"Lalu kamu pulang ke rumah Meneer Hans yang begitu cemas.." Saya menebak.
Kemala mengangguk. Â Lalu dia mengambil arloji dan melihatnya. "Sebentar lagi subuh. Jadi siapa nih mau jadi tumbal aku ke tujuh?"
"Begini saja Bu, aku main nyanyi dolanan, kalau lagunya berhenti, yang aku tunjuk ibu tembak. Tetapi kali ini aku nggak mau lihat ya, paman-pamannya baik sih!"
Kemala mempersilahkan. Â Lalu Didik bernyanyi cublak cublak suweng/ suwengnya suwenge ting gelenter Mambu ketundhung gudel/ Pak empong lera lere....Â
"Ya, ke kamu Ikhsan," kata Kemala dengan senyuman dinginnya. "Kamu tumbal ke tujuh aku yooo!"
Lalu  dia melepaskan ikatan aku dan menyuruh saya berdiri dan pergi ke luar.
Gunadi tampaknya tidak enak. "Jangan Nduk, dia tidak bersalah!"
Kemala tidak menjawab. Saya pasrah akan dieksekusi di luar rumah.
 Baru berapa langkah, Letnan Hari Jumanto bersama pasukannya menerobos masuk.
"Wong Edan, he... mau bawa kemana koncoku itu Nduk. Untung kamu tembak orang itu sebelum cease fire. Kalau tidak kamu bisa ditembak!"
"Tahu Mas Harjum. Tumbal aku ke tujuh belum dipikirkan. Bisa dia, bisa yang lain...Saat ini aku mau ajak Mas  Ikhsan jalan."