Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis Bagian Satu

11 Juni 2024   10:07 Diperbarui: 11 Juni 2024   10:22 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampoeng Jazz Mei 2014-Foto: Irvan Sjafari

Sebuah Rumah di kawasan  Cipaganti, Bandung, Sabtu 2 Februari 1957

 

"Widy!" teriak Syafri. "Mari kita  dansa rock n roll!"

Gadis hitam manis itu  tersenyum. Dia bangkit dari kursinya  dan menerima uluran tangan Syafri. Tingginya 158 cm hanya terpaut berapa cm dari laki-laki itu.  Rambutnya panjang tergerai hingga ke bahu. 

"Hey!  Aku nggak diajak! Kang Syafri maunya sama Widy," protes seorang gadis berambut kepang dua. Hanya saja dia lebih tinggi dari gadis yang dipanggil Widy.

"Ya, sudah anjeun sama aku atau Hein!" ajak  pria yang satu lagi yang tingginya sebaya Syafri.

"Sama Kang Angga saja!  Kalau sama Hein, nanti ada yang marah" seloroh Utari.

"Pacarnya lagi tidak ada," kata Widy.

"Jangan ah, nanti kalau ketahuan lebih tidak enak," ucap Utari sambil berdiri, menyambut uluran tangan Widy.

Sementara Hein, pemuda bangsa Belanda itu menyiapkan piringan hitam.  Rumahnya memang dijadikan tempat tongkrongan Geng yang menamakan dirinya Bandung Memang Hebat.  

Mereka dipimpin Raden Angga,  seorang insinyur  yang baru lulus dari Fakultas Teknik Bandung,  Hein adik kelasnya masih kuliah di jurusan Sipil,  Syafri juga baru lulus dari  Fakultas Sastra dan Filsafat UI,   Utari,  mahasiswi IKIP  Bandung , sementara Widi masih duduk di bangku SMA di kawasan Belitung, yang paling muda.

"Lagunya Rock Around The Clock dari Bill Halley and The Comets!" teriak  Hein.

Baru hendak memutar piringan hitam. "Ikut!!" teriak Rinitje, gadis Manado pacarnya Hein yang baru datang dengan tergopoh-gopoh.

"Tumben telat, biasanya acara dansa kamu paling dulu!" kata Hein.

"Maaf, maaf, tadi  harus menemani Mama dulu mengambil jahitan di Pasar Baru,"

 

One, two, three o'clock, four o'clock, rock
Five, six, seven o'clock, eight o'clock, rock

Tiga pasang anak muda itu langsung bergerak dengan lincah berdansa mengikuti irama lagu yang memang energik dan dinamis.

"Minggu depan ada acara dansa di Hotel Savoy Homman. Kalau kalian mau saya bayarin!"   kata Angga sambil bergerak lincah memutar tangan Utari.

"Mahal, sayang uangnya atuh!" kata ujar Utari.

"Bisa meradang, kakak kamu yang aktivis  GMNI itu,"sela  Syafri.  "Sepupuku orang HMI juga bakal marah!"

Syafri juga berupaya dengan lincah  mengikuti gerakan Widy, yang mahir bergoyang rock n roll 

"Ya, sepupuku aktivis Nanoman Sunda juga cerewetnya bukan main," kata Angga.

"Kang Dayat?" kata Syafri."Mengapa banyak yang tidak suka dengan rock n roll? Aku dengar desas-desus bahwa kalau sampai digelar di Homman bakal mendapat reaksi keras dari kalangan termasuk komunis."

"Dianggap produk kapitalis, haiyaa.." celetuk Angga. "Ini Cuma buat pengusir kesuntukan."

"Habis ini lagu Bill Halley, lagu Elvis yaaa!!" seru Widy dengan menu semangat.

"Siap geulis!" kata Hein.

"He, anak Gunung seperti kamu suka lagu rock n roll juga," kata Safri. "Kapan naik bareng?'

"Sok Atuh! Tetapi aku nggak berani kalau di Jawa Barat takut sama gerombolan itu! Aku hanya Gede Pangrango sekali itu pun dikawal sepupuku yang tentara!"

"Iya, sih, paling Gede Pangrango, kayaknya sudah aman, mereka kan hanya menguasai Priangan Selatan!"

Mereka berdansa dengan dua piringan hitam dari Bill Halley dan Elvis Presley sampai bekeringat.  Kokom, pembantu di rumah Hein sudah menyediakan minuman. "Ayo minum dulu, pasti haus. Ini limun jeruk enak. Sudah itu ditunggu di belakang makan oleh Ibu."

"Woow! Mama kamu baik Hein!" kata Rinitje.

"Makaroni Schoetel dipanggang khusus untuk teman-teman Hein!" terdengar suara Clarissa  sepupu Hein di Jakarta.

"Sepupu You sudah besar?" tanya Angga.

"Iya, sudah di bangku SMA Santa Ursula," jawab Hein.

