Adinda Versus Geng Motor Jupiter 7
Pagi. Emma mengetuk pintu kamar Ananda dan Adinda, dulunya kamar Dewi Sundari. Â Sebetulnya kamar laki-laki dan perempuan yang sudah akil balik harus terpisah meski mereka bersaudara. Â Tetapi mereka berkeras untuk sama-sama merasakan tidur di kamar ibunya dulu.
 "Bangun Salat Subuh!"
"Sudah Tante!" jawab mereka dari belakang.Â
"Eueleuh, kalian sudah bangun?" Â Emma terkejut bukan main keduanya sudah di belakang dan lebih terkejut lagi di dapur sudah tersedia makanan.
Sementara kedua orangtuanya menyusul belakangan. "Ini makanan apa? Â Seperti bubur ayam?"
"Bubur Ayam Cianjur!" jawab yang cowok.
"Bagaimana bisa? Kalian bangun jam berapa?"
"Jam 4 Tante," kata Adinda. "Kakakku jago masak."
Mereka sudah mandi dan memakai seragam SMA. "Kami duduk di kelas III di planet kami. Â Kami ingin melanjutkan sekolah di sini, di SMA ibu kami dulu."
Emma tidak bisa menolak. Entah dari mana mereka dari seragam SMA. Tapi masih baru. Â Lebih terperanjat lagi ketika ia menemukan mobil kijangnya sudah terparkir di depan rumah, masih baru.
Baca Juga: Dua Pendatang Misterius, Bagian Satu Â
"Hiyang yang membetulkannya dan membawakannya?"
"Kalian ngahyal ya, Hiyang itu seperti apa?"
Emma bersama ayah dan ibunya terperanjat sesosok mahluk dengan tubuh serba hijau setinggi tiga meter menampakan diri dan kemudian menghilang.
Ananda dan Adinda mencium tangan kakek dan nenek mereka dan ikut Emma yang gemetaran mengemudi.  Dia menduga akan terjadi kehebohan  luar biasa di sekolah Sundari di kawasan Cihampelas.
Seperti diduga Ibu Surtikanti, Guru Bahasa Indonesia terperanjat bukan main melihat Adinda begitu mirip dengan Sundari, murid kesayangannya sekitar enam tahun lalu. Wajahnya masih melekat di benaknya.
Perawakan wajahnya nyaris serupa, tidak terlalu cantik, manis dengan rambut lurus dipotong hingga sebahu.
Tingginya hanya sekitar 160 cm dengan berat seimbang.
Dia tahu bahwa Rivai yang mirip dengan Ananda pernah ikut menemani Sundari ketika main ke sekolahnya sesudah jadi jurnalis.
Ananda rambutnya keriting ikal, tingginya sama dengan Sundari. Mungkin Rivai remaja seperti itu. Bisa juga lebih tinggi.
Namun karena mereka kembar walau  tidak identik, tingginya sama hal biasa.
Para guru heboh bukan main. Â Tetapi mereka memutuskan untuk menerima mereka sekolah sesuai keinginan mereka.
Ibu Rivai nyaris pingsan melihat rupa Ananda bak pinang dibelah dua dengan Rivai, ketika divideocall. Memperkenalkan diri sebagai cucunya.
Adinda dan Ananda berada di kelas yang terpisah dan masing-masing punya teman-teman baru.Â
Ananda mengambil kelas IPS dan Ibu Surtikanti menemukan  bahwa Sang Kakak mewarisi bakat Sundari  di bidang jurnalistik.Â
Sebaiknya Adinda menunjukan kecemerlangannya pada mata pelajaran biologi dan pelajaran sejarah. Dua bidang yang disukai Rivai dulu.
Tapi ia segera mendapat info, ayah Rivai ahli biologi. Begitu juga Ibu Sundari.
Ananda mewarisi semua karakter Sundari yang ceria, mudah bergaul, sementara Adinda lebih pendiam.
Mereka diberi uang saku dan ongkos. Tentu saja orangtua Sundari dengan sepenuh hati memberi saku. Bahkan siang itu juga giliran orangtua Rivai dan saudaranya di Bandung membantu.
Baru seminggu bersekolah kecerdasan Ananda dan Adinda melesat di atas rata-rata anak SMA sekolah itu. Seolah mereka tahu materi yang akan diajarkan sekalipun. Mereka mengusai Bahasa Inggris dengan baik, serta mampu bermain tiktok.
Ananda punya teman cewek bernama Lila Permata, siswi kelas satu. Kegemarannya naik gunung, pergi ke museum cocok dengan hobi Ananda. Â
Sementara Adinda bersahabat panglima geng motor bernama Roby Fauzi, trouble maker di sekolahnya dan punya beberapa besti bernama Hanifa, Helena dan Laras Santi.
Perkelahian Roby dan teman-temannya berapa kali merembet ke sekolah. Padahal hanya ada dua anak geng motor Barudak Biru di tersebut.
