Sebab, manakala mereka lupa dengan transaksi tersebut mereka dapat merujuk pada catatan yang telah dibuat sebelumnya. Catatan inilah dokumen penting yang akan merekam proses transaksi utang piutang yang terjadi dari waktu ke waktu.Â
Pencatatan utang ini hendaknya dibuat oleh seseorang atau pihak yang dapat menuliskannya secara jujur dan adil. Kejujuran ini diwujudkan dengan adanya transparansi atas setiap detail utang piutang. Baik itu kapan terjadinya, berapa nominalnya, maupun pihak yang berkaitan di dalamnya.Â
Manakala frekuensi utang itu sering atau nominal hutang itu nilainya relatif besar, maka catatan ini akan semakin berguna untuk membantu ingatan dari pihak yang terlibat di dalamnya.Â
Sedangkan keadilan yang dimaksud di sini adalah hendaknya pihak yang mencatat transaksi utang piutang itu adalah seseorang yang juga dapat berperan sebagai pihak yang mampu menawarkan solusi manakala utang tersebut mengalami penundaan pembayaran atau bahkan mengalami kegagalan pembayaran. Hal ini sangat penting untuk melindungi pihak yang berutang maupun yang menghutangi.Â
Pihak yang berhutang akan merasa lega sebab adanya keterbukaan atau transparansi atas nilai utang mereka. Dan selain itu mereka juga mendapatkan tawaran solusi manakala sedang sulit untuk melunasinya.Â
Sedangkan bagi pihak pemberi pinjaman juga akan mendapatkan ketenangan mengenai kepastian pengembalian pinjaman itu beserta perkiraan nilainya di masa yang akan datang dengan membandingkannya terhadap risiko inflasi dan bukan dengan faktor bunga (riba).
Berkaca dari kasus faktual yang telah dialami oleh keluarga saya sendiri yang pernah memberi pinjaman senilai Rp10.000 pada tahun pada tahun 1990 silam. Dan utang itu pun belum dikembalikan hingga artikel ini saya tulis di masa sekarang.Â
Saat pinjaman itu diberikan, harga emas yang berkadar 70 persen harganya masih di kisaran Rp12.000 per gram-nya. Dan sekarang, harganya sudah menyentuh nilai Rp700.000 per gram-nya. Sehingga, jika dikonversi dengan nilai yang sekarang mungkin saja nilai utang itu setara dengan Rp 583 ribu (Rp10.000 : Rp12.000 x Rp700.000).
Perhitungan semacam inilah yang harus diperhatikan oleh pihak yang berhutang maupun pencatatnya agar kelak tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya, yakni terutama bagi pihak pemberi pinjaman. Sebab, dengan mengacu pada kasus keluarga saya itu, kita tahu sendiri, bahwa tidak mungkin nilai mata uang Rp10.000 pada waktu 30 tahun silam itu nilainya masih sama dengan uang Rp10.000 di masa sekarang.Â
Keadilan untuk menentukan nilai riil mata uang inilah yang harus diperhatikan dan ditentukan secara adil, sehingga manakala utang itu mengalami penundaan pembayaran dalam waktu yang sangat lama, tidak akan menimbulkan kerugian bagi pihak pemberi pinjaman.
Ketiga, Berapapun nilai utang itu, mencatatnya bukanlah sebuah kehinaan