Setelah mendengar pernyataan itu, rasanya aku ingin keluar kamar dan mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak pernah mengatakan hal itu pada dia. Aku hanya mengatakan, 'jangan pernah berbuat kasar pada anak. Sekali tindakan kasar itu mendera si anak, maka anak itu akan terbentuk seperti itu. Dia akan membangkang. Dia akan kasar. Dia akan berani. Karena sejak awal psikis dan hatinya telah terluka' demi membela keponakan kecilku yang kena amuk hanya gara-gara menganggu tidur siangnya. Tapi apa yang ia katakan? Ia bilang jika aku mengatakan dia tidak punya hati. Walaupun sebenarnya iya, dia memang tidak memiliki hati. Terkadang aku berpikir, benarkah aku putri dari rumah ini?
"Anak yang memiliki hati, itu tidak pernah mengajari orang tua. Harusnya kalau dia pandai dia tidak akan pernah mengucapkan kalimat itu. Dia akan berpikir ulang, apakah nantinya kalimat itu akan menyakiti orang yang lebih tua." Kakak iparku menangapi dengan nada sangat memojokkan dan membenci diriku.
"Lantas sekarang apa yang engkau katakan? Apa kau memikirkan bagaimana perasaan orang yang sedang kamu jadikan topik?" Tapi sayang, aku hanya bisa mengujarkan pembelaan itu dalam hati. Penuh isakan yang aku sumpal dengan sapu tangan, sengaja tidak mengeluarkan suara. Seperti inilah aku, bertopeng. Sekalipun dihadapan keluarga. Aku tidak bisa menjadi diri sendiri. Seakan jika aku menjadi diri sendiri, mereka akan menertawaiku. Mereka akan mencemoohku. Dan karena itu pula aku memakai topeng tegar, tak berperasaan, dan mustahil menitihkan air mata di hadapan mereka. Namun kenyataannya aku amat rapuh. Aku tak setegar karang yang mereka pikirkan.
Anak yang memiliki hati itu, tidak pernah mengajari orang tua. Harusnya kalau dia pandai dia tidak akan pernah mengucapkan kalimat itu, dia bilang? Baiklah. Berarti orang tua yang baik, dan memiliki hati yang begitu lapang itu, bebas memukuli anaknya dengan kayu, dengan sapu, mencambuknya, hingga memukulinya dengan tangan kosong, yang tak jarang juga diludahi yang tidak tahu di mana letak kesalahan yang telah diperbuat? Iya, seperti itu?
 Tiga hal yang masih sangat membekas di pikiranku. Pertama kehilangan uang dua ribu rupiah. Kejadiannya sederhana. Aku diberikan uang senilai dua ribu. Seribu untuk saku, dan sisanya untuk membeli paku. Karena waktu itu toko masih tutup, aku pergi mengaji terlebih dahulu, pulangnya sekalian membeli paku. Tapi saat aku mencari uang untuk membeli jajan, hanya ada uang seribu. Tak tahu lainnya kemana, padahal tadi aku letakkan di dalam tas. Karena tak ingin di amuk oleh dia, aku urungkan niatku untuk jajan. Lebih baik aku tidak jajan dari pada di pukuli.
Tapi sayangnya cambuk itu tetap menyentuh kulitku dengan kerasnya. Uang yang tersisa ikut hilang. Aku tidak tahu kemana dan bagaimana caranya mereka bisa menghilang. Tapi dia tidak menerima alasanku. Justru ia memukuliku tanpa ampun. Mendorongku tanpa naluri hingga tubuhku terbentur di dinding. Dan dia juga tak luput meludahi wajahku.
Dulu aku hanya bisa menangis sesengukan tanpa adanya pembelaan. Inilah yang sering membuatku takut berkata  apa adanya. Lebih baik aku berbohong ketimbang bicara jujur. Mengapa? Jika aku jujur dia akan menyakitiku. Jika aku bungkam, bilah kayu bakar telah melambai-lambai untuk membelaiku. Sedangkan jika aku bohong, ia tidak akan tahu yang sebenarnya. Jika dia tidak tahu, maka dia tidak akan memukulku. Dan aku tidak akan mendapatkan bekas biru keunguan yang begitu sakit saat di sentuh. Karena kejadian itu, tubuh bagian kiri juga kelingkingku sangat sakit. Sedangkan lengan bagian kanan ada beberapa luka lebam. Tentu saja sangat sakit. Dulu aku masih anak kecil berumur delapan tahun. Apa yang bisa dia perbuat selain menangis sesenggukan dengan terus mengalunkan kata 'ibu'?
Hal ini memang tidak sebanding dengan hilangnya uang. Bagi dia uang dua ribu memang bukanlah nilai yang besar, namun mana mungkin dia menghilangkan kesempatan emas ini?
Dua, aku pernah mendapatkan surat pengantar dari guru. Guru tidak menyampaikan apapun selain menyuruh kami untuk memberikannya kepada orang tua. Sesampainya di rumah, aku menyampaikan amanat tersebut, tapi apa yang dia lakukan? Dia memukulku. Dia menghajarku lagi, karena aku mengatakan 'tidak tahu'. Aku sempat berpikir di mana letak kesalahanku. Apakah di sana tidak tertulis? Oh, tujuan utamanya adalah menyiksaku, jadi dia menjadikan semua hal itu sebagai alasan untuk menyiksaku.
Ketiga, entah apa yang terjadi pada malam itu, semuanya mengalir begitu saja, bagai air bah. Bahkan di malam itu, aku hampir merenggang nyawa. Tapi Tuhan maha baik. Ia menyelamatkankanku dari tragedi itu. Aku tidak akan pernah melupakan tragedi itu, dimana sebuah tangan jahat menerkam leherku dan membuatku kesulitan bernapas. Membuat wajahku membiru sesaat, lantas selepas itu ia melemparku keluar dan membanting pintu. Bahkan suara bantingan pintu itu masih terekam jelas dalam ingatan. Ada beberapa tetangga yang sempat menyaksikan hal bodoh tapi mengerikan itu. Dan Mbak langsung mendekapku yang masih terduduk tak berdaya di kramik merah yang mulai kusam. Air mataku terus menitih, tapi aku belum menangis untuk kejadian itu. Aku masih memburu oksigen, gara-gara tangan jahat itu membuat oksigen terhalang masuk.
"Udah, tidak usah di tangisi." Seketika tangis akan kejadian tadi pecah. Aku sering di pukuli, dihina, bahkan selalu dihakimi. Seperti yang dia lakukan setelah kejadian itu. Memutar balikkan fakta. Aku tak heran, memang begitulah sikapnya. Tapi sayangnya hatiku masih saja terasa sakit.