Kudengar bunyi tamparan di sambut tangis ibu yang pecah saat itu juga.
"Kau mengguruiku hah?! Dasar wanita pembawa sial! Aku susah seperti ini gara-gara menikahimu"
Kalimat-kalimat bapak kudengar bersamaan dengan suara gaduh lainnya.
Huuubak..bukhuuu..plak..huuu!!
Kian dalam kubenamkan kepala ke lutut. Miris.
Cerita ini hanyalah cerita biasa. Tentang seorang gadis tak istimewa yang mengutuk hari-hari yang ia lewati. Menyesali kenapa ia dilahirkan. Dan berharap Tuhan segera mencabut jatahnya bernapas. Gadis yang terlahir dari rahim seorang wanita bersuamikan penjudi. Ups.. maaf! Bukan terlahir, tapi.. hmm.. dibesarkan. Mungkin. Tapi entahlah! Aku pun binggung. Bapak selalu bilang kalau aku bukanlah anak mereka. Tapi ibu bilang ia adalah ibuku. Dan sampai sekarang aku belum mendapatkan kepastian. Apakah aku memang anak mereka, atau hanya dibesarkan oleh mereka. Entahlah! Aku tak mau ambil pusing. Sebab hidup ini memang sudah memusingkan, menurutku.
Kami tinggal di bantaran Sungai Deli. Sehari-hari ibu mencari dan menunggu sampah yang mengalir di belakang rumah kami. Jika masih bisa digunakan akan kami gunakan. Jika bisa dijual ya dijual. Barangnya pun macam-macam. Sedapatnya. Alat-alat rumah tangga, pakaian bahkan sayuran. Pernah ibu menyayur tumis kangkung yang ia dapati hanyut bersama sampah-sampah lain yang memenuhi sungai Deli. Ibu juga menumpulkan plastik-plastik dan benda-benda lainnya. Pokoknya apa saja yang ia dapat dan bias diuangkan ia ambil.
Aku?! Sudah lima tahun sejak lulus SMP menggeluti profesi sebagai pengamen jalanan. Lima tahun. Waktu yang tak pernah kukira sebelumnya. Awalnya aku berencana mengamen hanya untuk mengumpulkan modal untuk membuka suatu usaha. Namun tak pernah kesampaian. Uang hasil mengamenku selalu habis untuk biaya Ira, adikku sekolah. Membantu ibu membeli kebutuhan hidup. Dan… sering dirampas bapak untuknya berjudi.
Bapak sendiri sedari dulu tak pernah berubah. Berjudi dan berjudi. Dan bapakku termasuk penjudi yang tak pintar. Terbukti ia tak pernah membawa uang saat pulang ke rumah. Entah memang selalu kalah, atau kalaupun menang ia buat poyah-poyah dengan teman-temannya. Ia pulang hanya untuk makan, minta uang dan bertengkar dengan ibu.
Oya ada satu lagi aktifitasnya jika pulang : melepaskan kangen pada Ira, anak kesayangannya. Aku tak tahu kenapa bapak teramat menyayangi Ira. Tak pernah sekalipun kulihat bapak kasar terhadap Ira. Ia selalu berkata manis pada adikku. Mengelus-elus kepalanya. Menanyakan bagaimana sekolahnya. Dan menasehati agar Ira bagus-bagus sekolah supaya kelak jadi orang sukses. Padahal kulihat prestasi Ira tak lah begitu gemilang. Masih lebih bagus prestasiku saat SMP dulu. Aku tak iri dengan Ira. Justru senang, di antara kami masih ada yang disayang bapak. Namun aku heran kenapa bapak berlaku begitu. Dulu, sedikitpun ia tak ambil peduli dengan prestasiku.
Cekrek!!