"Gereja di Belanda saja marah terhadap tindakan itu Kemala. Aku ingin membuat laporan tentang itu!"
"Sebanyak 12 anggota Palang Merah Remaja dan setidaknya 5 penduduk sipil ditembak mati. Aku ada di sana Mas Ikhsan! Â Tadinya aku mau menitipkan Didik di sana! Tapi ternyata tidak ada tempat buat kami!"
"Sialan! Anak itu juga ada di sana! Itu pelanggaran berat terhadap Konvensi Genewa!" Â cetus saya. Hati nurani saya memberontak.
"Semua perkosaan adalah pelanggaran terhadap kemanusian Tuan Wartawan, bukan hanya Konvensi Genewa!"
"Lalu sebelum Bintang siapa?"
"Ntar aku ceritakan, tetapi sumbermu itu sudah tahu. Mau minum lagi?"
Didik membantu ibunya menuangkan teko wedang jahe ke cangkir kaleng. Lalu Kemala meminumkan ke saya dan Gunadi.
"Lanjutkan cerita, ya? Ah, koncomu yang suka  makan es krim itu, sopo?"
"Raden Joyo, kami memanggilnya. Keturunan bangsawan Kraton Solo, tetapi diusir bapaknya karena kegemarannya pada perempuan kebablasan," sambung Gunadi.
"Nah, karena dia keturunan bangsawan matinya pun harus bergaya bangsawan. Cocok kan?"
"Maret atau April 1949 kalau tidak salah? Aku amati tuh. Pakaiannya apik benar kalau mau minum es krim di Toko Oen. Dia pasti tidak pakai seragam. Â Tantangan bagiku, bagaimana tembak dia sedang makan es krim dan dengan baju luriknya pakai blangkon."