Mama Hein, Suzzane menyambut mereka ramah. Juga ayahnya Rudolf,  memiliki sebuah toko besar di kawasan Braga selain bekerja di sebuah perusahan Belanda di Jakarta.  Tak lama kemudian Will, adik Hein juga datang.  Selain Schoetel, mereka juga menikmati segelas susu hangat rasa stroberi.

"Menggemari Elvis dan Bill Halley boleh-boleh saja, tetapi gaya busana jangan ikut-ikutan para crossboy itu. Papa dengar kamu dan Angga berselisih dengan salah satu kelompok," kata Rudolf.

"Mereka menganggu aku," kata Rinitje. "Kak Hein dan Kang Angga  membela aku. Juga Kang Yoga."

"Yoga? Sepupu anjeun kan? Geng kita juga, tetapi dia jarang nongkrong. Dia memang crossboy juga," sela Syafri.

"Iya, gara-gara itu geng Yoga, kami  berselisih dengan geng itu," timpal Angga.

"Jangan keluar malam kalau tidak perlu. Kalau dulu ada jam malam karena banyak gerombolan bersenjata, kalau sekarang ada crossboy," nasehat Rudolf.

Bandung, Dipati Ukur, Kampoeng Jazz, Kampus Unpad 3 Mei 2014

Terlalu siang ke Bandung. Citytrans penuh.  Saya beralih ke Cipganti berangkat dari Brasco, Fatmawati.  Saya sebetulnya kurang suka berangkat terlalu siang karena tidak efesien. Kalau saya berangkat pagi bisa mendapatkan banyak hal kalau ada agenda pada malam hari. Untung agendanya hari ini tunggal menonton Kampoeng Jazz untuk hiburan, baru besoknya ke Tasikmalaya untuk tugas Majalah Plesir.

Saya bersama seorang ibu dan anaknya dari Jambi ingin tes kedokteran di sebuah universitas ternama di Bandung naik angkot dari Pondok Labu, karena ibu itu tidak tahu harus naik dari mana.  Akhirnya kami sama-sama dapat kursi.  Sang Ibu lebih gesit dari anaknya yang tertatih-tatih dengan tas ransel. Kami berangkat sekitar 13.30.  Penumpang lain ada seoran ibu dan seorang remaja yang juga mau menonton Kampoeng Jazz.

"Kampoeng Jazz sudah mulai jam dua siang. Apa nggak terlambat?" kata remaja itu.

"Nggak juga. Soalnya yang top biasanya pada pertunjukkan setelah maghrib," sahutku.

Aku menargetkan menonton penampilan Yunita Rachman dan kolaborasi Monita Tamahela dan Tompi.  Untungnya mereka malam hari.  Setibanya di Bandung pukul 16.00 saya langsung ke Xpress Backpacker di kawasan Pascal. Seetalah dapat tempat meluncur ke kampus Unpad Dipati Ukur tempat acara.  Saya sudah memasuki arena pukul 19.00.

Berita di Pikiran Rakyat pada 2013 membuat saya penasaran dengan Yura ingin seperti apa penampilannya. Saya pernah wawancara dia di Restoran McD untuk Tabloid Ponsel. Sialan! Aku lupa membawa tabloid yang membuat profil Yura itu dari hotel.  Yang aku tahu gadis Cimahi ini tembus 20 Besar Idol.  Dia mengingatkan aku pada Andien dan lebih kuat pada Citra Scholastika ketika tampil di panggung. Namun busananya yang sederhana justru memberikannya kharisma.

Aku  terpukau ketika dia menyanyikan lagu berjudul Kataji dan saya berdiri di depan panggung ingin berjoget. Yura pernuh fantasi di "Balada Sirkus", tentang pemain akrobat di sirkus tetapi kekasihnya tidak menonton. Original, karena aku tidak mendengar ada penulis lagu menjadikan sirkus sebagai temanya.

"Super Lunar" penuh fantasi membuat aku melamun  dan membayangkan. Di tengah kesuntukan ini aku ingin berkata: Maukah Yura  berdansa dengan aku  di tengah bulan purnama.  Liriknya liar seolah melayang ke angkasa luar.  Yura berjoget dengan seorang pria bertopeng di atas panggung.   Energik. Namun  aku  belum puas melihat penampilan live-nya. Mungkin lain waktu  

Selain menikmati pertunjukkan Yura, aku juga menonton French Kiwi Juice, musik clubbing yang jazzy dan Sore yang mmepunyai karakter membawa lagu melankolis jadi penuh nuansa energik.  Yura dan Sore membuat aku ingin berdansa di kota yang romantis ini.

Kampoeng Jazz praktis jadi acara kongkouw anak Bandung.  Sekitar sepuluh tempat jajanan penuh.  Sayang, sampah bertebaran.  Untung ada pembersih keliling. Tetapi aku kira masalah sampah ini suatu hari kelak menjadi masalah besar bagi kota yang romantis ini.

