Setelah membentuk KRyT,Ibnu Hadjar membulatkan pikirannya untuk masuk Negara Islam pada  akhir 1954, setelah Kartosuwiryo menawarkan kepadanya sebuah kursi  menteri negara. Ibnu Hadjar diangkat sebagai Panglima TII untuk Kalimantan
Hassan Basry melawan Ibnu Hajar dengan gerakan mulut ke mulut pemberontak akan diperlakukan dengan baik.  Cara ini diperkuat dengan kunjungan  dua putra daerah Firmansyah bekas Kepala Staf Pesindo dan Idham Chalid politikus NU. Mereka meinta pemberontak menyerahkan diri.
Pada 1956 sebanyak 400 orang melapor  termasuk pimpinan geriliya terkenal Mochtar Djaja, Dardiansyah adik laki-laki Ibnu Hadjar.  Sampai Agustus 1956 menurut PIA (kantor berita di Indonesia masa itu) dikutip oleh De Nieuwsger 16 Agustus 1956 jumlah menyerahkan diri mencapai  1.792 orang.
Dalam berita tersebut Dardiansyah disebutkan sebagai  tangan kanan Ibnu Hadjar menyebutkan sudah ada pertemuan antara Hassan Basri dan Ibnu Hadjar di Pegatan (Kalimantan Tenggara).  Hal yang paling pokok adalah persyaratan yang diajukan oleh Ibnu Hadjar.
Ia mengatakan, akan segera berangkat ke Jakarta ditemani Panglima Hasan Basry untuk menyerahkan kepada pemerintah pusat dan KSAD. syarat-syarat penyerahan diri yang diduga ditetapkan Ibnu Hadjar saat bertemu dengan Panglima TNI. Namun, berita itu menyebutkan Dardiansyah enggan menjelaskan syarat apa saja yang ditetapkan Ibnu Hadjar.
Pernah Menyerahkan Diri
Hasil berbagai pertemuan menuai hasil sekitar Oktober 1956.  ANP seperti dikutip oleh Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 16 Oktober 1956 menyebutkan Ibnu Hadjar  telah menyerah kepada tentara bersama seluruh pengikutnya yang berjumlah 5.200 orang, termasuk anggota keluarga.
Letkol Hasan Basri, Hadjar berjanji setia kepada pemerintah Indonesia di Hulusungai, dekat Banjarmasin. Penyerahan Ibnu Hadjar dianggap sebagai salah satu kemenangan tak berdarah terbesar yang diraih pemerintah Indonesia tahun ini. Tentara Indonesia telah dicapai.
Namun sayangnya tidak bertahan lama. Enam bulan kemudian, pihak berwenang di Banjarmasin, ibu kota Kalimantan, mengakui bahwa mereka tidak melihat Ibnu Hadjar selama beberapa hari, namun menolak mengatakan apakah ia telah melarikan diri ke hutan. Menurut beberapa kalangan di Bandjarmasin, Hadjar kecewa dengan kegagalan pemerintah  menepati janji mengenai dukungan keuangan kepada mantan tentaranya.
Pada Maret 1957 seperti dikutip dari Het Nieuwsbald Voor Sumatra 8 Maret 1957, pejabat Gubernur Kalimantan Selatan, Sarkawie, membenarkan Ibnu Hadjar, yang beberapa waktu lalu menyerahkan diri untuk kembali ke masyarakat normal, telah melarikan diri. Ibnu Hadjar disebutkan meninggalkan Kotabaru.
Menurut beberapa kalangan di Banjarmasin seperti dikutip oleh Provinciale Drentsche en Asser courant, 5 Maret 1957, Hadjar kecewa dengan kegagalan pemerintah untuk menepati janji mengenai dukungan keuangan kepada mantan tentaranya. Hal yang diperjuangkannya sejak awal, solidaritas sosial.