Balada Pemimpi
Seperti biasanya, usai menjalankan kewajibanku kepada Sang Pencipta kala fajar, aku langsung menuju dapur. Membantu Mbak menyiapkan santapan untuk pagi hari. Mbak menugaskanku untuk menggoreng tempe. Ya, hanya tempe. Memang hanya tempe yang tersisa. Semenjak tadi, tempe itu telah menanti untuk segera diolah.
Dengan penuh semangat aku mengambil tempe dari dalam kulkas dan memotongnya. Penuh kasih aku membumbui tempe itu. Berharap setelah aku memakannya, rasanya pun berpengaruh terhadap kehidupanku. Tidak segetir saat ini.
Sreng!
Suara dekapan minyak saat tempe masuk ke dalam wajan bergema nyaring. Â Sembari menunggu tempe siap untuk dibalik, aku duduk di sudut dapur untuk mengamatinya. Mbak sedang mencuci beras. Kita berbincang-bincang ringan, penuh gurau. Setidaknya sandiwaraku dalam menutupi luka akibat perkataan kakak iparku semalam, berjalan sempurna.
***
Semalam mereka kemari. Entah pukul berapa, aku tak tahu. Aku sudah masuk kamar. Aku juga tidak keluar saat mereka datang. Enggan. Malas. Toh, salah satu di antara mereka juga mengatakan jika aku telah terlelap. Lagian jika aku bangkit dari pembaringanku, akan sangat sulit untuk kembali. Insomniaku memang sangat menyayangiku, hingga ia tetap singah menemani malamku yang tak berbeda jauh dengan kegelapan di luar sana. Perbedaanya sederhana. Di langit ada rembulan dan bintang yang memberikan sedikit cahaya. Sedangkan hatiku gelap. Tak ada apapun yang mampu meneranginya.
Walaupun posisiku sudah nyaman, dan kantuk melanda tapi mataku tak bisa tertutup. Telingaku terganggu oleh suara mereka yang bicara mengunakan intonasi tinggi. Seakan tengah berada di tengah hutan belantara. Aku menatap nanar awang-awang rumah. Hanya genting berwarna cokelat kusam dengan kayu yang telah lapuk termakan waktu yang bisa aku pandang. Perlahan pelupuk mataku berair. Butiran bening luruh satu persatu. Melintasi pelipis.
"Hmf!" Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi kebohongan yang ia ujarkan akan diriku.
Aku memejamkan mata, namun memasang telinga kuat-kuat. Aku ingin tahu, sampai mana dia akan mendiskripsikan keburukanku beserta bumbu modifikasinya. Aku ingin tahu, sejauh mana dia merendahkanku. Aku juga ingin tahu, bagaimana sikap kakak ipar yang mengaku sebagai sarjana dalam menangapinya.
"Dia bilang kalau aku ini, tidak punya hati. Ya aku jawab, kamu itu sudah dibesarkan, disekolahkan, malah ngomong gitu. Anak, kok nggak tahu diri!"
Setelah mendengar pernyataan itu, rasanya aku ingin keluar kamar dan mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak pernah mengatakan hal itu pada dia. Aku hanya mengatakan, 'jangan pernah berbuat kasar pada anak. Sekali tindakan kasar itu mendera si anak, maka anak itu akan terbentuk seperti itu. Dia akan membangkang. Dia akan kasar. Dia akan berani. Karena sejak awal psikis dan hatinya telah terluka' demi membela keponakan kecilku yang kena amuk hanya gara-gara menganggu tidur siangnya. Tapi apa yang ia katakan? Ia bilang jika aku mengatakan dia tidak punya hati. Walaupun sebenarnya iya, dia memang tidak memiliki hati. Terkadang aku berpikir, benarkah aku putri dari rumah ini?
"Anak yang memiliki hati, itu tidak pernah mengajari orang tua. Harusnya kalau dia pandai dia tidak akan pernah mengucapkan kalimat itu. Dia akan berpikir ulang, apakah nantinya kalimat itu akan menyakiti orang yang lebih tua." Kakak iparku menangapi dengan nada sangat memojokkan dan membenci diriku.
