TIGA
Bentrokan di Punclut
Sabtu, pukul 7 malam, Emma melihat dandanan Ananda begitu rapi. Â Begitu juga ayah dan ibunya menyaksikan perubahan sikap cucunya.
"Aku mau makan di Punclut bersama Lila. Aku mau jemput dia dulu? Punten? Aku pakai taksi daring?" dia meminta diri dengan sopan.
Emma ragu. Â Dia tidak mau lagi kehilangan. Apalagi Ananda dan Adinda baru berapa minggu di Bandung.
Baca: Dua Pendatang Misterus, Bagian Kedua https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/6568b3b3c57afb7ada112272/dua-pendatang-misterius-bagian-dua
"Memangnya kamu tahu Punclut itu apa?"
"Puncak Ciumbeuluit kan?" jawab Ananda.
Ayah dan ibunya juga merasa cemas, walaupun mereka juga ragu cucu mereka dari planet lain.
"Aku juga ikut yaa!" tiba-tiba Adinda menyerobot. "Aku kontak Robby, Hanifa, Helena dan Laras kita makan bareng. Aku ingin tahu makan bareng di Bumi, walau di planet kita juga ada punclut?"
Emma mendengarkannya dengan  bingung. "Masa sih?"
"Iya, Hiyang menciptakan koloni kami copypaste Bandung, sama persisnya tetapi hanya sampai areal Tahura kalau ke utara, lainnya persis seperti Bandung ini dikelilingi hutan bambu," jelas Adinda.
"Hanya saja air sungai di sana bersih dan ada situ-situ untuk konservasi air termasuk di perbatasan selatan," timpal Ananda.
"Cuma karena hanya ada beberapa ribu manusia kalau nongkrong di punclut nggak ramai," sambung Adinda."Paling-paling belasan orang."
"Tetapi di sana aman kan!" tebak Emma. "Kalian sudah berurusan dengan geng motor, jadi tahu kan keamanan kota ini? Juga ayah dan ibu meninggal karena apa?"
"Jadi, kami nggak boleh pergi?" kata si kembar serempak.
 Ayah dan Ibu Emma memanggil Mang Kosasih, yang sebetulnya mau menginap karena keluarganya pergi.
Mang Kosasih adalah supir keluarga ini. Biasanya dia hanya mengantar ibunya mengajar di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung dengan mobil sendiri.
Emma menggunakan mobil lain.
"Iya sudah bawa mobil saya. Teteh tahu kalian bisa jaga diri, raksasa itu ikut kan?" kata Emma.
Keduanya mengangguk. Maksudnya Hiyang yang mengawal mereka.
Mobil Avanza itu  meluncur meninggalkan Antapani menuju  Buahbatu menjemput Lila.Â
Yang bersangkutan sudah menunggu. Â Dia hanya geli karen Adinda ikut dan ada supir tidak sesuai rencana.
Adinda duduk di depan, di samping Kosasih. Sementara Ananda dan Lila di belakang.
"Aku sudah kontak Roby. Â Dia menyusul, bersama berapa temannya. Helena bersama cowoknya Adam. Â Kalau Hanifa dan Laras bawa motor sendiri," kata Adinda.
Kosasih tidak tahu, bahwa Hiyang mengikuti tanpa terlihat dengan tikar terbang hanya setengah meter di atas mobil itu menyesuaikan kecepatan.
Mereka memilih sebuah warung makan Sunda yang ada lesehan yang bisa melihat panorama Bandung.
Adinda dan teman-temannya memilih tempat yang berjauhan dari tempat Ananda dan Lila makan berdua.Â
Mereka paham bahwa Ananda butuh privasi.
Lila masih menahan gelinya melihat kegugupan Ananda. Â Dia sudah pernah punya cowok waktu SMP.
"Memangnya kamu pindahan dari mana? Jakarta? Kok anak Jakarta gugup begitu," ucap perempuan berambut panjang  yang dicat brunnete hingga menambah paras kulit mukanya yang putih.
"Dari Planet Bandung," jawab Ananda kelepasan, karena ia juga tidak tahu nama planetnya.
Lila tergelak. Dipikirnya Ananda ingin melucu.
"Memangnya planet Bandung itu seperti Bandung juga?"
"Eh, iya...! Nggak, aku dari Depok, tempat papaku dulu," jawab Ananda seenaknya. Â
Lila hanya ketawa. "Aa, becanda terus! Tapi aku nggak peduli, Aa baik sama aku, minggu depan naik Gunung Papandayan yuuk!"