"Hip Hip Yura!" Sayang aku nggak sempat menyaksikan pertunjukkan Monita dan Tompi karena terlalu malam. Pasalnya besok pagi aku harus berangkat ke Tasikmalaya. Aku meninggalkan Kampoeng Jazz sebelum malam berakhir.

Jalan Belitung  Bandung, 5 Februari 1957

 

"Widy! Aku antar anjeun  ke Dago Atas!" suara Syafri membuat  gadis itu terperanjat.  Pemuda itu mengendarai sepeda onthelnya tiba-tiba sudah ada di belakangnya.

"Kang Syafri, Keumaha, biasanya tidak pernah seperti ini?" Gadis itu tertawa. 

"Sekalian aku mau ke rumah pamanku  yang tinggal di Dago Atas juga, Cuma aku tidak tahu anjeun rumahnya sebelah mana rumah pamanku."

Widy terdiam. Dia melihat wajah pemuda itu dari kaki hingga rambut.  Rapi, tidak seperti biasanya urakan.  Tetapi kemudian dia tertawa. "Boleh!"

Teman-temannya Maria dan Putri  hanya tersenyum mencibir. 

Widy berada di belakang Syafri yang langsung mengayuh sepedanya melewati jalan utama melintasi Cicendo, Pabrik Kina, menuju atas.

"Kang Syafri masih kerja di koran?" tanyanya.

"Iya, tapi tidak tahu sampai kapan. Ayah minta aku kerja di Lembang mengurus perkebunan milik Pamanku, sepupu ibu. Mereka takut aku celaka oleh gerombolan atau crossboy karena liputan!"

"Boleh juga aku mampir ke sana, sekalian jalan-jalan," ucap Widy.

Mereka sudah melintas di Jalan Dago tanpa terasa. Mereka melewati kawasan Fakultas Teknik.

"Ingin kuliah di mana nanti?" tanya Syafri. " Di sana!" tunjuk Syafri.

"Nggak, Ah, aku mah maunya di Ilmu Pengetahuan Masyarakat, aku ingin  meneliti Suku Baduy. Tetapi di Bandung ada nggak ya?"

"Kabarnya akan ada universitas baru, Nanoman Sunda ikut merintisnya?"

"Itu kerabatnya Kang Angga! Tetapi isu kesukuan jadi kuat begitu ya?"

"Panjang ceritanya Widy. Paman aku dari ayah cerita orang Minangkabau juga mempertanyakan komitmen pemerintah Sukarno, sejak dia berselisih dengan Hatta. Tetapi aku tidak terlalu tertarik pada daerah aku dan belum pernah pulang. Aku ingin jadi orang Sunda seperti Ibu."

"Mmmh, atau ingin sama gadis Sunda," sahut Widy.

Syafri terdiam.

"Aku lihat mata Kang Syafri ketika dansa di rumah Hein, jangan seperti itu lihatnya Kang!" Dia agak keras. Tetapi ketika Syafri terdiam, dia tertawa. "Nanti aku kenalin sama ibuku kok, makan siang bareng di rumah yaa..biar impas sudah nganter aku. Ada gurame goreng dan sayur asem."

Syafri menurut.  Setibanya di rumah Widy, mereka makan siang bersama. Ibunya antusias, karena Syafri sudah bekerja dan lulus kuliah. Widy tidak biasanya punya teman yang usianya cukup jauh.

"Bukan aku saja Bu! Ada Angga, Yoga, Hein," jawab aku.

Ibunya melihat Widy. "Kamu tidak pernah cerita, teman-teman kamu anak kuliahan. Begitu harusnya, jangan seperti  Dudi, sepupunya yang jadi crossboy. Mending Kang Herland yang jadi tentara."

"Oh, Bu, boleh nggak aku mengajak Widy naik gunung."

Widy menahan tawa. Ibunya terdiam dan melihat keduanya.  Tapi kemudian dia tertawa. "Boleh Atuuh!  Saya mah percaya sama kalian!"

Di belakang adik Widy tertawa tergelak. Namanya Kintan. Umurnya baru delapan tahun.

"He, anak kecil!" teriak Widy.

"Aku suka makanan Sunda Bu, rasanya lebih sehat dari masakan daerah ayahku."

"Memang ayah kamu dari mana?"

"Padang, tapi aku tidak pernah ke sana," kata Syafri.

"Mmmh, makanan Sunda atau gadis Sunda.." suara Widy menyindir.

Syafri merah mukanya. Tetapi ibunya tidak memberikan reaksi berlebihan. Syafri malah salat di rumah Widy sebelum pamit ke tempat paman ibunya.

"Dia separuh Sunda Bu!" kata Widy ikut mengantarkan Syafri ke pintu pagar halaman rumahnya di Kampung Cigadung. Syafri bergerak menuju rumah pamannya yang masih cukup jauh di atas (Bersambung)

Irvan Sjafari 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun