"Oh," kata anak itu.
Dia pun membawa satu panci air, juga kayu-kayu. Pandu yang mahir.  Dia  menjerang air dan kemudian memasukan jahe yang sudah dipotong dengan rempah-rempah.
Cantik, unik, sekaligus menakutkan. Itu kesan saya terhadap dia.
"Kamu bawa-bawa dia berburu kami?" Â tanya Gunadi.
"Iya, lah anakkku. Bapaknya pergi entah kemana! Justru karena anak ini ada, Londo-londo macam kalian tidak curiga!"
"Keparat. Â Teman-temanku keparat! Aku juga keparat! Berarti anak itu jadi saksi pembantaian kami!"
"Yuup. Didik bersembunyi di balik batu melihat ibunya dan temanku Ratna diseret. Itu yang membuat aku makin marah Londo bangsat! Â Aku kemudian berenang ketepian dan anakku menolong melempar tali dari tas panduku."
Saya pun menitik air mata tidak tahan lagi. Gunadi juga meraung. Pantas saja, anak itu tidak peduli dengan tubuh Bintang yang tergeletak.
"Ntar, sudah minum wedang jahenya, lanjutkan ceritanya apa yang terjadi pada dua kawanmu yang lain," papar Kemala.
Sejam kemudian wedang jahe sudah jadi.  Saya dan Gunadi masing-masing  diminumkan secangkir kecil kaleng wedang jahe.  Kemudian kami disuapin singkong bakar. Sementara Didik asyik mengunyah sendiri.
"Jadi kapan Londo ini ditembak Bu?" cetus Didik dengan tenang.