"Lantas sekarang apa yang engkau katakan? Apa kau memikirkan bagaimana perasaan orang yang sedang kamu jadikan topik?" Tapi sayang, aku hanya bisa mengujarkan pembelaan itu dalam hati. Penuh isakan yang aku sumpal dengan sapu tangan, sengaja tidak mengeluarkan suara. Seperti inilah aku, bertopeng. Sekalipun dihadapan keluarga. Aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Seakan jika aku menjadi diri sendiri, mereka akan menertawaiku. Mereka akan mencemoohku. Dan karena itu pula aku memakai topeng tegar, tak berperasaan, dan mustahil menitihkan air mata di hadapan mereka. Namun kenyataannya aku amat rapuh. Aku tak setegar karang yang mereka pikirkan.
Anak yang memiliki hati itu, tidak pernah mengajari orang tua. Harusnya kalau dia pandai dia tidak akan pernah mengucapkan kalimat itu, dia bilang? Baiklah. Berarti orang tua yang baik, dan memiliki hati yang begitu lapang itu, bebas memukuli anaknya dengan kayu, dengan sapu, mencambuknya, hingga memukulinya dengan tangan kosong, yang tak jarang juga diludahi yang tidak tahu di mana letak kesalahan yang telah diperbuat? Iya, seperti itu?
 Tiga hal yang masih sangat membekas di pikiranku. Pertama kehilangan uang dua ribu rupiah. Kejadiannya sederhana. Aku diberikan uang senilai dua ribu. Seribu untuk saku, dan sisanya untuk membeli paku. Karena waktu itu toko masih tutup, aku pergi mengaji terlebih dahulu, pulangnya sekalian membeli paku. Tapi saat aku mencari uang untuk membeli jajan, hanya ada uang seribu. Tak tahu lainnya kemana, padahal tadi aku letakkan di dalam tas. Karena tak ingin di amuk oleh dia, aku urungkan niatku untuk jajan. Lebih baik aku tidak jajan dari pada di pukuli.
Tapi sayangnya cambuk itu tetap menyentuh kulitku dengan kerasnya. Uang yang tersisa ikut hilang. Aku tidak tahu kemana dan bagaimana caranya mereka bisa menghilang. Tapi dia tidak menerima alasanku. Justru ia memukuliku tanpa ampun. Mendorongku tanpa naluri hingga tubuhku terbentur di dinding. Dan dia juga tak luput meludahi wajahku.
Dulu aku hanya bisa menangis sesengukan tanpa adanya pembelaan. Inilah yang sering membuatku takut berkata  apa adanya. Lebih baik aku berbohong ketimbang bicara jujur. Mengapa? Jika aku jujur dia akan menyakitiku. Jika aku bungkam, bilah kayu bakar telah melambai-lambai untuk membelaiku. Sedangkan jika aku bohong, ia tidak akan tahu yang sebenarnya. Jika dia tidak tahu, maka dia tidak akan memukulku. Dan aku tidak akan mendapatkan bekas biru keunguan yang begitu sakit saat di sentuh. Karena kejadian itu, tubuh bagian kiri juga kelingkingku sangat sakit. Sedangkan lengan bagian kanan ada beberapa luka lebam. Tentu saja sangat sakit. Dulu aku masih anak kecil berumur delapan tahun. Apa yang bisa dia perbuat selain menangis sesenggukan dengan terus mengalunkan kata 'ibu'?
Hal ini memang tidak sebanding dengan hilangnya uang. Bagi dia uang dua ribu memang bukanlah nilai yang besar, namun mana mungkin dia menghilangkan kesempatan emas ini?
Dua, aku pernah mendapatkan surat pengantar dari guru. Guru tidak menyampaikan apapun selain menyuruh kami untuk memberikannya kepada orang tua. Sesampainya di rumah, aku menyampaikan amanat tersebut, tapi apa yang dia lakukan? Dia memukulku. Dia menghajarku lagi, karena aku mengatakan 'tidak tahu'. Aku sempat berpikir di mana letak kesalahanku. Apakah di sana tidak tertulis? Oh, tujuan utamanya adalah menyiksaku, jadi dia menjadikan semua hal itu sebagai alasan untuk menyiksaku.
