Mohon tunggu...
Jusak
Jusak Mohon Tunggu... Konsultan - Pelatih Hukum Ketenagakerjaan Pro Bono dan Direktur Operasional di Lembaga Pendidikan

Memberi pelatihan kasus-kasus ketenagakerjaan berdasarkan putusan hakim, teamwork, kepemimpinan. Dalam linkedin, Jusak.Soehardja memberikan konsultasi tanpa bayar bagi HRD maupun karyawan yang mencari solusi sengketa ketenagakerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Saat Perusahaan Melakukan Efisiensi, Mogok Kerja Harus Dilakukan Hati-Hati

10 Juni 2023   20:46 Diperbarui: 10 Juni 2023   20:47 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi dan persaingan telah menjadi kekuatan yang membuat efisiensi tidak lagi menjadi pilihan tetapi kebutuhan. Sayang sekali kebutuhan ini dipaksakan pada semua aktivitas perusahaan dan kadang  mengabaikan kemanusiaan.

Kita berharap efisiensi memperhatikan kemanusiaan. Termasuk sebut saja PT Tedi yang melakukan PHK tiba-tiba terhadap 74 orang karyawannya. Para karyawan tidak terima di PHK awal Mei ini. Mereka bilang ada karyawan yang sedang cuci darah juga kena PHK. Semua korban PHK lantas melakukan mogok kerja, menyampaikan aspirasinya. Mereka berorasi di pinggir jalan kota Depok, hingga membuat lalu lintas macet.

Yang adil itu (tidak) berguna

Prinsipnya para korban PHK itu minta keadilan. Mereka menolak PHK sepihak dari perusahaan dengan kedok efisiensi. Sebenarnya aspirasi para korban ini cukup membingungkan, karena menganggap efisiensi sebagai kedok. Dimana-mana efisiensi itu memang wajar saja, bukan pura-pura. Semua perusahaan juga terpaksa melakukan efisiensi. 

Di undang-undang ditulis dengan jelas efisiensi untuk menghindari kerugian itu adil dengan syarat tertentu; Efisiensi bukan sebuah kedok atau ketidakadilan, tapi keterbukaan dan adil pada saat tertentu. Seperti kata seorang ekonom Inggris: Setidaknya seratus tahun lagi, perusahaan harus berpura-pura pada dirinya sendiri dan pada setiap orang bahwa yang adil itu busuk dan yang busuk itu adil; karena busuk itu berguna dan adil itu tidak. 

Karena itu masalahnya apa yang diharapkan dari mogok kerja ini. 

Apa perusahaan harus mempekerjakan karyawannya kembali, atau harus membayar pesangon lebih besar atau apa?

Mari kita melihat 3 kejadian mogok kerja dan akibatnya, yang berdasarkan alasan efisiensi. Biarlah karyawan menjadi lebih bijaksana daripada membuang waktu dan tenaga.

  1. Kejadian di Samarinda, Mogok Kerja Dua Minggu

Di sebuah perusahaan distributor di Samarinda, terjadi efisiensi. Saat di awal tahun 2021 itu, pandemi masih merajalela dengan gawat. Perusahaan kewalahan menghadapi drastisnya penurunan pendapatan. Beberapa bulan sebelumnya, perusahaan telah memutasi sejumlah karyawan dan memberhentikan para karyawan kontrak.

Bulan Januari tahun itu, untuk mencegah kerugian yang lebih besar, dengan berat hati perusahaan melakukan PHK terhadap 20 karyawannya. Apapun pekerjaan atau industri di masa pandemi, hidupnya sulit, tetapi kita semua mengalami masa sulit dan hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah saling mendukung dan melanjutkan hidup bersama.

Apa semua orang berpendapat sama?

Orang memiliki kendali atas perspektifnya, tidak atas situasinya.

Tidak! Dari perspektif karyawan korban PHK, perusahaan telah berusaha memberangus serikat pekerja. Kebetulan mereka semua anggota serikat pekerja. Serikat pekerja waktu itu sedang dalam proses berjuang untuk mempertahankan kesejahteraan karyawan. Padahal, di lain pihak perusahaan memperjuangkan pendapatan untuk mencegah kerugian.

Para anggota serikat pekerja ini telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan, mulai dari menuntut perusahaan untuk mendaftarkan mereka pada program Bantuan Langsung Tunai terkait pandemi, sampai melakukan mogok kerja. 

Mogok kerja ini tidak main-main malah terkesan anarkis, karena mereka melakukannya selama 2 minggu. Mereka bahkan sampai menghadang truk yang membawa barang dagangan dari luar kota, agar tidak masuk ke area gudang perusahaan. Saat itu benar-benar waktu yang sulit bagi perusahaan.

Apa perspektif perusahaan?

Kerja keras dan percaya diri

Manajemen tak percaya diri untuk menyampaikan pesan bahwa mereka sedang mengalami masa sulit dan semua itu akan berlalu. Betul, perusahaan sendiri memang mengurangi berbagai hak normatif karyawan, dari nilai THR, gaji minimum, kesehatan, tunjangan lembur dan banyak lagi. Tapi perusahaan terpaksa. 

