"Wah, Pak Soelis belum pulang. Tadi saya sempat melihatnya menaiki angkot. Hendak ke Tidar mungkin."
"Oalah begitu toh. Terima kasih nggih pak."
"Iya nak."
Ke mana Bapak pergi? Katanya hendak mengamen sampai siang saja lalu beristirahat. Ah, mungkin Bapak sudah bangun dan hendak menikmati hutan Tidar itu. Yang banyak monyetnya.Â
Setelah itu, aku pun meninggalkan angkringan itu dan kembali ke tempat yang aku sebut rumah, tetapi hanyalah sebuah bekas kos-kosan yang tidak dirawat oleh pemiliknya. Setidaknya, aku punya tempat untuk pulang.
Sesudah kejadian itu, Bapak sering kali pergi saat sore hari. Entah apa yang beliau lakukan. Aku pun hanya bisa bertanya-tanya dari jauh di dasar sanubari ini. Tak elok rasanya jika aku harus bertanya secara langsung dengannya.Â
Pernah suatu siang aku mengikutinya secara diam-diam, tetapi sepertinya Bapak tahu bahwa aku mengikutinya, sehingga beliau tidak jadi pergi dan kembali pulang. Aku hanya bisa penasaran dengannya. Padahal hubungan kami sudah baik, amat baik, tetapi mengapa sekarang seperti ada jarak yang memisahkan kami? Ah, dunia ini aneh.
***
Sore ini aku kembali ke angkringan, di terminal. Seperti biasa aku memesan wedang jahe dan bertanya tentang bapak, kepada penjaga angkringan itu.
"Namanya juga orang tua, pasti ada keperluan. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi, mungkin dia ingin merenung, atau sekadar menikmati kesendiriannya." Nasehat penjaga angkringan itu kepadaku.
Ada benarnya hal itu. Namun, Bapak adalah orang yang terbuka. Masakan ia selalu pergi secara diam-diam? Bukankah jika ada masalah sebaiknya dibahas secara bersama? Atau, apa urusanku terhadap Bapak? Ah, dialah Bapakku, aku seharusnya tidak perlu ikut campur. Namun, ia Bapak. Bapakku. Aku patut mengkhawatirkannya. Benar toh?Â