Saya sendiri, kalau saya gak ngaji, gak akan tahu kalau ada bab isti'nas dan tahdzir. Saya akan terbuai dengan isti'nas saja, dan lupa dengan ancamannya. Seandainya gak ada yang mengingatkan.
Akan terbuai dan mungkin akan jadi orang yang maghrur, atau terbujuk akan murahnya ampunan Allah SWT. Lupa kalau Allah SWT sebenarnya juga syadidul'adzab. Siksaan-Nya luar biasa pedih tak terkira. Tak ada kosa katanya. Kapan bisa kita tempatkan setiap ilmu dengan benar tanpa bimbingan guru? Kita bukanlah orang paling tahu akan apa yang baru saja kita baca. Sebab siapa tahu ada blind spot. Siapa tahu ada maksud lain.
Tanpa guru, saya akan merasa bangga sekali sebagai penuntut ilmu. Dipuji-puji dengan hadis yang banyak luar biasa menerangkan keutamaan ilmu. Tak perlu saya kutip hadisnya.
Tapi akhirnya lupa, seandainya kok gak diingatkan oleh guru. Bahwa sebenarnya ada hadis lain yang sangat "menakutkan" terkait bahaya penuntut ilmu yang gak mengamalkan pengetahuannya. Hadis yang demikian "mengerikan" hingga kalau bisa jangan sampai terbaca oleh para pemula yang baru mulai belajar. Nanti motivasi dan semangat mereka bisa jatuh.
Akhirnya yang dipajang di ruang tamu setelah berhasil menuntaskan pendidikan hanya hadis-hadis tentang pujian bagi santri. Menurut saya, seharusnya yang dipasang sebagai pengingat saat sudah punya ilmu ya hadis tentang bahaya orang memiliki ilmu yang gak bermanfaat. Bukan justru hadis yang memuji. Tambah sombong nanti. Bukannya tambah takut.
Setiap ilmu butuh penempatan masing-masing. Dan untuk mengetahui penempatan ini dengan benar, salah satunya melalui petunjuk seorang guru.
Ini sudah rame, gak ada maksud semakin meramaikan. Kalau bisa bahkan saya berharap kasus ini segera gak viral. Orang segera lupa. Saya cuma ingin mengambil pelajaran tersembunyi buat diri sendiri dalam masalah salat tarawih cepat. Sebenarnya kita dapat pemahaman "salat tarawih itu harus cepat" dari mana sih?
"Harus cepat". Ini kan hipotesis. Gak ada bahkan ulama yang menganjurkan salat tarawih kok cepat-cepat. Salat tarawih ya sebenarnya sama saja dengan salat fardhu dalam kecepatannya.
Tapi kita memiliki hipotesis demikian karena menganggap rukun minimal salat itu adalah tumakninah satu detik. Rukun minimal itu loh bukan berarti yang harus dilakukan adalah demikian. Pemahaman dari manakah itu?
Tanpa guru kita gak akan tahu penempatan ilmu rukun minimal salat. Guru mengarahkan, "ini rukun minimal salat penempatan ilmunya adalah agar kita bisa husnudhon sama orang yang salatnya cepat. Salatnya tetap sah, dan kita gak harus amar makruf untuk mengingatkan dia. Sebab dia sebenarnya salatnya sudah bener. Hanya kurang sempurna saja. Sedangkan kalau kita salat, mau salat fardhu atau salat tarawih sekalipun sebaiknya jangan cepat-cepat. Sebab ada dalil lain demikian, dan demikian."
Memiliki pemahaman agama berdasarkan hipotesis itu, seperti membuat kesimpulan bahwa pembalap jalanan akan menang melawan pembalap sirkuit, hanya karena termakan film Fast and Furious.