Baca Juga Yuk! Â "Jenis Kelamin Pekerjaan", di Antara Ketulusan yang Sering Terabaikan
Tidak berapa lama setelah bus berjalan, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi bumi dan secara perlahan menjadi semakin lebat setelah kami semakin menjauh dari terminal.
Dalam perjalanan itu bapak banyak mengobrol dengan ibu-ibu setengah baya yang disapa bapak dengan ibu taci yang duduknya berseberangan dengan tempat duduk bapak, terpisah lorong tengah bus.
Ibu-ibu  etnis Tionghoa itu terlihat sekali suka dengan anak-anak dan kebetulan melihat saya, katanya mirip sekali dengan cucunya yang tinggal di luar daerah.Â
Ibu taci tadi memberi saya permen, kue dan makan-makanan kecil lainnya, bahkan beliau juga menawarkan diri untuk memangku saya, kalau bapak mau istirahat.
Tentu saja, saya yang saat itu baru berumur 3 atau 4 tahunan seneng banget. Benar saja, akhirnya saya dipangku ibu taci, entah saya tertidur dalam pangkuan ibu taci atau bagaimana yang jelas setelahnya, saya benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.
Saya baru tersadar ketika saya merasa berada di dalam air pekat berwarna merah kecoklatan. Seseorang dengan muka penuh luka dan berdarah-darah membawa saya berenang menuju ke tepian yang menurut saya saat itu adalah sungai yang sangat besar.
Baca Juga Yuk! Membiasakan Diri Bermental Kaya
Di tepian sungai, saya diserahkan kepada seseorang yang penampakannya juga tidak kalah mengerikan. Selain sekujur badan dan pakaiannya penuh darah, sepertinya orang yang menerima saya ini, kakinya patah karena untuk menerima saya dia tidak bersiap-siap dengan berdiri, tapi ngesot.
Setelah menyerahkan saya kepada Om yang ngesot di tepi sungai, orang yang menyelamatkan saya kembali berenang menuju ke tengah sungai tempat badan bus tenggelam sampai tak terlihat bodinya yang seingat saya lumayan jauh juga dari tepian.
Selain sampai sekarang saya tidak pernah tahu siapa orang yang menyelamatkan saya saat itu, saya juga tidak tahu nasib orang itu selanjutnya.