Saya melihatnya dengan mata kagum. Â Bagaimana ceritanya dia bisa mengalahkan dua KNIL plus saya. Â Sepertinya dia sudah mengikuti kami dengan sabar dan melakukan penyergapan dilakukan sempurna. Â Perempuan perkasa.
Lalu dia menempelkan Vickers  itu kepadaku. "Ndak takut aku tembak? Jadi korban ketujuh aku?"
Ah, jadi tumbal k tujuh Ken Dedes yang ayu ini? Â Saya seperti siren yang menyihir para pelaut dari buku Belanda yang aku baca di Balai Pustaka.
"Terserah kamu cantik. Tapi biarkan saya mati sambil menatapmu yang indah. Dari pada mati kena tembak KNIL atau ditembak tentara Republik karena salah paham atau kedinginan dan lapar. Jelas dan tak menyesal," saya berusaha tenang. Â Paling langsung ditembak karena bicaranya lancang dan lantang.
Saya paham betapa ampuhnya senjata yang kerap digunakan tentara NAZI untuk mengeksekusi tawanannya.  Dari mana  Ken Dedes bisa mendapatkan mainan berbahaya itu, berikut pisau yang tertancap di paha Gunadi? Hari Jumanto tidak mungkin memberikan mainan ini kepada tetangganya. Dia tetap berpendapat tugas perempuan dalam perang ini, ya kalau tidak di dapur, di palang merah.
Tetapi Kemala hanya tersenyum dingin. Lalu mengalihkan vickernya ke kepala Gunadi. "Keenakan dia, ganteng! Masa kamu mati, dia hidup!"
"Kamu kenal dengan perempuan stres ini?" tanya Gunadi ketakutan.
"Kenal. Waktu aku main ke Singosari dikenalkan Wulan, teman aku di Jakarta."
"Ya, Wulan pandu Ansor juga. Jangan-jangan kamu jatuh cinta sama Nduk ini?"
"Tanya saja dia, Anjing KNIL! Kamu kenal dengan pengagum aku ini?" tanya  Kemala dingin.