"Kau" lidahku keluh untuk melanjutkan kaata
Ira mengangguk. "Aku dengar semuanya kak. Aku dengar. Aku dengar pertengkaran mereka. Aku dengar bapak… memukul ibu"
Tersendat Ira menyelesaikan kalimatnya. Aku kaku. Baru ingat kalau hari ini Ira pulang sekolah cepat. Ira memang jarang menyaksikan petengkaran bapak dan ibu. Jika Ira di rumah, bapak memang lebih memilih berbincang dengan Ira. Kalaupun bertengkar, tak sampai memukul.
"Kenapa sih bapak sekasar itu kak? Apa kakak juga pernah dipukul bapak? Kenapa tadi kakak hanya diam saja? Kenapa tak menolong ibu?" tangis Ira pecah
Aku tersenyum miris. Perih mengiris kalbu. Tak mungkin kuceritakan kalau memar yang terkadang singgah di pipiku adalah perbuatan bapak. Kalau bukan sekali dua kali aku mencoba melerai pertengkaran mereka namun berakhir dengan penyiksaan bapak padaku. Tak mungkin juga kujujur kalau tadi aku sedang dalam kondisi sangat putus asa hingga hanya bisa diam mendengar peyiksaan bapak terhadap ibu. Tak mungkin aku cerita, setidaknya tidak untuk saat ini. Ini tak akan baik terhadap jiwanya. Bagaimanapun ia pasti tak pernah menyangka bapak sekejam itu.
"Kak!"
Ira menuntut jawaban.
"Berjanjilah untuk tak putus sekolah apapun yang terjadi. Kau satu-satunya harapan. Kalau kau sukses, bapak pasti senang dan akan berubah"
Kukecup keningnya dan bangkit. Keluar kamar dan kembali mendapati perih. Kulihat ibu duduk memandang nanar ke arah sungai Deli yang berair keruh. Wajah dan tubuhnya dipenuhi lebam. Berat aku mendekatinya.
"Aku lelah terus-terusan mengalah" ucapnya ketika ku sudah berada di sampingnya. Ucapannya kurespon dengan tarikan napas berat.
"Apa dia pikir aku tak bisa melawannya? Membunuhnya pun aku bisa"