Suatu ketika dalam jam pelajaran, ketika Adinda yang sekelas dengan Roby terkejut karena batu memecahkan kaca kelasnya begitu kuat.
Murid-murid berteriak. Ibu Mia Ramadhini, guru biologi melotot ke arah Roby. "Kamu bikin ulah lagi ya?"
Adinda tetap tenang dan memungut batu itu, lalu keluar kelas.
"Adinda kamu mau apa? Berbahaya mau apa kamu?" Â Mia khawatir terhadap murid kesayangannya.
"Ngembalikan batu ini ke pelemparnya," ucapnya tenang.
Roby merasa nggak enak di mata teman-teman sekelasnya yang ikut keluar. Â Apalagi Ibu Mia menatapnya dengan pandangan tidak senang.
Adinda begitu berani melintasi halaman  mendekati pagar sekolah yang tingginya tiga meter namun berjeruji hingga bisa melihat pemandangan luar.
Di luar pagar sudah berkumpul puluhan anak-anak geng motor Jupiter 7. Mereka terheran dan khawatir melihat cueknya Adinda mendekati pagar, tetapi kemudian tertawa.
"Jadi ceritanya Roby ngutus cewek atuuh!" celetuk salah seorang dari  mereka berambut gondrong.
"Siapa yang melempar batu ini, Aa?" tanya lembut dan agak genit. "Adinda kagum deh tenaganya kuat sekali."
Yang berambut gondrong itu tertawa dan mengacungkan jari. "Saya Neng, mau pacaran sama Aa!"
Mereka atau pun kawan-kawannya di sekolah itu dan para guru tidak melihat bahwa di samping Adinda ada raksasa hijau setinggi tiga meter menjaganya.
Adinda mengangguk. "Boleh, asal kamu nggak pingsan kena lemparan aku!"Â
Kemudian Adinda melempar batu itu ke atas dengan parabola.
Hiyang yang tak terlihat meloncat dan melakukan gerakan smash ke arah pemuda berambut gondrong itu, batu itu tepat kena jidatnya dengan keras dan dia roboh.
Adinda berbalik dan melenggang ke kelasnya tanpa banyak bicara.Â
Teman-teman si Gondrong mulanya terheran, tetapi kemudian beringas dan melempar batu-batu itu ke arah Adinda.
Tetapi Hiyang melindunginya dengan membuat perisai anti materi tak terlihat hingga batu-batu berjatuhan satu meter dari pagar tanpa satu pun mengenai Adinda.
Guru-guru dan teman-teman sekolahnya terperangah. Tidak percaya, mustahil batu itu jatuh begitu saja merata.
"Kalian pulang atau mau saya kembalikan batu-batu ini ke pelemparnya seperti panglima kalian itu!" Â Adinda bersuara keras. Teman-temannya terkejut cewek pendiam bisa menyeramkan.
 Tetapi batu terus melayang dan tidak ada yang kena.
"Baiklah! Kalian beli, Saya jual!" ucapnya dengan agak malas.Â
Lalu dia mengambil berapa batu dan melempar lagi keluar pagar tanpa membidik dan batu-batu itu dismash oleh Hiyang hingga kena pelempar masing-masing hingga tidak ada lagi batu-batu.
Belasan  anggota geng motor terkapar semua di trotoar, sisanya kabur mendengar suara sirene mobil polisi. Semua yang kena mereka yang melempar batu.
Ibu Mia menatap anak kesayangannya dengan rasa takut, marah, tetapi juga kagum, anak cewek tidak ada takut-takutnya. Â Roby pun merasa tidak enak jadi kagum.
Apalagi teman-teman sekolahnya memandang sinis ke arahnya.
Para guru mengadakan rapat apa tuduhan pada Adinda. Â Pak Imam guru Fisika menyebut anak itu punya bakat fisika melempar dengan tepat, sayang kalau dihukum dan lagi yang bikin gara-gara bukan dia dan dia melindungi teman-temannya.Â
Tetapi Bapak Kapolsek yang datang belakangan menyebutnya tidak perlu dipersoalkan karena  tidak masuk akal untuk jadi berita.
Dalam rilis kepada media kepolisian menyebut batu-batu itu mental kena pagar dan berbalik ke muka mereka sendiri.
Lagipula mana berani Geng Jupiter 7 cerita ke media bahwa mereka dikalahkan oleh seorang Neng Geulis.
Akhirnya berita  beredar mereka semua kecelakaan naik motor.Â
Roby dapat peringatan keras dan Adinda hanya ditegur di BP. Keduanya disiang bersamaan.
Adinda dan Roby kembali ke kelas disambut tepuk tangan teman-temannya. Roby tahu tepuk tangan bukan buat dia.
Irvan Sjafari
Sumber Foto: https://www.niaga.asia/geng-motor-terlibat-peredaran-3-kilogram-sabu-di-kabupaten-bandung/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H