"Apa kamu dapat uang dari hal itu?"
Aku hanya menggeleng. Memang benar itu adanya. Tapi bukankah bahagia jauh lebih berharga daripada uang?
"Kamu sudah besar. Kamu harusnya sudah bisa mikir kalau kamu hanya di permainan oleh hobi itu. Buka matamu!" Langsung luruh seketika air mataku. Bukan karena isinya, tapi karena nada yang Kakak lontarkan sangat tajam, dan menyayat hatiku. Rasanya mirip sembilu yang dihunuskan tajam dalam jantungku. Satu-satunya alasan mengapa aku bisa tersenyum kini direnggut.
Aku yakin otak dari ini semua adalah kakak iparku. Sejak awal dia tidak suka akan hobiku ini. Ya, mungkin karena tidak menghasilkan uang banyak. Sedangkan dia? Uang adalah yang utama. Seperti pemikiran lelaki itu. Toh, uang yang akan digunakan membeli laptop  adalah milikku sendiri. Uang yang aku kumpulkan dengan susah payah, dan penuh derai keringat, tanpa campur tangan dari keduanya.
"Laptop itu mahal. Kamu sudah besar harus kamu ubah pola pikirmu. Apa yang kamu keluarkan untuk membeli sesuatu, harus kembali. Lebih-lebih dengan jumlah lebih," sambungnya. Rasanya aku ingin mengertak. Tapi aku ingat. Aku sedang berhadapan dengan kakakku. Aku harus hormat pada dia.
"Aku niatnya belajar, Kak. Cari ilmu. Bukan bisnis, mencari untung rugi," rintihku dengan berderai air mata.
Dia tidak mau memberikan izin. Harusnya aku diam saja. Setidaknya aku tidak akan mendengar hal-hal seperti ini. Bahkan Kakak juga sampai menjelekkan hobiku. Sebenarnya tidak ada satupun di keluargaku yang setuju dalam hal yang aku senangi. Entah itu membuat kerajinan ataupun hal ini. Terlebih Kakak dan istrinya. Mereka jarang kemari, mereka juga cuek bebek dengan diriku, tapi bukannya mendukungku untuk mengepakkan sayapku, justru mereka langsung memotongnya hingga aku tak lagi bisa bermimpi untuk terbang. Mereka tidak pernah ada, namun sekalinya mereka hadir, mereka langsung mematahkan sayapku. Ia hancurkan mimpiku. Ia timbun semangatku dengan ribuan balok muslihat.
Andai mereka tahu, apa motifku mengembangkan kesenanganku ini. Ya, demi membuktikan kepada mereka jika aku bisa. Aku berusaha menjadi terbaik demi membuat mereka bangga. Namun itu semuanya hanyalah impian. Mereka tidak memahamiku. Tidak. Mereka tidak peduli. Hanya uanglah yang mereka pedulikan. Uang dan segala macam kemewahan dunia lain.
"Siap-siaplah untuk ke sekolah." Ia beranjak pergi. Meninggalkanku dengan ribuan sayatan di hati. Aku kehilangan sayapku, untuk selamanya. Aku kehilangan cahayaku. Dan aku kehilangan tawaku. Aku harus kembali bekerja keras untuk mencari sebuah alasan untuk tersenyum kembali. Mencari alasan agar sayapku bisa tumbuh kembali. Dan mencari hal yang mampu mengembalikan segalanya. Meratapi hal yang telah lebur rasanya sia-sia. Aku harus bangkit, jika tidak untuk diriku sendiri, setidaknya demi seseorang yang mengharapkan sebuah tawa yang terus terlukis di wajahku.
And
Dwi Oktafiya Khoirun Nisa