Saat para karyawan mogok kerja, langkah praktis perusahaan adalah tetap kerja keras. Langkah normatif perusahaan adalah melakukan pemanggilan. Perusahaan membuat panggilan dua kali berturut-turut secara patut agar para karyawan kembali bekerja, namun diabaikan oleh karyawan.

Memang yang perusahaan butuhkan dalam hidup ini adalah kerja keras dan percaya diri, dan kemudian kesuksesan pasti datang.

Apa tanggapan perusahaan?

Satu-satunya cara hidup dan menjadi lebih baik adalah terus bergerak maju. 

Perusahaan melakukan PHK. Perusahaan percaya atas dasar pasal 52 PP 35 tahun 2021, yang mengatur tentang pelanggaran peraturan perusahaan, bahwa karyawan melanggar peraturan. Pesangon-nya 0,5 kali ketentuan. Anehnya memang menurut para karyawan, di perusahaan itu tidak punya aturan perusahaan.

Seharusnya perusahaan mendasarkan PHK atas mangkir pasal 51, di PP yang sama. Dimana pasal itu  mengatur tentang karyawan yang sudah dipanggil secara patut, tapi tidak mau bekerja kembali. Pesangonnya tidak diberikan. Hanya uang penggantian hak yang diberikan. 

Namun prinsipnya mogok kerja tidak membuat tuntutan karyawan dipenuhi, malah karyawan di PHK. Karyawan-pun tidak sepakat dengan perusahaan dan menuntut ke pengadilan memakai undang-undang lama. Mereka meminta pesangon PHK 2 kali ketentuan, padahal PP 35 mengatur hanya 1 kali ketentuan. Sebenarnya karena mereka tidak cermat, kerugian mereka diawali dari ketidaksepakatan; tidak hanya tidak sepakat pada undang-undang, tapi juga dengan diri mereka sendiri.

Apa tuntutan memakai undang-undang lama diterima?

Belas kasihan atau keadilan yang kaku

Jelas tidak! Hakim memang mengabulkan segala kekurangan normatif pada hak karyawan. Namun di lain pihak karyawan tetap dibiarkan oleh hakim di PHK. Hakim tidak kaku meminta perusahaan membayar sesuai tuntutan karyawan. Pesangonnya karyawan hanya atas dasar pasal 52 PP 35, pelanggaran atas peraturan perusahaan. Karena itu nilai pesangon nya 0,5 kali ketentuan, sesuai pemahaman perusahaan.

Tampaknya perusahaan masih kasihan pada karyawan yang menuntut itu. Itu bagus! Seperti kata Abraham Lincoln: Saya selalu menemukan bahwa belas kasihan menghasilkan buah yang lebih melimpah, daripada keadilan yang ketat. 

Mogok kerja memang menghasilkan sesuatu. Hak normatif mereka yang tidak dipenuhi menjadi dipenuhi. Tapi tidak lebih dari itu.

2. Kejadian di Depok, Pesangon dari 2 Kali menjadi 1 Kali

Sebuah pabrik minuman di Depok melakukan PHK. Selama pandemi memang pendapatan pabrik ini sangat menurun. Hutang ke lembaga keuangan tidak terbayar. Setelah memutuskan PHK, perusahaan berjanji membayar uang pesangon, tapi secara cicilan. Saat itu perusahaan menjanjikan nilai sebesar 2 kali ketentuan. Karyawan yang sudah kena PHK menerima kondisi ini dan percaya atas janji perusahaan.

Ditepatikah janji itu?

Janji membangun jembatan meski tak ada sungai.

Namun janji ini tidak ditepati. Selama 2 tahun, karyawan tidak dibayar pesangonnya. Akhirnya karyawan yang masih bekerja sebanyak 200 orang dan yang sudah PHK sekitar 200 orang juga bersatu. Mereka melakukan mogok kerja di akhir tahun 2020 di depan lokasi pabrik. Mereka menuntut hak-hak mereka dibayarkan sesuai janji.

Saat itu perusahaan sedang mengajukan pailit ke pengadilan. Intinya perusahaan tak punya uang, tak mungkin membayar, karena tak mendapat penghasilan. Bahkan perusahaan dapat menunjukan hasil audit bahwa mereka rugi selama 2 tahun berturut-turut. Seperti seseorang mantan pejabat di Uni Soviet berkata, politisi berjanji akan membangun jembatan meski tidak ada sungai. Perusahaan berjanji akan membayar meski tidak punya uang.

Apa tindakan karyawan?

