasanya akrab dikenal dengan istilah agunan dalam lembaga keuangan. Fungsi dari agunan ini adalah sebagai aset jaminan yang dapat diuangkan sewaktu-waktu, terutama pada saat peminjam mengalami gagal  bayar.Â
Nilai pinjaman yang sehat adalah yang jumlahnya lebih kecil dari taksiran agunannya. Sebab, di sini pihak debitur akan dapat menghindari potensi kerugian yang disebabkan turunnya nilai aset yang dijaminkan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, kecuali aset yang dijaminkan itu berupa harta  yang nilainya cenderung berkembang, seperti emas dan tanah.Â
Hal semacam inilah yang biasa dipraktikkan oleh lembaga keuangan pada saat menggunakan agunan dari para kreditur mereka, sekaligus sebagai upaya bagi mereka agar terhindar dari kerugian.Â
Keenam, Penundaan waktu pelunasan utang
Seringkali kita mendapati seseorang yang berhutang itu tidak mampu melunasinya dengan tepat waktu. Dan, sebenarnya untuk alasannya pun kita maklum.Â
Namanya juga orang yang sedang butuh uang dan kita pun tahu bahwa rezeki seseorang tidak ada yang mampu memperkirakan secara persis kapan ia akan datang. Sehingga manakala hal ini terjadi maka tidak jarang mereka pun akan minta penangguhan. Mereka meminta supaya diberikan kelonggaran waktu untuk melunasi hutangnya itu beberapa saat lagi.Â
Dan dengan mengabulkan permintaan mereka ini, berarti seseorang juga telah membantu meringankan nafas perekonomian sebuah keluarga. Nafas yang mungkin saja sedang terengah-engah dan kadang tersengal sebab memikul beratnya tagihan kebutuhan keluarga mereka.Â
Ketujuh, Begitu mulianya penghapusan utang bagi mereka yang tidak mampu melunasinya
Sebuah langkah bijak bagi kita untuk anggota keluarga, tetangga, atau kolega yang tampaknya tidak mampu untuk melunasi hutangnya lagi adalah dengan merelakannya. Membiarkan utang itu tidak dibayar oleh mereka sebab tidak ada lagi ihwal yang dapat diharapkan dari mereka untuk membayarnya.
Bisnis telah bangkrut, rumah dan tanah telah terjual, dan bahkan mungkin, orang yang berhutang pun telah meninggal, tanpa mewariskan harta dan keluarga yang akan menutup utang-utangnya itu. Maka untuk kondisi yang teramat pelik ini, tiada jalan lain yang paling realistis untuk dilakukan kecuali dengan membebaskan utang mereka.Â
Bagi pihak yang merasa sulit untuk menempuh jalan ini--sebagaimana kesulitan yang dirasakan oleh hampir semua orang, biasanya mereka tidak akan merelakan upaya pembebasan utang ini begitu saja. Apalagi jika utang tersebut nilainya melimpah, pastinya, meskipun tidak dilakukan secara terang-terangan, mereka akan menuntut keadilan pada Tuhan untuk menyelesaikan urusan ini di kemudian hari.Â
Untuk itulah, karena kasus utang piutang ini adalah perihal yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan seseorang, maka harus dipahami betul oleh pihak yang menjalaninya.Â
Bagi pihak peminjam yang merasa sudah punya cukup rezeki untuk melunasinya, maka sebaiknya ia lekas melunasinya. Sebab dengan menunda pembayaran sementara ia sebenarnya telah mampu untuk menunaikannya adalah bentuk kezaliman baginya atas pihak yang memberi utang.Â
Bagi pemberi pinjaman yang merasa memiliki cukup rezeki, maka alangkah baiknya jika memberikan waktu penangguhan pelunasan pada kreditur saat ia belum mampu untuk membayarnya pada waktu yang ditentukan.Â
Bahkan, jika perlu, dan ia pun mampu--tidak terganggu stabilitas perekonomian keluarganya, maka membebaskan utangnya adalah pilihan yang terbaik, jika memang tidak ada harapan lagi bagi si peminjam itu untuk melunasinya.
Namun, mungkin saja, upaya ini akan terasa sangat berat untuk dilakukan, sebab diantara predikat kebaikan itu memang tidaklah hanya tersemat bagi mereka yang menghadapkan wajahnya ke arah timur dan barat saja, akan tetapi juga bagi mereka yang mau memberi dari apa yang mereka miliki dan mereka sukai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H