"Sepertinya begitu," jawab Reno.
Malam yang semula penuh tawa berubah sebagai refleksi mendalam. Mereka teringat bahwa saat, meski kadang terasa melambat pada tengah hujan, selalu berjalan tanpa henti.
Hujan berhenti tepat sebelum tengah malam. Lima orang teman keluar ke teras dengan lilin kecil di tangan mereka. Reno meletakkan foto Harris di atas meja di luar, dikelilingi lilin yang menyala.
"Kepada Haris," bisik Reno.
Hujan telah berhenti sepenuhnya. Aroma tanah lembap bercampur dinginnya angin malam. Di bawah bintang-bintang, sebatang lilin kecil tetap menyala di atas meja seolah menjadi saksi percakapan yang tak ada habisnya.
"Kami benar-benar mengabaikannya malam itu," suara Lisa lembut, hampir seperti bisikan. Matanya masih tertuju pada foto Harris. "Kalau saja aku tahu lebih cepat..."
"Semuanya terjadi, Rhys," sela Reno. "Aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Kalau aku membiarkannya masuk saat itu, mungkin segalanya akan berbeda."
"Kamu tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, Reno," kata Tika. Namun getaran dalam suaranya menunjukkan bahwa dia juga didera rasa bersalah yang sama.
Bima yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi kami di sini sekarang. Malam ini kita tidak hanya mengingat Harris. Mungkin inilah kesempatan Anda untuk meminta maaf, meski terlambat.
“Permisi?” tanya Dinda sambil mengerutkan kening.
"Iya," jawab Bima sambil menghela nafas. "Bukan hanya untuk Harris, tapi untuk diri kita sendiri juga, karena kita terus menjalani rasa bersalah ini tanpa menghadapi kenyataan.