Mohon tunggu...
Kang Acep Pendongeng
Kang Acep Pendongeng Mohon Tunggu... Seniman - Pendongeng Profesional yang inspiratif

Seorang pendongeng profesional yang kerap mengisi workshop dongeng di berbagai kota. Kini tergabung di Rumah Dongeng Indonesia, Nusantara Bertutur, GEPPUK (Gerakan Para Pendongeng untuk Kemanusiaan) dan Lesbumi NU. Selain mendongeng, ia telah menulis buku-buku pendidikan dan beberapa karya dongengnya dimuat di SKH Kompas Minggu

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Jam 12 Malam

4 Juni 2024   10:50 Diperbarui: 4 Juni 2024   11:00 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam Dua Belas Malam

Oleh Acep Yonny

 

 

Lonceng jam berdenting sebelas kali. Aku masih duduk di ruang tengah, sendiri. Teman-temanku sedang mengikuti acara wayang kulit di rumah Pak Lurah. Rencana kami tinggal di dusun Girirejo selama tiga bulan mengikuti program KKN UGM. Bersama tujuh orang dari berbagai fakultas, kami menempati rumah Pak Dukuh.

Ruangan rumah Pak Dukuh cukup luas dengan langit-langitnya yang tinggi. Khas bangunan Belanda tempo dulu. Waktu itu tahun 1995, suasana dusun Girirejo masih sepi. Selepas isya, suasana serasa di hutan, terlebih lagi penerangan lampu jalan yang masih terbatas. Jarak antartetangga cukup jauh karena rata-rata rumah di dusun ini memiliki pekarangan yang luas. Setiap pekarangan rata-rata di tanami pohon kepel, rambutan, kluwih, dan mangga.

Sudah dua minggu kami tinggal di sini. Tak ada kejadian apa pun yang sebagaimana diceritakan penduduk kampung. Tak ada penampakan, suara rintihan perempuan, dan bau kembang. Ini semakin menguatkan hipotesisku bahwa penampakan hanyalah halusinasi akibat terlalu percaya dengan cerita tahayul.

Sejujurnya aku suka tinggal di sini. Aku suka rumah yang luas, bersih, dan fasilitasnya juga lengkap. Namun, anehnya kenapa Pak Dukuh tidak tinggal di sini. Beliau memilih tinggal di rumahnya yang berada di pinggir jalan. Entah karena akses jalan mobil atau alasan tertentu, aku belum berani mengorek lebih jauh.

Malam itu aku duduk sendiri di ruang tengah. Aku memilih jaga rumah daripada menonton wayang kulit. Aku harus menyelesaikan laporan KKN. Jika tidak dicicil maka tugasnya akan menumpuk. Jadi kuusahakan setiap minggu kubuat laporan.

 Malam semakin larut. Pekerjaanku belum usai. Waktu itu belum ada laptop. Komputer masih menjadi barang mahal. Mengoperasikannya tentu tidak semudah komputer saat ini. Jadi, mesin tiklah andalan kami. Harga terjangkau, tidak memerlukan listrik, tetapi sayangnya kurang praktis. Tidak mudah menghapus tulisan. Oleh karena itu, mengetik laporan perlu kesabaran dan keterampilan mengetik.

Pada saat aku berkutat dengan mesin tik itulah, aku  mulai merasakan sesuatu yang aneh. Awalnya aku mengira suara kucing mengasah kuku. Namun, tak ada kucing di sekitarku. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang. Suara itu langsung hilang. Anehnya saat aku mulai mengetik, suara itu kembali muncul. Bahkan, diikuti suara buku yang dibuka, kursi yang digeser, dan suara derit pintu.

Perasaanku makin tak tenang. Ini halusinasi atau nyata. Belum sempat kutemukan jawaban yang pasti, aku mendengar suara langkah kaki yang diseret dan ketukan tongkat. Langkah kaki itu makin terdengar jelas.

Kraaak!

Pintu dibuka. Aku hampir berteriak. Joko melongokkan kepalanya.

"Belum tidur, Mas?"

Joko tetangga rumah Pak Dukuh. Usianya masih tiga puluhan. Sebulan yang lalu ia kecelakaan sehingga harus memakai tongkat.

"Iya, terpaksa lembur." sahutku senang mendapat teman.

"Sebaiknya jam dua belas masuk kamar, tidur!"

Aku kaget dengan nadanya yang sedikit tinggi. Tidak biasanya ia berkata seperti itu kepadaku. Aku mengenalnya cukup dekat. Kami biasa bercanda.

"Kenapa nggak boleh lebih dari jam dua belas?" tanyaku penasaran.

Joko tidak menjawab. Ia pergi meninggalkanku sendiri.

Sebenarnya aku masih penasaran. Namun, lain waktu kutanyakan. Aku harus fokus pada pekerjaan. Tinggal dua kegiatan yang perlu kutulis.  

Sepeninggal Joko, tak ada lagi terdengar suara-suara yang menganggu. Aku lebih  bisa fokus bekerja hingga terdengar jam berdenting dua belas kali. Nah, tepat, pada jam dua belas malam, tercium bau kembang kantil yang menyengat.

"Sebentar lagi pesta akan dimulai. Masuklah kamar!"

Suaranya terdengar jelas. Suara perempuan tua dengan nada parau dan mengancam. Suara tanpa rupa itu membuat bulu kudukku berdiri. Jantungku berdegup tidak karuan. Kutepuk pipiku untuk memastikan kalau aku tidak sedang melamun.