Ananda mengangguk.
Walau rambutnya panjang, Lila itu  tetap tomboy dengan jins dan kaos tetapi tubuh Lila berisi dengan berat proposional. Matanya bagus menatap tajam.
Mereka makan nasi merah ditemani ayam bakar dengan lahap.Â
Lila bercerita soal kakaknya yang kuliah di Jerman mengambil jurusan energi terbarukan.
"Kakakku bilang suatu ketika bahan bakar fosil harus hilang karena Bumi akan panas, energi matahari, angin dan air, mungkin juga ada alternatif lain," terang Lila.
Itu bidang Adinda. Tetapi dia juga tahu bahwa di planetnya bensin yang digunakan adalah tiruan Hiyang yang diambil dari planet itu dan menimbulkan emisi seperit alcohol. Hiyang juga mengajar pemakaian matahari. Â
Kalau ia cerita itu, Lila akan mentertawakannya.
"Memang kamu punya keinginan ke planet lain?' Lila tergelak. "Ajak aku dong!"
"Kamu mau?" Ananda sebetulnya serius.
Keduanya tidak menyadari ada tiga pria berusia pertengahan 30-an mengawasi Lila.
Seorang di antaranya tergiur dengan Lila. Â Dia berbisik dengan kedua kawannya sambil mengarahkan pandangan ke Lila.
Ketiganya berperawakan six-pack dengan dandanan metropolis.
 "Luh, mau pakai dia? Lalu sebelahnya cowoknya kan?" bisik salah seorang kawannya.
"Sejak kapan gue pernah kalah merebut cewek yang gue mau," katanya.
 Ada dua pria lagi yang badannya lebih besar masuk. Bodyguard mereka.
"Gile, tempat ramai Bro!"
"Ala, sejak kapan kita kalah berurusan dengan hukum!"
Mereka tidak tahu beberapa meja dari sana ada rombongan remaja sebaya keduanya. Tetapi dengan dua bodyguard dengan tangan sebesar paha tetap bukan tandingannya.
Kelimanya sudah berada di luar rumah makan dengan sabar  menunggu Ananda dan Lila keluar.
Lagi-lagi Adinda dan kawan-kawannya memberikan privasi kepada pasangan ini yang keluar sebentar selesai makan untuk mencari minimarket.
Minimarket ini berada agak jauh dari rumah makan dan mereka diikuti dengan mobil.Â
Ketika hendak memasuki minimarket, seorang pria keluar menyeret Lila masuk ke dalam mobil  dan seorang bodyguardnya mendorong Ananda.
Lila berteriak.
Ananda memang jatuh akibat dorongan itu.
Tapi dia cepat bangkit, gaya gravitasi Bumi yang lebih rendah dari planetnya membuat Ananda bisa bergerak lebih cepat dan mempunyai tenaga lebih besar dibanding manusia seukurannya.
Bodyguard itu ganti didorongnya  sejauh beberapa meter dengan keras membentur motor yang diparkir di sana.
Lalu bodyguard kedua mengeluarkan pistol dan menondongkannya ke Ananda.
Namun bodyguard itu terkejut, ada sesuatu tak terlihat memukul tangannya hingga pistolnya jatuh.
Itu Adinda memakai jaket kamuflase hingga tak terlihat.
"Bangsat! Siapa nih!"
Adinda menampakan diri. Â Dia kemudian memakai jaketnya lagi dan menghilang tahu-tahu menghantam perut boduguard itu dengan keras hingga bodyguard terhuyung ke aspal.
Salah seorang kawan yang menyeret Lila mengeluarkan pistol, saat itu Adinda melepaskan sumpit berisi cairan ke wajah laki-laki itu.
Masuknya lembut, tetapi kemudian wajahnya gatal-gatal.
Adinda kemudian mengeluarkan suatu kotak berisi sepuluhan binatang berwarna ungu seukuran semut, tetapi bentuknya ganjil dengan lima pasang kaki dan sapit kecil.
Dia memasukan semua hewan yang ada itu di baju belakang laki-laki yang menyeret Lila.
Cewek itu pun terlepas.
Si Penyeret bereaksi karena ada yang menggigit punggungnya. "Apa ini!" teriaknya.
Roby dan kawan-kawan mulai muncul.  Hiyang  menyerang dua bodyguard tanpa memperlihatkan dirinya.
Kedua bodyguard itu merasa ada sesuatu yang tak terlihat melempar mereka.
Yang satu membentur kaca minimarket hingga pecah lalu masuk membentur rak.
