"Malam ini, tidur di sini saja." Mbak mempererat dekapannya. Tangisku kian menjadi. Tiba-tiba aku merindukan sosok Ibu.
Tak ada asap tanpa api. Sebenarnya permasalahannya sepele, masalah televisi yang tiba-tiba tak bisa dihidupkan dan aku yang disalahkan. Padahal semenjak kemarin televisinya sudah seperti itu karena ulah dari cucu kesayangannya. Karena aku tidak terima dijadikan kambing hitam, aku membela diri dengan mengatakan kejadian kemarin, saat pertama kalinya televisi itu merasakan segarnya mandi dengan air es.
Karena rasa sayang yang amat besar, akulah yang kembali di salahkan, dan terjadilah hal demikian. Kami memang seperti anak kecil. Bertengkar hanya karena hal sepele. Tapi haruskah dengan mencekik? Dalam adegan itu, ada beberapa baret luka yang timbul di tubuhku. Tentu luka itu tak sebanding dengan luka yang ada dalam hatiku. Prihal televisi saja ia rela menghilang satu nyawa. Bagaimana dengan yang lainnya?
Bukan hanya tiga hal itu saja, tapi masih ada puluhan hingga ratusan kekerasan lain yang selalu aku dapat. Sebenarnya dalam catatan keluarga kami, bukan hanya aku saja yang mendapatkan kekerasan macam itu. Kedua saudaraku juga mengalaminya. Kakakku pernah di tengelamkan di selokan belakang rumah, aku mengetahuinya dari cerita Mbak beberapa waktu lalu. Tak terkecuali ibuku. Pria kejam itu sudah menggiring ibuku ke lembah maut, dengan terus menyiksanya seumur hidup pernikahan Ibu. Berkali-kali Mbak dan Kakak menyuruhku untuk mengalah, mengalah, dan mengalah, dengan dalih, 'yang waras ngalah'. Tapi aku tidak bisa. Ada kalanya aku melawan. Terserah mereka akan mengatakan apa tentangku. Aku letih ditindas. Aku letih diperlakukan seperti hewan. Aku bukan maneken yang bisa ia modif seperti apa inginnya, yang bisa disalahkan kapanpun ia mau, yang dijadikan kambing hitam tiap saat. Aku manusia. Aku memiliki perasaan. Aku hidup. Sama seperti dia yang tidak mau disalahkan atas hal yang tidak dilakukan, aku juga seperti itu.
 Sempat terbesit suatu hal di hati, 'aku akan memanusiakan manusia yang memanusiakan diriku. Namun jangan harap aku memanusiakan manusia yang tidak memanusiakan manusia. Terlebih manusi itu telah menyakiti diriku.' Tapi rasanya aku terlalu kejam. Jika aku melakukan itu, apa bedanya aku dengan dia? Tak ada bukan? Aku harus memberikan perbedaan, karena dengan adanya perbedaan seseorang lebih mudah mengenali dirinya sendiri.
***
Aku mulai menyeka air mataku. Mengingat kembali slide kehidupan masa laluku yang begitu mengerikan, sangat menguras air mata. Dan kini pernyataan kembali dari kakak iparku mampu menyulut api emosiku. Bagaimana tidak. Dia tidak mengetahui akan hal yang aku tekuni, dia tidak memahaminya, dan dia tidak berusaha untuk mengetahui ataupun memahaminya, malah dia langsung menyimpulkan jika semua itu kebohonganku. Ia mengatakan jika tiga buku bacaan yang aku pinjam dari teman adalah materi dari hal yang tengah aku tekuni, padahal itu sebatas hiburan semata. Ia bahkan turut menjelekkan tempat yang telah mendidikku.
Mereka di mana sebelumnya? Dulu mereka tidak ada untuk melarangku. Tapi setelah semuanya terjadi, mereka datang dan langsung memojokkanku. Seolah aku adalah tersangka yang terbukti. Toh, untuk apa aku berbohong? Tidak ada gunanya aku berbohong. Jika aku berbohong, untuk apa aku meminta mereka menjadi bagian dari hal yang telah aku raih, untuk apa?
"Harusnya sekolah itu ada buku materinya. Bukan novel bercerita tentang cinta seperti ini. Harusnya ... Bla ... Bla ... Bla ..."
Semua yang kau pertanyaan, tersimpan apik dalam ponselku! hujatku dalam hati.
Aku sungguh malas mendengar ocehan sampahnya itu. Sok tau! Dan lelaki itu? Dia malah langsung lempar tangan. Ah, sudahlah! Biarkan malam ini para pembual berkicau!