Mohon tunggu...
Fastabiqul Khoirot
Fastabiqul Khoirot Mohon Tunggu... Freelancer - Melakukan sesuatu dengan cinta, kreatifitas dan sepenuh jiwa

Jejak Putu Lanang kiasan dari jejak seorang cucu laki laki. penulis mengambil istilah nama jejak putu lanang karena banyak jejak yang sayang di lewatkan dan banyak karya yang tertuangkan dan di sinilah wadahnya. tempat ini bagaikan gambaran siapa sebenarnya jejak putu lanang, yaitu pria yang hobby dolanan, pecinta kuliner khas kalangan bawah, memotret hal yang di sukai mata serta hati, dan belakangan suka menulis yang terkadang asal hati senang. kemudian melihat sana-sini lalu bercengkrama dengan orang sekitar lalu pulang membawa banyak kenangan, ilmu, serta wawasan baru yang menempel di kepala. diri ini sudah mulai resah ingin menuangkan dan mengekspresikan diri dari sinilah mulai muncul karya karya yang timbul dengan dasar melakukan semua hal dengan penuh suka dan rasa cinta dalam setiap langkahnya. pria yang tak suka terikat dan terdiam di suatu tempat. Semoga jejak langkah ini menjadi bermanfaat bagi semua orang, jejak yang tak hanya di kawasan wisata namun jejak langkah dimanapun berada. penulis sangat senang dengan orang yang suka berbagi ilmu. jika ada orang yang terlalu banyak ilmu segeralah laporkan agar nantinya aku dekati dan aku meminta do'a restu dan mohon ilmunya agar bisa berkarya lebih banyak lagi. https://kakfasta.com https://sanggarmeraki.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balada Pemimpi

18 Mei 2020   20:34 Diperbarui: 18 Mei 2020   20:57 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Apa kamu dapat uang dari hal itu?"

Aku hanya menggeleng. Memang benar itu adanya. Tapi bukankah bahagia jauh lebih berharga daripada uang?

"Kamu sudah besar. Kamu harusnya sudah bisa mikir kalau kamu hanya di permainan oleh hobi itu. Buka matamu!" Langsung luruh seketika air mataku. Bukan karena isinya, tapi karena nada yang Kakak lontarkan sangat tajam, dan menyayat hatiku. Rasanya mirip sembilu yang dihunuskan tajam dalam jantungku. Satu-satunya alasan mengapa aku bisa tersenyum kini direnggut.

Aku yakin otak dari ini semua adalah kakak iparku. Sejak awal dia tidak suka akan hobiku ini. Ya, mungkin karena tidak menghasilkan uang banyak. Sedangkan dia? Uang adalah yang utama. Seperti pemikiran lelaki itu. Toh, uang yang akan digunakan membeli laptop  adalah milikku sendiri. Uang yang aku kumpulkan dengan susah payah, dan penuh derai keringat, tanpa campur tangan dari keduanya.

"Laptop itu mahal. Kamu sudah besar harus kamu ubah pola pikirmu. Apa yang kamu keluarkan untuk membeli sesuatu, harus kembali. Lebih-lebih dengan jumlah lebih," sambungnya. Rasanya aku ingin mengertak. Tapi aku ingat. Aku sedang berhadapan dengan kakakku. Aku harus hormat pada dia.

"Aku niatnya belajar, Kak. Cari ilmu. Bukan bisnis, mencari untung rugi," rintihku dengan berderai air mata.

Dia tidak mau memberikan izin. Harusnya aku diam saja. Setidaknya aku tidak akan mendengar hal-hal seperti ini. Bahkan Kakak juga sampai menjelekkan hobiku. Sebenarnya tidak ada satupun di keluargaku yang setuju dalam hal yang aku senangi. Entah itu membuat kerajinan ataupun hal ini. Terlebih Kakak dan istrinya. Mereka jarang kemari, mereka juga cuek bebek dengan diriku, tapi bukannya mendukungku untuk mengepakkan sayapku, justru mereka langsung memotongnya hingga aku tak lagi bisa bermimpi untuk terbang. Mereka tidak pernah ada, namun sekalinya mereka hadir, mereka langsung mematahkan sayapku. Ia hancurkan mimpiku. Ia timbun semangatku dengan ribuan balok muslihat.

Andai mereka tahu, apa motifku mengembangkan kesenanganku ini. Ya, demi membuktikan kepada mereka jika aku bisa. Aku berusaha menjadi terbaik demi membuat mereka bangga. Namun itu semuanya hanyalah impian. Mereka tidak memahamiku. Tidak. Mereka tidak peduli. Hanya uanglah yang mereka pedulikan. Uang dan segala macam kemewahan dunia lain.

"Siap-siaplah untuk ke sekolah." Ia beranjak pergi. Meninggalkanku dengan ribuan sayatan di hati. Aku kehilangan sayapku, untuk selamanya. Aku kehilangan cahayaku. Dan aku kehilangan tawaku. Aku harus kembali bekerja keras untuk mencari sebuah alasan untuk tersenyum kembali. Mencari alasan agar sayapku bisa tumbuh kembali. Dan mencari hal yang mampu mengembalikan segalanya. Meratapi hal yang telah lebur rasanya sia-sia. Aku harus bangkit, jika tidak untuk diriku sendiri, setidaknya demi seseorang yang mengharapkan sebuah tawa yang terus terlukis di wajahku.

And

Dwi Oktafiya Khoirun Nisa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun