***
Derap langkah mendekatiku, Kakakku. Kakak kandungku yang tinggal di tempat jauh, kini pulang. Mungkin lusa dia sudah kembali ke asalnya. Ah, terserah. Aku tak peduli. Dia ada atau tidak, tak ada bedanya bagiku. Bahkan dia saja tidak tahu berapa umur dari gadis perempuan yang duduk bersila dengan memotong bawang di hadapannya. Dia tidak pernah tahu, riwayat penyakit apa saja yang mendera gadis ini. Bahkan dia tidak tahu, kelas berapa dia.
"Laptop mau kamu buat apa?" tanyanya dengan duduk di hadapanku. Ucapannya lembut dan manis. Menghangatkan. Aku merindukan suaranya sejak dulu. Semenjak Kakak menikah dengan Kakak ipar, ia berubah dan tiba-tiba ia amnesia dengan adik kecilnya yang dulu sering diajak masak bersama, bermain bersama, jalan-jalan bersama. Dan aku kehilangan satu-satunya saudara laki-laki yang aku punya. Dan itu untuk selamanya. Aku tidak pernah lagi bisa melihat kakakku yang dulu. Kakak yang dulu entah pergi kemana. Hanya kenang-kenangannya saja yang tersisa.
 Tentang laptop, kemarin aku sempat meminta izin padanya untuk membeli laptop. Karena kata Mbak, ada baiknya meminta izin pada Kakak. Dan kini aku lakukan itu.
"Biar bisa ikut lomba menulis dan tugas sekolah tanpa harus merepotkan orang lain," jelasku. Karena setiap ada apa-apa yang berhubungan dengan tugas pasti mengacu pada prin. Dan tidak mungkin setiap ada apapun aku meminta bantuan orang lain untuk sekedar menemaniku ke sebuah warnet atau menyuruhnya langsung mengeditkan.
"Biar apa ikut lomba?" ia kembali bertanya.
"Belajar. Cari pengalaman," dengan polosnya aku mengatakan hal itu.
"Setelah kamu mendalami ilmu kepenulisan, apa yang kamu dapat?"
"Ilmu," jawabku dengan sumringah. Tapi wajah Kakak menunjukkan guratan lain. Apa ada yang salah dalam ucapanku?
"Hanya itu?"
"Kesenangan, kebahagiaan." Bodoh! Ya, itulah yang aku sesali akan kalimatku itu. Bukannya Kakak senang karena itu, malah wajahnya menapakkan emosi. Sebuah air muka yang tak pernah aku lihat sebelumnya.