"Kalau Imlek juga ramai, saya pernah menyaksikan Orkes Keroncong Candra  Kirana tahun lalu. Tapi aku lebih suka kalau ada pertunjukkan wayang golek, " kata ayah Ayah Widy.
Sepupu Widy juga hadir dengan ayah dan ibu mereka. Â Dua keluarga besar saling berkenalan. Ada lebih dari seratus orang berkumpul.
"Tempat ini bagus dan tenang. Tetapi saya khawatir apa bisa selamanya, kalau Bandung berkembang pesat, apa Situ Aksan bisa bertahan? Nggak bayangkan kalau penduduk kota dua kali lipat sekarang!" ujar Syafri.
"Iya, sih dengar-dengar Bandung diusulkan menjadi ibu kota?" celetuk seorang sepupu Widy, namanya Fajar Purnama, usianya seusia Syafri, pemilik sebuah pabrik taucho di Cianjur. Â Dia datang bersama istri dan dua orang anaknya yang masih kecil.
"Wali Kota Enoch pernah menyinggung hal itu, Â tetapi secara politik tampaknya kurang didukung. Ideal sih, dekat dengan Jakarta. Ibaratnya Washington DC itu Bandung dan New York itu Jakarta," tutur Syafri.
"Bagaimana kerja di pertanian? Â Lebih nyaman daripada jadi jurnalis?" sela Azrul.
"Lumayan. Dari segi penghasilan iya, Â Kami panen puasa lalu. Nanti mau mengembangkan lagi Bandung Selatan. Â Mudah-mudahan tidak ada gerombolan lagi. Â Tetapi aku dan Widy punya rencana punya penginapan dengan kebun sayur, di mana wisatawan bisa petik stroberi atau kangkung segar dan langsung memasak," ucap Syafri.
"Waah, dia juga mempengaruhi Norma untuk buka usaha serupa di Brastagi," kata Azrul.
 Sekitar sejam kemudian datang geng "Bandung Memang hebat",  Angga, Utari, Hein, Rinitje, Yoga, Paramitha.  Mereka memang juga diundang. Keluarga Widy dan Syafri sudah mengenal mereka.
"Widy masih di danau?" tanya Utari.
"Gampang itu, mereka pasti kembali cepat, kalau kita mainkan lagu rock n'roll," kata Angga tertawa renyah. "Kau bawa grampohonenya kan?"