"Lalu kamu memburu mereka satu perempuan cerdas dan perkasa! Bisa diceritakan?"
Kemala memandang saya dengan dingin. "Boleh, keparat ini mendengar. Selama ini dia dan kawannya yang terkapar itu bagaimana bisa lima kawannya mati satu demi satu secara misterius."
"Yang pertama, aku tembak di dekat Stasiun Kota Malang ketika lagi sendirian menjelang mahgrib, tepat di lehernya dari jarak dekat!"Â
"Itu Yanto, sial sekali nasibnya. Â Dia hendak membeli jamu gedong. Tidak ada saksi kecuali seorang perempuan yang kami sangka tukang jamu gendong, kumal sekali rambutnya acak-acakan! Dia ditemani seorang anak kecil. Â Ketika kami datang mereka duduk dengan tenang dan ada seorang pemuda lari ke arah Kotalama. Ya, tentu saja dia yang kami kejar!"
"Yang perempuan itu kamu Kemala!"
"Yuup!" jawabnya pendek. "Aku nggak takut ditembak, tanggung!"
"Pemuda itu?"
"Kebetulan memang orang Republik, tapi tugasnya mengintai. Tak menyangka aku menembak dengan berani!"
"Kalian tidak curiga pada tukang jamu gendong?" tanya saya pada Gunadi.
"Iya, nggaklah Mas, kamu belum pernah ditembaki perempuan."
 Saya tergelak.  "Itu tumbal pertama? Tumbal kedua!"