Tanpa bantuan sebuah lampu pun aku bisa menghayati ruangan sekitar dengan nada musik yang melantun mengalahkan keheningan purnama yang tengah menemani kami dalam bayangan yang minor. Malam yang harmonis ini terus menemani kami hingga fajar mulai merekah.
Pagi itu aku terlempar dari lelapnya tidurku. Aku terlelap di ruangan ini. Pria itu tengah berdiri, mengenakan jaketnya lalu mengambil gitar kecilnya.
"Bapak mau ke mana?"
"Aku mau berangkat bekerja."
"Bekerja?"
"Ngamen."
"Saya ingin ikut."
"Kamu tunggu di sini saja. Aku akan kembali pukul sepuluh."
***
Langit sudah membiru, biru yang cerah. Aku masih berada di ruangan ini. Bosan. Kesepian batin melamunkan fisikku. Di ruangan ini hanya ada satu ranjang di pojok. Hanya itu saja.Â
Aku mencoba keluar dari ruangan ini lalu keluar menuju terminal. Hanya ada lalu lalang bus dan angkutan kota saja. Hidupku ini seolah tidak ada artinya setelah aku kehilangan mereka. Aku kembali ke ruangan itu. Aku menjatuhkan tubuhku di ranjang ditemani oleh kehampaan nasib seorang anak yang kehilangan segalanya. Sekarang aku tengah belajar. Belajar menerima. Belajar menjadi hal.