 Sementara yang kedua menubruk pagar salah satu rumah yang ada di sana.
Keduanya tidak bisa bangun lagi.
Tiga laki-laki itu memilih kabur meninggalkan dua bodyguardnya yang segera ditangkap keamanan. Â Mereka yakin akan bisa melepas kedua bodyguardnya.
Laki-laki yang tadi menyeret Lila merasakan gatal yang perih dan berupaya mengeluarkan hewan itu. Sepuluhan hewan bisa dikeluarkan dan melarikan diri ke got.
Warga koloni planet menyebut sebagai cipik. Hewan-hewan ini kerap berada di kota koloni manusia.
Mereka suka makan remah-remah daging di tempat sampah, menghindari manusia. Para hiyang sudah memberikan ramuan membatasi dua spesies ini untuk tidak berbenturan.
Tetapi Adinda suka menelitinya mengambil sebagian mereka dan sengaja  membawa ke Bumi sebagai peliharaanya.
Cipik-cipik itu menggigit karena lupa dikasih makan oleh Adinda. Â Malam ini harusnya jadwal dikasih makan.
Pemuda ketiga, yang pegang kemudi meihat dengan cemas melihat  seorang temannya gatal-gatal di wajah.Â
Sementara yang satu membuka kaosnya dan mendapatkan punggungnya  penuh bentol-bentol berdarah. Cipik-cipik itu sempat mengunyah dagingnya selama berapa menit.
"Sakit Bro?"
"Sekarang makin perih?"
"Ke dokter kawan saya ya? Rumahnya di Dago Atas," kata yang mengemudi.
Hiyang melarikan Ananda dan Lila ke rumahnya di kawasan Buahbatu dengan cepat dan tak terlihat karena pakai jaket kamuflase. Â Keduanya diangkut dengan satu tangan.
Lila terbengong, hanya dalam sepuluh menit, dia dan Ananda bisa ada di rumahnya. Hooi, Cimbuleuit ke Buahbatu sepuluh menit waktu weekend Bo!
Ketika sudah di rumahnya, dia menatap laki-laki itu, kali ini dengan serius. "Siapa kamu? Planet Bandung benaran ya?"
Ananda mengangguk. "Aku akan ceritakan!"
Ibu Lila membukakan pintu. Dia terheran.
"Nanda menyelamatkan aku, Mama," ucapnya.
Pertanyaan yang sama diajukan Roby dan para bestinya pada Adinda. Sebetulnya sudah ingin ditanyakan sejak peristiwa di sekolah.
"Yaa, aku jelasankan, nongkrong di bukit yuuk!"
Yang jelas keduanya juga Roby dan kawan-kawannya akan  dicari oleh tiga anak muda tersebut.
Pasalnya yang kena gigit cipik-cipik anak seorang anggota parlemen di Jakarta dan yang menarik Lila adalah eksekutif muda yang sedang berburu cewek di Bandung. Dia memang doyan anak SMA.
Yang Kedua, Chris Yunanto, anak seorang pejabat juga pengusaha besar adalah yang kena sumpit cairan gatal di muka.
Yang ketiga adalah Robert Wijaya, anak konglomerat gengnya. Ayahnya rekanan anggota DPR itu.
Malam itu, Ananda dan Adinda menambah lagi orang yang tahu soal asal-usul mereka.Â
Keduanya dipanggil ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Tentunya setelah Ananda menjelaskan asal usulnya pada Lila.Â
Setelah itu mereka nongkrong bersama Roby dan bestienya Malam minggu yang panjang. Si Kembar menebak setelah kejadian ini Emma dan kakek-neneknya akan memperketat gerak mereka.Â
Bukan itu saja, Hiyang mengingatkan mereka membereskan masalah lain.
Cipik-cipik yang terlepas potensi menimbulkan petaka.
Kekhawatiran Hiyang terbukti. Besoknya para petugas sampah dari Dinas Kebersihan Kota Bandung  ketika menyisir Ciumbuleuit teperanjat.
Mereka mendapatkan  sebagian besar sampah makanan terutama dari  sisa daging ayam maupun sapi hilang, juga telur, bahkan nasi raib.Â
Sorenya mereka menemukan banyak bangkai tikus tinggal belulang di got. Cipik-cipik makan dengan rakus dan punya kecenderungan cepat berkembang biak. Â Senang sekaligus menakutkan.
Irvan Sjafari
Foto: Rumah makan di Punclut (Irvan Sjafari)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H