Berikan cahaya dan orang akan menemukan jalannya

Akhirnya karena tak kunjung dibayar, karyawan menuntut ke pengadilan sebesar nilai yang dijanjikan di awal PHK. Setelah mendengarkan saksi-saksi dan melihat laporan audit, hakim memberi keputusan lain. Perusahaan tetap harus membayar hutang pesangon pada karyawan, namun nilainya dikurangi. Dari 2 kali menjadi 1 kali ketentuan. Hal ini atas dasar pasal 156 undang-undang lama Ketenagakerjaan. Perusahaan yang pailit hanya membayar pesangon 1 kali ketentuan. Sebuah pencerahan bagi perusahaan.

Mogok kerja karyawan di Depok ini tak membuat perusahaan membayar sesuai janji. Sebaliknya, saat mereka minta keputusan pengadilan, hakim memutuskan mengurangi uang pesangon. Tampaknya perusahaan mengikuti apa yang Napoleon Bonaparte bilang, jika Anda ingin sukses di dunia, janjikan segalanya, jangan berikan apa pun. Atas dasar perusahaan rugi, nilai pesangon diturunkan dari 2 kali menjadi 1 kali ketentuan.

3. Kejadian di Serang, Mogok Kerja Dianggap Mangkir

Di Mei 2020, sebuah pabrik aluminium di Serang yang sedang dalam kesulitan keuangan karena pandemi. Perusahaan tetap ingin menjalankan usahanya, walau pendapatan amat jauh menurun. Karena itu tiba-tiba mereka memotong gaji karyawan dan THR secara mendadak. 

Apa tindakan karyawan itu?

Rencana bagus yang dieksekusi sekarang lebih baik daripada rencana sempurna yang dieksekusi minggu depan.

Menanggapi kejadian itu, sekitar 20 orang langsung melakukan mogok kerja. Tanpa tanpa rencana, persiapan matang, tanpa pemberitahuan sebelumnya seperti amanat undang-undang, mereka berorasi di depan pabrik. Mereka menuntut keadilan, menuntut seluruh hak-hak mereka dikembalikan. Seperti pendapat Martin Luther King, setiap langkah menuju tujuan keadilan membutuhkan perjuangan; pengerahan usaha yang tak kenal lelah dan perhatian yang penuh semangat dari individu-individu yang berdedikasi.

Perusahan berpendapat lain. Mereka menganggap dasar mogok kerja itu tidak sah, karena tanpa pemberitahuan lebih dulu. Bahkan menyatakan bahwa perusahaan merugi besar, karena mereka mogok kerja, maka mesin-mesin pabrik tak dapat beroperasi. Setelah 3 hari mogok kerja, perusahaan mengirimkan panggilan agar mereka kembali bekerja, namun mereka menolak.

Apa tindakan logis perusahaan?

Pemimpin bertindak praktis, namun berbicara dengan bahasa visioner.

Akibatnya manajemen memutuskan PHK, untuk kelangsungan perusahaan. Bulan berikutnya, perusahaan mem-PHK mereka dengan menyatakan bahwa mogok kerja tidak sah dan karyawan dianggap mengundurkan diri. Mereka diberikan pesangon sesuai ketentuan pengunduran diri, bukan ketentuan PHK karena efisiensi. Hakim menguatkan keputusan perusahaan.

Atas dasar kejadian mogok kerja tidak sah, hakim menetapkan bahwa mereka mangkir. Mereka hanya berhak mendapat uang penghargaan masa kerja saja, tidak pesangon; pasal 168. Mereka minta gaji penuh dan THR, bukannya beruntung, malah buntung. Goldratt seorang ahli manajemen berkata nasib baik adalah saat kesempatan bertemu dengan persiapan, sedangkan nasib buruk adalah saat kurangnya persiapan bertemu dengan kenyataan. 

Pentingkah mogok kerja?

Nasib buruk tak pernah kalah dalam balapan. 

Berdasarkan kisah-kisah di atas, mogok kerja walau dilindungi undang-undang perlu diterapkan dengan hati-hati. Karyawan perlu memikirkan berbagai resikonya. Tidak pernah ada pesangon lebih besar karena mogok kerja. Ada karyawan yang malah merugi karena dianggap mogok kerja tidak sah. Ada yang mendapatkan hak-hak normatifnya. Ada yang malah disesuaikan atau dikurangi haknya berdasarkan argumen perusahaan bahwa mereka merugi.

Dari secuil kisah-kisah di atas tidak ada karyawan yang mendapat keuntungan lebih banyak dengan melakukan mogok kerja. Efisiensi dan PHK sudah menjadi kebutuhan, diperhitungkan dengan adil menurut undang-undang dan tak ada kepura-puraan. Jadi berhati-hatilah bila karyawan akan mogok kerja.

Seperti kata pepatah anjing menggonggong, kafilah berlalu. Mogok kerja terjadi, perusahaan berjalan terus. Keserakahan dan efisiensi harus menjadi dewa kita untuk waktu yang lebih lama lagi.

  1. https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/31/12055311
  2. Putusan 18/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Smr.
  3. Putusan 89/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Bdg.
  4. Putusan 90/Pdt.Sus-PHI/2021/PN Srg.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun