Hal senada dinyatakan oleh Sartini (2015) yang menyatakan bahwa bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antarlambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya.Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal.Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar-diri sendiri.
Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubunganantara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antar-bentukkebahasaan dengan dunia luar yang diacunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya. Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaanmaupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalamruanglingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37 dalam Sartini 2015).Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalamsistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah:
- sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atausignserta bentuk hubungan-nya,
- semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan
- dunia luar yang diacunya,
- pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitandengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
sementera itu, Nurgiyantoro (2010: 44) menyatakan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem, mengandung arti bahwa ia terdiri dari sejumlah unsur, dan tiap unsur itu saling berhubungan secara teratur dan berfungsi sesuai dengan kaidah sehingga dapat dipakai untuk berkomunikasi. Bahasa sebagai aspek material, atau alat, dalam karya sastra, lain halnya dengan, misalnya, cat dalam seni lukis, telah memiliki konsep makna tertentu sesuai dengan konvensi masyarakat pemakainya.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bentuk dan makna. Bentuk-bentuk bahasa itu mempunyai makna.Bentuk yang berbeda mempunyai makna yang berbeda.Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta sosial, budaya, ekonomi masyarakat menimbulkan perubahan dan perkembangan simbol-simbol bahasa yang juga berdampak kepada perubahan atau perkembangan makna simbol-simbol bahasa itu.Karena makna simbol-simbol bahasa berkembang, pemakai bahasa perlu mempelajari makna simbol bahasa terus-menerus.
2.3.4 Langkah Analisis Semiotik
Dalam melakukan analisis semiotik dalam karya sastra, perlu adanya langkah yang tepat. Berikut ini langkah-langkah umum yang bisa dijadikan pedoman (Cristomy  dalam Putra, 2012: 10) sebagai berikut.
- Cari topik yang menarik perhatian anda
- Buat pertanyaan penelitian yang menarik (mengapa, bagaimana, dimana, apa)
- Tentukan alasan /rationale dari penelitian anda?
- Rumuskan penelitian anda dengan mempertimbangkan tiga langkah sebelumnya (topik, tujuan, dan rationale)
- Tentukan metode pengolahan data (kualitatif/semiotika)
- Klasifikasi data:
- Identifikasi teks;
- Berikan alasan mengapoa teks tersebut dipilih dan perlu diidentifikasi;
- Tentukan pola semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hierarki maupun sekuennya atau, pola sintagmatik dan paradigmatik;
- Tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika yang ada.
- Analisis data berdasarkan:
- Ideologi, interpretan kelompok, frame work budaya;
- Pragmatik, aspek sosial, komunikatif;
- Lapis makna, intekstualitas, kaitan dengan tanda lain, hukum yang mengaturnya;
- Kamus vs ensiklopedi.
Langkah kerja penelitian semiotika menurut Endraswara (2004: 66) bahwa sistem kerja penelitian semiotika dapat mempergunakan dua model pembacaan, yakni heuristik dan hermeneutik.Pembacaan heuristik adalah telaah kata-kata, bait-bait (line) dan term-term karya sastra, sedangkan pembacaan hermeneutika merupakan penafsiran atas totalitas karya sasta.
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem tingkat pertama.Berkenaan dengan itu, Nurgiyantoro (2010: 33)bahwa sistem kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada sistem semiotik tingkat pertama.
Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan). Jadi bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang sistem bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa.Kerja heuristik menghasilkan pemahaman makna secara harfiah, makna tersurat, actual meaning.Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
Pradopo (2009: 135) juga memberi penjelasan bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.Pembacaan hermeneutik adalam pembacaan ulang sesudah heuristik dengan memberi konvensi sastra.
Berdasarkan pada beberapa pendapat pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah kerja analisis semiotik dapatlah dilakukan dengan menggunakan pembacaan heuristik dan hermeneutika. heuristik, merupakan langkah melakukan interpretasi secara referensial melalui tanda-tanda linguistik. Dalam hal ini pembaca diharapkan mampu memberi arti terhadap bentuk-bentuk linguistik yang mungkin saja tidak gramatikal. Pembaca berasumsi bahwa bahasa itu bersifat referensial, dalam arti bahasa harus dihubungkan dengan hal-hal yang nyata.Â