Pesta? Pesta apa malam-malam begini? Tanpa berpikir panjang, aku segera beranjak ke kamar yang berukuran 4x5 m. Namun, baru sampai pintu kamar, aku mendengar suara orang-orang mengobrol di teras rumah. Celetukannya tidak terdengar jelas, saling menimpali. Suaranya mirip anak-anak bule. Ah, ya, sepertinya itu bahasa Belanda. Aku sedikit paham bahasanya karena saat kuliah pernah ikut mata kuliah bahasa Belanda meski hanya dua sks.

Lalu, kenapa malam-malam ada bule nyasar ke mari? Apa mungkin saudara-saudaranya Pak Dukuh datang. Konon, yang pernah kudengar dari pemuda kampung, istri Pak Dukuh masih keturunan Belanda, entah keturunan yang ke berapa.

Aku jadi teringat cerita Mbah Mitro.

"Waktu zaman pendudukan Jepang, banyak orang Belanda yang tinggal di sini dipaksa pulang ke negara asalnya, padahal banyak orang Belanda yang sudah beranak pinak di sini. Sejak lahir tinggal di sini, dan mungkin di negeri asalnya mereka tidak punya saudara dan tempat tinggal lagi," cerita Mbah Mitro sambil menerawang pada kejadian masa lalunya.

"Mereka diburu. Tak hanya oleh tentara Jepang dan sekutunya, tetapi para ekstrimis pemuda kita yang ingin melenyapkan orang-orang Belanda dengan cara yang keji. Di rumah yang kau tempati itulah keluarga istri Pak Dukuh dihabisi,"  kata Mbah Mitro sambil menghela napas panjang. Butiran air mata meleleh membasahi pipinya yang keriput.

Mengingat cerita Mbah Mitro, aku bergidik. Bulu kudukku merinding. Ke manakah teman-temanku? Mengapa selarut ini mereka belum pulang? Duh, aku yang selalu berpikir rasional, kini benar-benar mati kutu.

Sementara itu, di luar semakin berisik. Ada suara anak menangis, berlari-lari, dan teriakan histeris khas anak. Sepertinya jumlah mereka semakin bertambah. Segera aku masuk kamar. Kututup pintu rapat-rapat, lalu bersembunyi di balik guling. Kututupi tubuhku dengan sarung dan berharap semoga semua ini hanyalah mimpi. Sialnya, semakin aku berusaha pejamkan mata, semakin suara anak-anak bule terdengar jelas.

Oh, suara anak-anak itu kini berada di ruang tengah. Sambil tertawa-tawa mereka memainkan mesin tik. Dari balik celah pintu, aku melihat lampu ruang tengah nyala mati, nyala mati. Tak lama kemudian suasana hening. Selepas itu terdengar mereka menyanyi. Nada suaranya seperti lagu "Panjang Umurnya" yang setiap ulang tahun sering anak-anak nyanyikan.

Lang zal ze leven (Panjang umurnya)

Lang zal ze leven (Panjang umurnya)

Lang zal ze leven in de gloria (Panjang umurnya serta mulia)

In de gloria (serta mulia)

In de gloria (serta mulia)

Aku ikut senang mendengar anak-anak bule bernyanyi. Namun, di sisi lain aku benar-benar takut. Untunglah, kembali terdengar suara tongkat dan kaki yang diseret. Suaranya semakin dekat. Terdengar persis di depan jendela kamar.

"Joko!" teriakku setengah berbisik. Setidaknya aku tidak sendirian. Mumpung ada Joko, aku harus segera menemuinya. Namun, lewat mana ya? Lewat pintu kamar? Hii...di ruang tengah itu anak-anak bule sedang ulang tahun. Jalan satu-satunya adalah lewat jendela kamar. Jendelanya cukup besar, terbuat dari kayu jati.  Cukup memuat tubuhku yang gemuk.

Jendela kubuka pelan-pelan agar suaranya tidak menarik perhatian anak-anak bule itu. Namun, saat kubuka jendelanya, aku melihat sosok yang mengerikan. Sosok yang kukira Joko berdiri di depan jendela kamar.

Rambutnya gondrong. Matanya merah penuh ancaman.

"Kau, siapa?" tanyaku dengan suara tercekat. Kepalaku tiba-tiba berat. Tubuhku kaku. Mulutku terkunci. Ia menjulurkan tangan hendak mencekikku. Mataku mulai berkunang-kunang. Akhirnya gelap. 

Saat siuman, segera kupulihkan pikiranku. Aku berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Hantu itu hanyalah fantasi. Hantu hanya ada di dunia dongeng. Aku menguatkan diriku sendiri.

Sambil mengatur napas, perlahan kubuka mata. Syukurlah, ini hanya mimpi. Kuedarkan pandangan. Jam satu malam. Tak ada siapa pun di kamar ini. Di mana teman-temanku? Masa sih belum pulang? Apa mereka sedang lembur buat laporan di ruang tengah? Namun, mengapa aku tidak mendengar suara mereka?

Dengan langkah gontai, kubuka pintu kamar.

"Goede nacht, Oom!" sapa anak-anak bule dengan suaranya yang celat dan wajahnya yang datar tanpa hidung. Mereka mengitariku.

"Oooh, tidaaak! Ini benar-benar nyata!" teriakku.a

Aku kembali pingsan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun