Buku pelajaran sejarah sewaktu  saya sekolah dulu menempatkan pemberontakan Ibnu Hadjar dan pasukannya Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) di Kalimantan Selatan sebagai pemberontakan terkait dengan ideologi Islam.
Namun setelah melakukan sejumlah riset pustaka terutama di Perpustakaan Nasional, saya mencatat sebetulnya  pemberontakan yang berpusat di Kabupaten Hulusungai, daerah antara Barabai dan Kandangan  Kabupaten Kota Baru dan ke selatannya Kabupaten Banjar pada awalnya bukan pemberontakan yang terkait dengan Darul Islam.
Para pemberontak adalah mantan geriliyawan pada masa kemerdekaan merupakan loyalis republik yang punya militansinya tinggi melawan Belanda. Bahkan hingga beberapa bulan sebelum pembangkangan dimulai loyalitas itu masih dijaga.
Mereka hanya menuntut mendapat perlakukan adil sebagai orang yang berjasa dalam peperangan, tetapi setelah kemerdekaan tercapai justru tersingkir untuk masuk ke dalam ketentaraan.
Pemberontakan ini relatif kecil  karena  tak dapat mereka menggerakan konsentrasi pasukan besar. Namun gerakan ini berlarut-larut hingga Ibnu Hajar menyerah pada 1963.Â
Situasi November 1949
November 1949 bukan bulan yang menyenangkan bagi banyak orang di Kalimantan Selatan, menyangkut masalah gangguan keamanan. Â Sebetulnya suatu hal banyak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, setelah perang kemerdekaan, karena selain TNI dan para kesatuan geriliya yang loyalis, ada juga gerombolan bersenjata kriminal.
Antara 24 November 1949 melaporkan penduduk Tionghoa sekitar Banjarmasin merasa tidak aman, karena malam hari gerombolan bersenjata mendatangi toko dan rumah mereka meminta uang dan hingga perhiasan dengan paksa.
Penduduk Tionghoa gelisah dan banyak yang berangkat ke Jawa. Di sisi lain, pihak kepolisian belum dapat menyelidiki soal ini. Bahkan gerombolan bersenjata menyerang pos-pos TNI di luar kota Banjarmasin.Â
Mereka tidak mengetahui dengan pasti siapa gerombolan bersenjata yang menyerang. Â Namun otoritas menduga kejadian-kejadian ini untuk mengganggu jalannya pemerintahan di Kalimantan Selatan.
Besluit Sekretaris Negara Urusan Dalam Negeri tertanggal 5 November 1949 menetapkan di Kalimantan Selatan polisi diberikan tanggungjawab menjadi alat kekuasaan daerah dalam memelihara ketertiban dan keamanan.
Pada 10 November 1949 ALRI Divisi IV yang menjadi kekuatan utama dalam melawan Belanda di Kalimantan Selatan resmi namanya  menjadi Divisi Lambung Mangkurat.  Sekalipun yang ditunjuk menjadi komandannya adalah Hassan Basry, salah seorang pimpinan geriliyawan yang punya karismatik.
Peresmian dilaksanakan di Kandangan oleh Letkol Sukanda Bratamanggala  membacakan dan dibacakan pesan tertulis Menteri Pertahanan RI Letjen l Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Sayangnya tidak semua para geriliyawan bisa ditampung dalam Divisi Lambung Mangkurat . Yang tidak bisa ditampung  dikembalikan ke masyarakat dan diberi pesangon Rp50 ribu dan kain 3 meter persegi.
ALRI Divisi IV Melawan Belanda
Padahal ALRI Divisi IV adalah organisasi yang anggotanya adalah para gerilyawan, sebagian besar adalah relawan muda, dari berbagai etnis kelompok selama ada satu tujuan untuk melawan NICA. Benteng mereka adalah Hulusungai yang tidak bisa ditembus Belanda.
ALRI Divisi IV dibentuk 4 April 1946 yang merupakan gabungan Pesindo, pimpinan Husin Hamsjah, Firmansyah (wakil), Damansyah serta Ikatan Perjuangan Kalimantan. Awalnya perlawanan dilakukan  geriliyawan Laskar Saifullah dengan pimpinan Hasan Basry, seorang guru agama Muslim di Ponorogo, asal Kandangan tempat dia dilahirkan sekitar 1922.  Namun banyak kelompok ini ditangkap tentara pada awal Perang Kemerdekaan.
Para emigran dari Kalimantan di Jawa terus mengirim ekspedisi dari Jawa. Walaupun akibat blokade laut belanda menyulitkan, pada akhir 1946 sebanyak 1.500 orang kembali mencapai Kalimantan. Â
ALRI Divisi IV tumbuh menjadi suatu tentara modern yang lengkap persenjataannya. ALRI divisi IV membuat sulit Belanda dan kolaborator Indoneia.Â
Belanda mungkin melakukan perjlanan ke ppedalaman dengan pengawalan bersenjata, Â Di Banjarmasin sendiri mereka harus waspada terhadap serangan geriliyawan sewaktu-waktu.
ALRI Divisi IV tidak suka rakyat pergi ke pemerintahahan Belanda untuk minta surat izin atau minta bantuan lain kecuali hal-hall mutlak perlu. Mereka berani menyerukan pemogokan pegawai pada 30 Agustus 1949 dan tidak takut pada ancaman Belanda gaji tidak akan dibayar,.
Akibat pengaruh ALRI Divisi IV ini hanyaberapa kantor pos, rumah sakit dan sekolah dibuka karena kelompok ini menilai pendidikan penting, hingga mereka mengecualikan guru.Â
Semua kantor pemerintah lainnya tutup sementara di bank-bank dan perusahaan dagang hanya orang Eropa dan Tionghoa saja muncul. Â Baru setelah perundingan, pertengahan Oktober 1949 pemogokan berakhir setelah perundingan Belanda dengan ALRI Divisi IV.
Pemerintahan Militer Kalimantan Selatan Republik, diumumkan pada 17 Mei 1949, lebih seminggu setelah perjanjian Roem Royen, sebagai  bentuk protes terhadap pengakuan Belanda terhadap Kalimantan.
Selaku  Gubernur Tentara, Hassan Basry mengukuhkan, berintegrasinya Kalimantan dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Akhir 1948, ALRI Divisi IV melakukan pemogokan. Bahkan pasca  proklamasi 17 Mei 1949, ALRI Divisi IV  berhasil merongrong kewibawaan daerah otonom Banjar yang didalangi Belanda.
ALRI Divisi IV benar-benar  pengejawantahan pemerintahan militer yang berpihak kepada rakyat.  Pasukan ini  mendapatkan simpati rakyat dengan menperoleh  penghasilan pajak atas penjualan lateks, pasar, dan pajak pendapatan.
Selama 1945-1950 Hulusungai merupakan benteng perlawanan anti Belanda. Â Pasukan Ibnu Hajar bekas pejuang menjadi kecewa terhadap perlakuan terhadap mereka sesudah 1949. Pada akhir 1948 dan awal 1949 mereka benar-benar berhasil melumpuhkan pemerintahan di Kalimantan Selatan.
Pimpinan geriliya antara lain Hassan Basry, seorang guru agama Muslim di Ponorogo, asal Kandangan tempat dia dilahirkan sekitar 1922. Dia meninggalkan Surabaya pertengahan Oktober 1945 dengan membawa perintah dari Tentara Republik untuk mmebentuk organiasi geriliya.
November 1945 dibentuk Laskar Saifullah. Setelah terlaksana ingin kembali ke Jawa, tetapi blockade Belanda meghalangi. Dia kembali ke Kandangan, tetapi pasukan Belanda menangkap banyak anggota Laskar Saifullah dan dia membentuk organisasi kedua Banteng Indonesia untuk menggantikannya.
Para emigran dari Kalimantan di Jawa terus mengirim ekspedisi dari Jawa. Walaupun akibat blokade laut belanda menyulitkan, pada akhir 1946 sebanyak 1.500 orang kembali mencapai Kalimantan. Â
Ada tiga kelompok yang berlainan
- Pesindo, pimpinan Husin Hamsjah, Firmansyah (wakil), Damansyah
- Kelompok dipimpin Tjilik Riwut
- Ikatan Perjuangan Kalimantan bermarkas di Surakarta, Sabillillha Kalimantan diketuai Gusti H. Muis
Di Kalsel, Pesindo Kalimanyan dan Ikatan Perjuangan Kalimantan dikkordinasikan ALRI Divisi IV. ALri Divisi IV dibentuk 4 April 1946. Tujuannya menyatukan perjuangan geriliya.Â
ALRI Divisi IV tumbuh menjadi suatu tentara modern yang lengkap persenjataannya. ALRI divisi IV membuat sulit Belanda dan koloborator Indonesia. Â Belanda mungkin melakukan perjlanan ke ppedalaman dengan pengawalan bersenjata, di Banjarmasin sendiri mereka harus waspada terhadap serangan geriliyawan sewaktu-waktu.
ALRI Divisi IV tidak suka rakyat pergi ke pemerintahan Belanda untuk minta surat izin atau minta bantuan lain kecuali hal-hal mutlak perlu. Â Mereka berani menyerukan pemogokan pegawai pada 30 Agustus 1949 dan tidak takut pada ancaman Belanda gaji tidak akan dibayar.
Hanya berapa kantor pos, rumah sakit dan sekolah dibuka karena pendidikan penting ALRI Divisi IV mengecualikan guru. Â Semua kantor pemerintah lainnya tutup sementara di bank-bank dan perusahaan dagang hanya orang Eropa dan Tionghoa saja muncul. Â Baru setelah perundingan, pertengahan Oktober 1949 pemogokan berakhir setelah perundingan Belanda dengan ALRI Divisi Iv.
Masalah baru muncul, ketika ada kebihakan reorganisasi tentara. Pada 27 Oktober para pejabat publik dari Jawa mengadakan pemeriksaan keseharan geriliyawan ALRI di bawah pengawasan Dr Suharsini. Â Siapa yang fisiknya tetap kuat untuk terus ke dalam Tentara Republik dan siapa yang harus didemobilisasi. Â Diberhentikan dengan hormat.
Prajurit biasa dan perwira harus tunduk pada norma-norma dari pejabat dari Jawa. Para prajurit tetap dari Jawa memandang rendah rekannya dari Kalimantan karena terbentuk awal revolusi. Pembentukan Divisi Lambung Mangkurat pada 10 November inilah menjadikan suasana menjadi tidak baik-baik.
Ternyata sebagian besar petinggi militer yang datang ke Kalimantan Selatan adalah bekas Tentara KNIL (Koninklijke Nederlands-Indisch Leger).
Sebagian besar pasukan KNIL dari Jawa dalam masa revolusi fisik adalah musuh  gerilyawan ALRI Divisi IV (A) Pertahanan Kalimantan.
Saat dalam tes kesehatan jasmani dan tes  baca tulis, justru musuh mereka dahulu yang menjadi penentu  kelulusan tes. Bahkan sebagian besar bekas KNIL itu menjadi komandan  mereka.
Kesannya, geriliyawan ALRI Divisi IV dipandang sebelah mata. Seakan perjuangan mereka sangat tidak berarti. Awalnya, kira-kira 16.000 gerilyawan masuk tentara, setelah ujian kesehatan dan pendidikan, Maret 1950 Â yang lolos hanya 6.000.
Dalam Divisi Lambung Mangkurat  sejumlah prajurit dan perwira  melakukan pembangkangan.  Pada 14 Januari Letan H Damanhuri ditangkap dengan tuduhan memerasan barang dan uang guna membangun tentaranya.Â
Sementara Ahmad Zakaria bekas  komandan ALRI Divisi IV ditangkap karena menghasut terhadap RIS dan mengajak bekas geriliyawan memberontak.
Sebetulnya ada satuan bekas ALRI Divisi IV dikirim ke Jabar membantu menumpas DI, ada yang dikirim ke Kalimantan Timur, Tenggara dan Barat.
Selain itu sebanyak  40-50 orang perwira dikirim ke Yogyakarta untuk kursus khusus, tetapi karena ditutup mereka ke Surabaya. Hanya satu orang menyelesaikan pelajaran. Mereka kembali ke Kalimantan dan tidak mau didemobilisasikan masuk hutan menetang tentara Republik.
Ibnu Hadjar
Yang menentang ini termasuk Ibnu Hajar nama asli Haderi, kelahiran Kandangan April 1920, sejak kecil sudah jadi jagoan dan suka berkelahi. Awal pemberontakan hanya 60 orang triwulan pertama 1950, mereka berdiam diri saja dan tidak menyerang.
Baru pada pertengahan 1950 ketika sudah menjadi dua ratus mereka melakukan serangan pertama terhadap Republik.
Organisasi geriliyanya bernama Kesatuan Rakyat yang tertindas (KRyT). Â Sejumlah polisi, tentara menyeberang ke Ibnu Hajar membawa senjata.
Pada November 1950 Gubernur Kalimantan Dr Murjani menyatakan situasi di Kalimantan Selatan sangat buruk pada bulan Juli dan memburuk sejak bulan Agustus. Namun, situasi berkembang dengan baik karena tindakan drastis yang diambil oleh pemerintah bekerja sama dengan tentara.
"Akar penyebab kesulitan ini adalah ketidakpuasan masyarakat. kelompok eks gerilya tertentu dengan cara pasukan tersebut dimasukkan ke dalam APRI', kataMurdjani saat diwawancarai koresponden khusus Aneta, 24 November 1950.
Dalam wawancara itu Murjani mengatakan pada mulanya peristiwa terkonsentrasi di wilayah sekitar Hulusungai berupa perampokan, pembunuhan, dan pembakaran yang dilakukan dengan slogan; 'anti-kapitalisme', 'anti-imperialisme' dan puluhan 'anti-isme' lainnya.
Melalui tindakan yang gencar, geng-geng tersebut terpecah-pecah dan didorong ke Selatan dan Tenggara. Meskipun beberapa pejabat administratif telah pindah ke tempat yang lebih aman, namun pemerintahan tetap utuh di seluruh wilayah.
Menurut Van Dijk (1993) kekecewaan makin menjadi, karena pemerintahan sipil Gubernur Dr Murjani memindahkan penjabat dan menggantikannya dengan Orang Jawa yang bisa dipercaya.
Pada akhir Januari 1953 Presiden Sukarno mengunjungi Banjarmasin, Negara, Barabai, Kandangan, Martapura dan Amuntai. Â Banyak keributan ditimbulkan oleh ucapan Sukarno mengenai masalah agama dan dasar ideologi negara.
Sejumlah orang menentang sikap Sukarno terhadap pebabab Islam dan penyebaran Marhaenismenya. Â Sukarno mengatakan, jika Indonesia negara Islam banyakadaerah yang mayoritas penduduknya bukan Islam memisahkan diri.Â
Mereka ganti bertanya, "Harap jelaskan: negara nasional atau negara Islam? Bung Karno apa arti Marhaenisme?"
Setelah kunjungan Sukarno, lima rumah dalam sebuah desa dibakar yang seluruh penduduknya melihat Sukarno. Â Malam hari rumah tersisa dibakar tentara Republik karena mereka mendukung KRyT.
Hassan BasryÂ
Namun keberadaan Hassan Basry di pihak Republik tampaknya menjadi faktor gerakan Ibnu Hadjar tidak sebesar gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Kedua tokoh ini berpisah jalan. Â Hassan Basry diangkat sebagai Panglima Kowanda, sebelum disekolahkan ke Mesir.
Sementara Ibnu Hadjar tidak diterima di tentara karena tidak bisa  menulis dan membaca huruf latin. Ia hanya pandai menulis dan membaca aksara Arab Melayu.
Ia dikirim ke Jawa untuk disekolahkan dengan beberapa  pejuang lainnya. Namun sekolahnya sudah tutup. Ia merasa dibohongi belaka.  Ia kembali ke Kalimantan Selatan melalui Kalimantan Timur.
Ibnu Hadjar tak mengira harus berhadapan dengan Hassan Basry yang dibelanya ketika bersama-sama dalam ALRI Divisi IV.
Ibnu Hadjar Bergabung dengan Kartosuwiryo
Setelah membentuk KRyT,Ibnu Hadjar membulatkan pikirannya untuk masuk Negara Islam pada  akhir 1954, setelah Kartosuwiryo menawarkan kepadanya sebuah kursi  menteri negara. Ibnu Hadjar diangkat sebagai Panglima TII untuk Kalimantan
Hassan Basry melawan Ibnu Hajar dengan gerakan mulut ke mulut pemberontak akan diperlakukan dengan baik.  Cara ini diperkuat dengan kunjungan  dua putra daerah Firmansyah bekas Kepala Staf Pesindo dan Idham Chalid politikus NU. Mereka meinta pemberontak menyerahkan diri.
Pada 1956 sebanyak 400 orang melapor  termasuk pimpinan geriliya terkenal Mochtar Djaja, Dardiansyah adik laki-laki Ibnu Hadjar.  Sampai Agustus 1956 menurut PIA (kantor berita di Indonesia masa itu) dikutip oleh De Nieuwsger 16 Agustus 1956 jumlah menyerahkan diri mencapai  1.792 orang.
Dalam berita tersebut Dardiansyah disebutkan sebagai  tangan kanan Ibnu Hadjar menyebutkan sudah ada pertemuan antara Hassan Basri dan Ibnu Hadjar di Pegatan (Kalimantan Tenggara).  Hal yang paling pokok adalah persyaratan yang diajukan oleh Ibnu Hadjar.
Ia mengatakan, akan segera berangkat ke Jakarta ditemani Panglima Hasan Basry untuk menyerahkan kepada pemerintah pusat dan KSAD. syarat-syarat penyerahan diri yang diduga ditetapkan Ibnu Hadjar saat bertemu dengan Panglima TNI. Namun, berita itu menyebutkan Dardiansyah enggan menjelaskan syarat apa saja yang ditetapkan Ibnu Hadjar.
Pernah Menyerahkan Diri
Hasil berbagai pertemuan menuai hasil sekitar Oktober 1956.  ANP seperti dikutip oleh Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 16 Oktober 1956 menyebutkan Ibnu Hadjar  telah menyerah kepada tentara bersama seluruh pengikutnya yang berjumlah 5.200 orang, termasuk anggota keluarga.
Letkol Hasan Basri, Hadjar berjanji setia kepada pemerintah Indonesia di Hulusungai, dekat Banjarmasin. Penyerahan Ibnu Hadjar dianggap sebagai salah satu kemenangan tak berdarah terbesar yang diraih pemerintah Indonesia tahun ini. Tentara Indonesia telah dicapai.
Namun sayangnya tidak bertahan lama. Enam bulan kemudian, pihak berwenang di Banjarmasin, ibu kota Kalimantan, mengakui bahwa mereka tidak melihat Ibnu Hadjar selama beberapa hari, namun menolak mengatakan apakah ia telah melarikan diri ke hutan. Menurut beberapa kalangan di Bandjarmasin, Hadjar kecewa dengan kegagalan pemerintah  menepati janji mengenai dukungan keuangan kepada mantan tentaranya.
Pada Maret 1957 seperti dikutip dari Het Nieuwsbald Voor Sumatra 8 Maret 1957, pejabat Gubernur Kalimantan Selatan, Sarkawie, membenarkan Ibnu Hadjar, yang beberapa waktu lalu menyerahkan diri untuk kembali ke masyarakat normal, telah melarikan diri. Ibnu Hadjar disebutkan meninggalkan Kotabaru.
Menurut beberapa kalangan di Banjarmasin seperti dikutip oleh Provinciale Drentsche en Asser courant, 5 Maret 1957, Hadjar kecewa dengan kegagalan pemerintah untuk menepati janji mengenai dukungan keuangan kepada mantan tentaranya. Hal yang diperjuangkannya sejak awal, solidaritas sosial.
Pada 23 November 1959, APRI atau TNI membentuk operasi militer pertama yang disebut Operasi Delima selama 15 hari dan menewaskan beberapa anggota DI/TII Kalimantan Selatan.
Setelah itu, TNI membentuk Operasi Segi Tiga pada 10 Maret 1960. TNI tahuI bnu Hadjar dapat bertahan lama dikarenakan perdagangan barter dengan penduduk.
Pemerintah menerapkan larangan kepada penduduk untuk pergi ke ladang dan hutan yang dikuasai oleh pasukan Ibnu Hadjar. Akibatnya pasukan ini sulit mendapatkan pasokan makanan.
Terakhir, TNI membentuk Operasi Riko, yaitu sebuah operasi militer sebagai reaksi atas persembunyian Ibnu Hadjar di dalam hutan. Operasi Riko pun membuat pasukan Ibnu Hadjar harus mundur kembali ke selatan.
Baru pada Juli 1963 Ibnu Hajar dan anak buah menyerah. Â Awal September 1963 dia ditangkap dan Maret 1965 diadili pengadilan milter dan djatuhi hukuman mati.
Ibnu Hadjar memang tercatat sebagai pemberontak melawan Indonesia, tetapi apa yang dilakukannya demi sebuah solidaritas sosial terhadap anak buahnya. Dia mengambil semua risiko itu. Â Walaupun di mata Republik, cara yang dilakukan salah.
Irvan Sjafari
Sumber:
C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Press, Cetakan III 1993
Diana Novita Sri dan kawan-kawan, "The Spirit of Nationalism of the Banjar People on the Proclamation  of 17th May 1949" dalam The Kalimantan Social Studies Journal, Vol. 4, (1), October 2022.
Yusliani Noor, Hassan Basry dan Ibnu Hadjar Serta Mitos Harta Karun Ibnu Hadjar dalam makalah Seminar Nasional Kesejarahan, Program Studi Pendidikan Sejarah  FKIP Universitas Lambung Mangkurat, 2017
Sumber foto: Sekretariat Negara Republik Indonesia - https://perpus.menpan.go.id/opac/detail-opac?id=264
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H