Jam Dua Belas Malam
Oleh Acep Yonny
Â
Â
Lonceng jam berdenting sebelas kali. Aku masih duduk di ruang tengah, sendiri. Teman-temanku sedang mengikuti acara wayang kulit di rumah Pak Lurah. Rencana kami tinggal di dusun Girirejo selama tiga bulan mengikuti program KKN UGM. Bersama tujuh orang dari berbagai fakultas, kami menempati rumah Pak Dukuh.
Ruangan rumah Pak Dukuh cukup luas dengan langit-langitnya yang tinggi. Khas bangunan Belanda tempo dulu. Waktu itu tahun 1995, suasana dusun Girirejo masih sepi. Selepas isya, suasana serasa di hutan, terlebih lagi penerangan lampu jalan yang masih terbatas. Jarak antartetangga cukup jauh karena rata-rata rumah di dusun ini memiliki pekarangan yang luas. Setiap pekarangan rata-rata di tanami pohon kepel, rambutan, kluwih, dan mangga.
Sudah dua minggu kami tinggal di sini. Tak ada kejadian apa pun yang sebagaimana diceritakan penduduk kampung. Tak ada penampakan, suara rintihan perempuan, dan bau kembang. Ini semakin menguatkan hipotesisku bahwa penampakan hanyalah halusinasi akibat terlalu percaya dengan cerita tahayul.
Sejujurnya aku suka tinggal di sini. Aku suka rumah yang luas, bersih, dan fasilitasnya juga lengkap. Namun, anehnya kenapa Pak Dukuh tidak tinggal di sini. Beliau memilih tinggal di rumahnya yang berada di pinggir jalan. Entah karena akses jalan mobil atau alasan tertentu, aku belum berani mengorek lebih jauh.
Malam itu aku duduk sendiri di ruang tengah. Aku memilih jaga rumah daripada menonton wayang kulit. Aku harus menyelesaikan laporan KKN. Jika tidak dicicil maka tugasnya akan menumpuk. Jadi kuusahakan setiap minggu kubuat laporan.
 Malam semakin larut. Pekerjaanku belum usai. Waktu itu belum ada laptop. Komputer masih menjadi barang mahal. Mengoperasikannya tentu tidak semudah komputer saat ini. Jadi, mesin tiklah andalan kami. Harga terjangkau, tidak memerlukan listrik, tetapi sayangnya kurang praktis. Tidak mudah menghapus tulisan. Oleh karena itu, mengetik laporan perlu kesabaran dan keterampilan mengetik.
Pada saat aku berkutat dengan mesin tik itulah, aku  mulai merasakan sesuatu yang aneh. Awalnya aku mengira suara kucing mengasah kuku. Namun, tak ada kucing di sekitarku. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang. Suara itu langsung hilang. Anehnya saat aku mulai mengetik, suara itu kembali muncul. Bahkan, diikuti suara buku yang dibuka, kursi yang digeser, dan suara derit pintu.
Perasaanku makin tak tenang. Ini halusinasi atau nyata. Belum sempat kutemukan jawaban yang pasti, aku mendengar suara langkah kaki yang diseret dan ketukan tongkat. Langkah kaki itu makin terdengar jelas.