Ketiga, entah apa yang terjadi pada malam itu, semuanya mengalir begitu saja, bagai air bah. Bahkan di malam itu, aku hampir merenggang nyawa. Tapi Tuhan maha baik. Ia menyelamatkankanku dari tragedi itu. Aku tidak akan pernah melupakan tragedi itu, dimana sebuah tangan jahat menerkam leherku dan membuatku kesulitan bernapas. Membuat wajahku membiru sesaat, lantas selepas itu ia melemparku keluar dan membanting pintu. Bahkan suara bantingan pintu itu masih terekam jelas dalam ingatan. Ada beberapa tetangga yang sempat menyaksikan hal bodoh tapi mengerikan itu. Dan Mbak langsung mendekapku yang masih terduduk tak berdaya di kramik merah yang mulai kusam. Air mataku terus menitih, tapi aku belum menangis untuk kejadian itu. Aku masih memburu oksigen, gara-gara tangan jahat itu membuat oksigen terhalang masuk.
"Udah, tidak usah di tangisi." Seketika tangis akan kejadian tadi pecah. Aku sering di pukuli, dihina, bahkan selalu dihakimi. Seperti yang dia lakukan setelah kejadian itu. Memutar balikkan fakta. Aku tak heran, memang begitulah sikapnya. Tapi sayangnya hatiku masih saja terasa sakit.
"Malam ini, tidur di sini saja." Mbak mempererat dekapannya. Tangisku kian menjadi. Tiba-tiba aku merindukan sosok Ibu.
Tak ada asap tanpa api. Sebenarnya permasalahannya sepele, masalah televisi yang tiba-tiba tak bisa dihidupkan dan aku yang disalahkan. Padahal semenjak kemarin televisinya sudah seperti itu karena ulah dari cucu kesayangannya. Karena aku tidak terima dijadikan kambing hitam, aku membela diri dengan mengatakan kejadian kemarin, saat pertama kalinya televisi itu merasakan segarnya mandi dengan air es.
Karena rasa sayang yang amat besar, akulah yang kembali di salahkan, dan terjadilah hal demikian. Kami memang seperti anak kecil. Bertengkar hanya karena hal sepele. Tapi haruskah dengan mencekik? Dalam adegan itu, ada beberapa baret luka yang timbul di tubuhku. Tentu luka itu tak sebanding dengan luka yang ada dalam hatiku. Prihal televisi saja ia rela menghilang satu nyawa. Bagaimana dengan yang lainnya?
Bukan hanya tiga hal itu saja, tapi masih ada puluhan hingga ratusan kekerasan lain yang selalu aku dapat. Sebenarnya dalam catatan keluarga kami, bukan hanya aku saja yang mendapatkan kekerasan macam itu. Kedua saudaraku juga mengalaminya. Kakakku pernah di tengelamkan di selokan belakang rumah, aku mengetahuinya dari cerita Mbak beberapa waktu lalu. Tak terkecuali ibuku. Pria kejam itu sudah menggiring ibuku ke lembah maut, dengan terus menyiksanya seumur hidup pernikahan Ibu. Berkali-kali Mbak dan Kakak menyuruhku untuk mengalah, mengalah, dan mengalah, dengan dalih, 'yang waras ngalah'. Tapi aku tidak bisa. Ada kalanya aku melawan. Terserah mereka akan mengatakan apa tentangku. Aku letih ditindas. Aku letih diperlakukan seperti hewan. Aku bukan maneken yang bisa ia modif seperti apa inginnya, yang bisa disalahkan kapanpun ia mau, yang dijadikan kambing hitam tiap saat. Aku manusia. Aku memiliki perasaan. Aku hidup. Sama seperti dia yang tidak mau disalahkan atas hal yang tidak dilakukan, aku juga seperti itu.
