Mohon tunggu...
Frank Lampard
Frank Lampard Mohon Tunggu... -

REPORTER KORAN HARIAN LOKAL,\r\ndan FANS FANATIK CHELSEA\r\nsuka menulis dan membaca tulisan di KOMPASIANA\r\n\r\nsalam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidupku Dan Ira Ada di Tangan Kedua Orang Tua Kami

6 Juni 2012   13:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:20 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau" lidahku keluh untuk melanjutkan kaata

Ira mengangguk. "Aku dengar semuanya kak. Aku dengar. Aku dengar pertengkaran mereka. Aku dengar bapak… memukul ibu"

Tersendat Ira menyelesaikan kalimatnya. Aku kaku. Baru ingat kalau hari ini Ira pulang sekolah cepat. Ira memang jarang menyaksikan petengkaran bapak dan ibu. Jika Ira di rumah, bapak memang lebih memilih berbincang dengan Ira. Kalaupun bertengkar, tak sampai memukul.

"Kenapa sih bapak sekasar itu kak? Apa kakak juga pernah dipukul bapak? Kenapa tadi kakak hanya diam saja? Kenapa tak menolong ibu?" tangis Ira pecah

Aku tersenyum miris. Perih mengiris kalbu. Tak mungkin kuceritakan kalau memar yang terkadang singgah di pipiku adalah perbuatan bapak. Kalau bukan sekali dua kali aku mencoba melerai pertengkaran mereka namun berakhir dengan penyiksaan bapak padaku. Tak mungkin juga kujujur kalau tadi aku sedang dalam kondisi sangat putus asa hingga hanya bisa diam mendengar peyiksaan bapak terhadap ibu. Tak mungkin aku cerita, setidaknya tidak untuk saat ini. Ini tak akan baik terhadap jiwanya. Bagaimanapun ia pasti tak pernah menyangka bapak sekejam itu.

"Kak!"

Ira menuntut jawaban.

"Berjanjilah untuk tak putus sekolah apapun yang terjadi. Kau satu-satunya harapan. Kalau kau sukses, bapak pasti senang dan akan berubah"

Kukecup keningnya dan bangkit. Keluar kamar dan kembali mendapati perih. Kulihat ibu duduk memandang nanar ke arah sungai Deli yang berair keruh. Wajah dan tubuhnya dipenuhi lebam. Berat aku mendekatinya.

"Aku lelah terus-terusan mengalah" ucapnya ketika ku sudah berada di sampingnya. Ucapannya kurespon dengan tarikan napas berat.

"Apa dia pikir aku tak bisa melawannya? Membunuhnya pun aku bisa"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun