Taman Hutan Raya, Bandung, 1 Agustus 2014
Dalam hutan kota tersisa.
Aku ingin senyap dalam lembab habis hujan, larut dalam embun dan humus
Menikmati teriakan monyet ekor panjang berlompatan di antara pohon
Menikmati pita morbius putaran berikutnya
Aku check out pagi-pagi dari hostel. Sudah bisa dipastikan tidak jadi wawancara Annisa Indah. Pukul 8 pagi tiba di gerbang Dago Pakar dan mulai perjalanan hiking hingga tiba di jembatan perbatasan menuju Maribaya  pukul 9.20.  Tetapi aku memutuskan tidak menemus Maribaya, melainkan turun kembali setelah singgah di saung makan nasi merah timbel dengan dadar dan ikan peda.  Makanan enak untuk mengisi energi sebelum turun jalan kaki.
Pada perjalanan naik dan turun aku melihat longsor menutupi jalan setapak dan ada jalan amblas. Untung kejadian ini ketika tidak orang lewat.
Waktu turun, bersama tiga cewek muda mengaku alumni SMK 22 Kebayoran, Jakarta. Rata-rata kelahiran 1995 atau 1996. Â Mereka mengeluh habis "dikerjain" waktu lewat Goa Belanda, bukan saja harus bayar lampu senter Rp5.000 tetapi juga pemandu Rp25.000. Rupanya para guide dadakan ini mengira semua orang Jakarta itu orang kaya. "Kami seperti dipaksa," katanya.
Ketiga cewek itu nekat berangkat jam 12 malam dan tiba di Bandung pukul 3 pagi. Jadi mereka belum tidur dan bertekad tidak menginap. Â Kuat sekali fisik mereka bahkan mereka malam nanti malam nanti mau ke Bukit Moko. Â Lah, setelah itu kan harus tidur? Masa langsung pulang?
Kami mengobrol soal backpacker. Salah seorang di antaranya bernama Rika cerita enaknya jadi backpacker di perjalanan selalu dapat teman baru. Tidak harus tukar-menukar nomor ponsel. Bahkan kalau yang naik gunung saling tolong menolong.