 Sempat terbesit suatu hal di hati, 'aku akan memanusiakan manusia yang memanusiakan diriku. Namun jangan harap aku memanusiakan manusia yang tidak memanusiakan manusia. Terlebih manusi itu telah menyakiti diriku.' Tapi rasanya aku terlalu kejam. Jika aku melakukan itu, apa bedanya aku dengan dia? Tak ada bukan? Aku harus memberikan perbedaan, karena dengan adanya perbedaan seseorang lebih mudah mengenali dirinya sendiri.
***
Aku mulai menyeka air mataku. Mengingat kembali slide kehidupan masa laluku yang begitu mengerikan, sangat menguras air mata. Dan kini pernyataan kembali dari kakak iparku mampu menyulut api emosiku. Bagaimana tidak. Dia tidak mengetahui akan hal yang aku tekuni, dia tidak memahaminya, dan dia tidak berusaha untuk mengetahui ataupun memahaminya, malah dia langsung menyimpulkan jika semua itu kebohonganku. Ia mengatakan jika tiga buku bacaan yang aku pinjam dari teman adalah materi dari hal yang tengah aku tekuni, padahal itu sebatas hiburan semata. Ia bahkan turut menjelekkan tempat yang telah mendidikku.
Mereka di mana sebelumnya? Dulu mereka tidak ada untuk melarangku. Tapi setelah semuanya terjadi, mereka datang dan langsung memojokkanku. Seolah aku adalah tersangka yang terbukti. Toh, untuk apa aku berbohong? Tidak ada gunanya aku berbohong. Jika aku berbohong, untuk apa aku meminta mereka menjadi bagian dari hal yang telah aku raih, untuk apa?
"Harusnya sekolah itu ada buku materinya. Bukan novel bercerita tentang cinta seperti ini. Harusnya ... Bla ... Bla ... Bla ..."
Semua yang kau pertanyaan, tersimpan apik dalam ponselku! hujatku dalam hati.
Aku sungguh malas mendengar ocehan sampahnya itu. Sok tau! Dan lelaki itu? Dia malah langsung lempar tangan. Ah, sudahlah! Biarkan malam ini para pembual berkicau!
***
Derap langkah mendekatiku, Kakakku. Kakak kandungku yang tinggal di tempat jauh, kini pulang. Mungkin lusa dia sudah kembali ke asalnya. Ah, terserah. Aku tak peduli. Dia ada atau tidak, tak ada bedanya bagiku. Bahkan dia saja tidak tahu berapa umur dari gadis perempuan yang duduk bersila dengan memotong bawang di hadapannya. Dia tidak pernah tahu, riwayat penyakit apa saja yang mendera gadis ini. Bahkan dia tidak tahu, kelas berapa dia.
"Laptop mau kamu buat apa?" tanyanya dengan duduk di hadapanku. Ucapannya lembut dan manis. Menghangatkan. Aku merindukan suaranya sejak dulu. Semenjak Kakak menikah dengan Kakak ipar, ia berubah dan tiba-tiba ia amnesia dengan adik kecilnya yang dulu sering diajak masak bersama, bermain bersama, jalan-jalan bersama. Dan aku kehilangan satu-satunya saudara laki-laki yang aku punya. Dan itu untuk selamanya. Aku tidak pernah lagi bisa melihat kakakku yang dulu. Kakak yang dulu entah pergi kemana. Hanya kenang-kenangannya saja yang tersisa.
 Tentang laptop, kemarin aku sempat meminta izin padanya untuk membeli laptop. Karena kata Mbak, ada baiknya meminta izin pada Kakak. Dan kini aku lakukan itu.
"Biar bisa ikut lomba menulis dan tugas sekolah tanpa harus merepotkan orang lain," jelasku. Karena setiap ada apa-apa yang berhubungan dengan tugas pasti mengacu pada prin. Dan tidak mungkin setiap ada apapun aku meminta bantuan orang lain untuk sekedar menemaniku ke sebuah warnet atau menyuruhnya langsung mengeditkan.
"Biar apa ikut lomba?" ia kembali bertanya.
"Belajar. Cari pengalaman," dengan polosnya aku mengatakan hal itu.
"Setelah kamu mendalami ilmu kepenulisan, apa yang kamu dapat?"
