Pulau Panggang, 22 Maret 1957
"Widy! Â Verdomme! Â Tetapi itu yang buat aku jatuh cinta padamu!" begitu Syafrie menginjakan kaki di pasir Pulau Panggang.
Perempuan hitam manis itu malah melompat minta digendong Syafrie. "Hatur nuhun Kang! Besok pagi  kita jalan-jalan ya!" Dia tertawa memperlihatkan barisan gigi indahnya.
"Pulau apa ini? Listrik tidak ada?" Azrul menggerutu.  Sebaiknya istrinya Norma Ginting meloncat-loncat girang bersama Jilly. Azrul dan Norma  tidak membawa bayi mereka Junus Bahar. Angku Mansyur tidak memperbolehkan.
Bang Mamat yang mengemudikan perahu motor cukup besar hanya tertawa. "Sudah aku bilang ke Pulau Kelapa saja, tetapi tiga perempuan inginnya pulau yang bisa bikin kalian sengsara ini."
Lutfi, Samson dan David terperanggah. Â Tiga anak badung ini sebetulnya sudah berapa kali ke kampung terpencil di Jawa Barat, tetapi kalau menyusahkan mereka tinggal pulang. Â Tapi ini di pulau, pulang harus serombongan.
Medina tidak harus berpihak pada siapa. Tetapi  naluri petualangannya juga kuat.Â
Mereka dibantu  Kang Urip, jawara Banten yang dekat dengan Hanief Andrian untuk mengawal mereka.  Pulau ini banyak orang Banten juga, kebanyakan dihuni nelayan.  Kepulauan seribu memang dikenal pemasok ikan untuk Jakarta. Mereka menangkap ikan dengan bubu besar.  Ketika tiba di pulau,  mereka melihat sepuluh bubu besar siap untuk melaut malam itu.Â
Urip disambut kawannya  Sabeni, yang masih kerabat dengannya menyambutnya bersama petugas kelurahan, Nasir.  Sabeni juga jawara yang dipercaya untuk jadi keamanan di kampung.  Sebetulnya ada dua polisi ditempatkan di situ, tetapi malam itu mereka sedang berpatroli.
"Malam ini menginap di rumah saya saja, ada dua rumah kosong memang buat tamu, satu buat perempuan dan satu buat laki-laki," ucap Nasir.
"Wah, kita sudah bawa tenda," kata Syafri.