“Ah.. kau ini sahabatku dan kaulah satu-satunya yang pantas untuk itu!”
“Terima kasih, Tuan Yoshi, tapi apapun itu, yang hamba janjikan atas darah yang mengalir didalam diri hamba, hamba akan selalu mendampingi Tuan Yoshi, melindungi Tuan Yoshi sekalipun harus menyerahkan nyawa hamba”
“Hahaha… Tak perlulah sampai mengorbankan nyawa! Aku akan memimpin wilayah ini dengan cinta, bukan dengan permusuhan dan peperangan yang harus mengorbankan nyawa”
“Bukankah kematian itu adalah puisi cinta bagi seorang samurai, Tuan Yoshi? Begitulah yang biasa ayahku sampaikan tiap malam sebelum aku tidur dan saat pagi menjelang”
“Ah… itukan ayahmu yang bilang! Ayahmu hanyalah orang tua kolot dengan dahi yang berkerut dan tak pernah tersenyum sama sekali. Sama seperti halnya ayahku yang pikirannya hanya dipenuhi urusan wilayah ini saja”
“Tapi, Tuan Yoshi...”
“Tapi apa, hide? Bukankah memang seperti itu tabiat orang tua, sedangka kita yang masih anak-anak ini cukuplah bermain dan menikmati indahnya padang rumput ini. Ayo, Hide! Cepat naik kudamu dan kejar aku! Hahahaa…”
“Tunggu, Tuan Yoshi!”
****
(Bersambung)
Jakarta, 25 Oktober 2010