"Ilmu," jawabku dengan sumringah. Tapi wajah Kakak menunjukkan guratan lain. Apa ada yang salah dalam ucapanku?
"Hanya itu?"
"Kesenangan, kebahagiaan." Bodoh! Ya, itulah yang aku sesali akan kalimatku itu. Bukannya Kakak senang karena itu, malah wajahnya menapakkan emosi. Sebuah air muka yang tak pernah aku lihat sebelumnya.
"Apa kamu dapat uang dari hal itu?"
Aku hanya menggeleng. Memang benar itu adanya. Tapi bukankah bahagia jauh lebih berharga daripada uang?
"Kamu sudah besar. Kamu harusnya sudah bisa mikir kalau kamu hanya di permainan oleh hobi itu. Buka matamu!" Langsung luruh seketika air mataku. Bukan karena isinya, tapi karena nada yang Kakak lontarkan sangat tajam, dan menyayat hatiku. Rasanya mirip sembilu yang dihunuskan tajam dalam jantungku. Satu-satunya alasan mengapa aku bisa tersenyum kini direnggut.
Aku yakin otak dari ini semua adalah kakak iparku. Sejak awal dia tidak suka akan hobiku ini. Ya, mungkin karena tidak menghasilkan uang banyak. Sedangkan dia? Uang adalah yang utama. Seperti pemikiran lelaki itu. Toh, uang yang akan digunakan membeli laptop  adalah milikku sendiri. Uang yang aku kumpulkan dengan susah payah, dan penuh derai keringat, tanpa campur tangan dari keduanya.
"Laptop itu mahal. Kamu sudah besar harus kamu ubah pola pikirmu. Apa yang kamu keluarkan untuk membeli sesuatu, harus kembali. Lebih-lebih dengan jumlah lebih," sambungnya. Rasanya aku ingin mengertak. Tapi aku ingat. Aku sedang berhadapan dengan kakakku. Aku harus hormat pada dia.
"Aku niatnya belajar, Kak. Cari ilmu. Bukan bisnis, mencari untung rugi," rintihku dengan berderai air mata.
Dia tidak mau memberikan izin. Harusnya aku diam saja. Setidaknya aku tidak akan mendengar hal-hal seperti ini. Bahkan Kakak juga sampai menjelekkan hobiku. Sebenarnya tidak ada satupun di keluargaku yang setuju dalam hal yang aku senangi. Entah itu membuat kerajinan ataupun hal ini. Terlebih Kakak dan istrinya. Mereka jarang kemari, mereka juga cuek bebek dengan diriku, tapi bukannya mendukungku untuk mengepakkan sayapku, justru mereka langsung memotongnya hingga aku tak lagi bisa bermimpi untuk terbang. Mereka tidak pernah ada, namun sekalinya mereka hadir, mereka langsung mematahkan sayapku. Ia hancurkan mimpiku. Ia timbun semangatku dengan ribuan balok muslihat.
Andai mereka tahu, apa motifku mengembangkan kesenanganku ini. Ya, demi membuktikan kepada mereka jika aku bisa. Aku berusaha menjadi terbaik demi membuat mereka bangga. Namun itu semuanya hanyalah impian. Mereka tidak memahamiku. Tidak. Mereka tidak peduli. Hanya uanglah yang mereka pedulikan. Uang dan segala macam kemewahan dunia lain.
"Siap-siaplah untuk ke sekolah." Ia beranjak pergi. Meninggalkanku dengan ribuan sayatan di hati. Aku kehilangan sayapku, untuk selamanya. Aku kehilangan cahayaku. Dan aku kehilangan tawaku. Aku harus kembali bekerja keras untuk mencari sebuah alasan untuk tersenyum kembali. Mencari alasan agar sayapku bisa tumbuh kembali. Dan mencari hal yang mampu mengembalikan segalanya. Meratapi hal yang telah lebur rasanya sia-sia. Aku harus bangkit, jika tidak untuk diriku sendiri, setidaknya demi seseorang yang mengharapkan sebuah tawa yang terus terlukis di wajahku.
And
Dwi Oktafiya Khoirun Nisa
Tuban, 08 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H